26.3 C
Jakarta

Menelanjangi Propaganda Film Jejak Khilafah (2/2)

Artikel Trending

Milenial IslamMenelanjangi Propaganda Film Jejak Khilafah (2/2)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Saat bagian kedua ini ditulis, jujur saja, polemik film Jejak Khilafah sudah mereda. Tidak berbeda dari polemik-polemik sebelumnya, siklusnya tidak berubah: muncul-ramai-reda. Sempat kepikiran untuk tidak melanjutkannya. Tetapi, bagaimanapun, kesalahan tetaplah kesalahan. Menanggapinya merupakan keharusan. Film Jejak Khilafah ini, disadari atau tidak, sudah memengaruhi cara pandang banyak masyarakat tentang khilafah—menambah nafsu mereka untuk menegakkannya.

Setelah bagian sebelumnya menjawab satu rumusan masalah: relasi Utsmani dengan raja Islam di Nusantara, bagian ini berusaha mengulas tentang dua rumusan masalah lainnya: ummah wahidah di bawah khilafah dan jejak kekhilafahan di Nusantara. Yang penting untuk digarisbawahi, ketika kata ‘khilafah’ disebutkan, maka yang dimaksud ialah khilafah sebagaimana yang para pembuat filmnya maksudkan. Khilafah ala HTI memang sudah mendistorsi keaslian makna khilafah itu sendiri.

Banyak, dalam film Jejak Khilafah, ditemukan pembelokan sejarah. Misalnya, mengaitkan pembai’atan Samudera Pasai kepada Dinasti Abbasiyah di Mesir, hanya berdasarkan asumsi bahwa pasai memiliki relasi dengan kerajaan India yang memiliki relasi dengan Abbasiyah. Lebih jauh, bahkan relasi antarpenguasa, itu justru dibelokkan sebagai kesatuan umat Islam, atau ummah wahidah di bawah khilafah tadi. Bukti akuratnya apa? Tidak ada, kecuali video makam saja. Akurasinya diragukan.

Satu hal yang penting digarisbawahi dari film ini, selain kesimpulan yang mengada-ada, bukti sejarah yang tidak asli, ialah narasumber yang diwawancara. Hafidz Abdurrahman—kita tahu dirinya siapa—tampil meyakinkan, tetapi di Channel Khilafah, sepak terjang indoktrinasi jelas. Nicko Pandawa sendiri, yang bertindak sebagai sutradara sekaligus sejarawan, itu memiliki rekam studi buruk di salah satu kampus di Ibukota. Jadi, kalau mau jujur, film Jejak Khilafah ini memang sudah tidak akurat dari sono-nya.

Sebegitu Pentingkah Turki Utsmani?

Tujuan pembai’atan Samudera Pasai kepada Khalifah Abbasiyah di Mesir, menurut film Jejak Khilafah, ialah untuk sebuah proyek besar: mengislamkan Jawa dari Negara Kafir (Dar al-Kufr) menjadi negara Islam (Dar al-Islam). Dalam rentang lebih seabad kemudian, ketika Utsmaniyah menaklukkan Mamluk, dikatakan dalam film tersebut bahwa otoritas khilafah Islamiyah berpindah ke Turki. Pembai’atan juga dilakukan terhadap mereka. Nusantara pun berada di bawah payung Utsmani tadi.

Sebenarnya, seberapa sentral peran Turki Utsmani, itu merupakan dampak dari anggapan kesatuan umat, di mana umat Islam di-framing bersatu di bawah khilafah Islamiyah. Ismail Hakki Kadi, A.C.S Peacock, dan Annabel Teh Gallop dalam esainya, Writing History: The Acehnese Embassy to Istanbul, mengulas, dilengkapi transkrip, surat yang dikirim sultan Aceh ketika itu kepada raja Utsmani. Tetapi semua relasi mereka, sekali lagi, tidak bemaksud penyatuan identitas di bawah ‘khilafah Islamiyah’ tadi.

Dengan demikian, maka khilafah Islamiyah yang disodorkan para penggagas film Jejak Khilafah, itu sebenarnya tidak ada. Bahwa Turki Utsmani beragama Islam, iya. Bahwa Pasai merupakan kerajaan Islam, juga benar adanya. Tetapi relasi mereka adalah murni relasi politik, di mana penjajahan Portugis ketika itu telah memaksa Aceh meminta bantuan kepada Turki Utsmani, selaku negara adidaya, bukan selaku penguasa tunggal khilafah. Aktivis khilafah mengada-ada dalam hal ini.

