31.3 C
Jakarta
spot_img

Meneladani Syahrastani dalam Menyikapi Perbedaan Aliran dan Agama

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahIslam dan KebangsaanMeneladani Syahrastani dalam Menyikapi Perbedaan Aliran dan Agama
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Pada tulisan ini saya masih tertarik membahas Syahrastani, penulis buku yang cukup populer Al-Milal wa an-Nihal. Jika pada tulisan yang lalu saya melihat sisi pluralitasnya dalam melihat sesuatu, maka pada bagian ini saya melihat dari penghujung di buku ini di mana Syahrastani mengakui bahwa Islam adalah agama yang paling benar dan komplek.

Pernyataan Syahrastani pada penghujung bukunya itu bukan bentuk menyalahkan agama dan pemikiran lain. Sekali lagi tidak. Syahrastani sebagai muslim dengan menganut aliran Asy’ariyah tegas bersikap bahwa yang paling bener baginya adalah apa dia anut dan pahami. Anutan dan pemahaman ini memang cenderung subjektif. Itu hal biasa dalam ranah akademik. Yang terpenting, subjektivitas itu kadarnya tidak banyak.

Sikap subjektivitas Syahrastani pada bukunya itu tidak seberapa. Itu pun ditegaskan di akhir kitabnya. Siapapun yang membaca buku Al-Milal wa an-Nihal dari juz 1 