Ketika dikatakan, dalam film Jejak Khilafah, bahwa Mamluk ditaklukkan oleh Turki Utsmani, maka seharusnya tesis tentang ‘ummah wahidah’ di bawah khilafah Islamiyah tadi runtuh seketika. Sesama umat Islam saling berebut wilayah, atau bahkan saling bunuh antarkeluarga kerajaan, sudah terjadi sejak lama. Bahkan Sultan Ahmad Malik az-Zahir, salah satu raja Samudera Pasai, direkam Hikayat Raja Pasai sebagai raja yang telah membunuh kedua anaknya, dan sebagai sinyal keruntuhan Pasai itu sendiri, setelah ditaklukkan kerajaan Majapahit.

BACA JUGA  Ketika Ulama dan Intelektual Membebek Pada Penguasa

Apakah itu yang disebut pemerintah berdasarkan syariat yang berusaha ditegakkan kembali sekarang? Lebih jauh, pemilihan Utsmani sebagai simbol pemegang tertinggi kekhilafahan, ialah karena kedigdayaannya sendiri. Maka dibuatlah framing, bahwa raja-raja Islam Nusantara di bahwa kendali mereka, bahwa umat Islam ketika itu bersatu di bawah naungan khilafah Islamiyah. Para penggagas film Jejak Khilafah menutupi satu fakta: mereka tidak sedamai, setenteram, yang ada di film.

Kesimpulan Dusta Film Jejak Khilafah

Mari perhatikan narasi akhir film Jejak Khilafah tentang kekalahan Portugis setelah Turki Utsmani turun tangan ke Nusantara, melalui gempuran Sultan Babullah, penguasa Kerajaan Ternate Maluku, sebagai berikut:

Dengan prestasi yang demikian luar biasa tentu Babullah tidak berdiri sendiri. Ada ikatan solidaritas dengan sultan-sultan Aceh, Jawa, sampai Filipina. Ikatan sebagai satu umat. Ikatan dengan satu akidah: akidah Islam. Ikatan dengan satu semangat: semangat jihad. Ikatan dengan satu kepemimpinan karena seluruh sultan di Nusantara tunduk dan begitu hormat pada khilafah Utsmaniyah.

Begitulah akhir filmnya. Garis besar dari keseluruhan film ialah mengatakan bahwa seluruh raja Islam di Nusantara berinduk terhadap Abbasiyah hingga Utsmaniyah. Penggiringan opininya ialah bahwa Nusantara pernah menjadi negara Islam, dengan sistem khilafah, sebelum kolonial akhirnya merebut kekuasaan, dan sekarang kita berada di bawah hukum legacy kolonial Belanda. Turki Utsmani juga runtuh, lalu apakah kita juga akan lupa tentang khilafah di Nusantara? Begitu opini film Jejak Khilafah.

Setelah Utsmani dipertuhankan sebagai simbol kejayaan Islam lalu apa? Tidak ada, kecuali ingin menarik umat kembali bersuara kembali tentang kejayaan tersebut. Kerajaan Nusantara yang dipaparkan film Jejak Khilafah menjadi tak genuine sebagai peradaban lokal, melainkan peradaban pinjaman dari Turki Utsmani. Walisongo yang dinarasikan mereka bukan lagi para dai yang bergaul dengan budaya setempat, melainkan para dai kaku yang mendikotomi Dar al-Kufr dan Dar al-Islam.

Sungguh, itu adalah kesimpulan yang paling palsu, dusta, tidak berdasar, membelokkan keaslian sejarah, dan penuh dengan kebencian dengan kalangan non-Islam. Seolah dunia harus tunduk di bawah khilafah ala mereka, meski landasan khilafah mereka sendiri sebenarnya palsu—ala HTI. Kita bisa menelanjangi propaganda film Jejak Khilafah pada setiap kalimat sang narator. Kita bisa membuktikan kebohongan mereka dengan melihat narasumber, asumsi, dan dn kesimpulan dusta yang disodorkannya.

Propaganda tetaplah propaganda, seberapapun disangkal keberadaannya. Film Jejak Khilafah memang dokumenter dengan editing yang keren, tetapi validitas sejarah tidak cukup dibuktikan dengan itu. Film tersebut kemudian menjadi preseden terburuk upaya perampasan Indonesia vis-à-vis penegakan khilafah. Segala perkara bobrok yang disajikan dalam film tersebut seharusnya memancing kewarasan kita, bukan saja untuk tidak memercayai, tetapi juga untuk memboikot mereka beserta para aktivisnya.

Wallahu A’lam bi as-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru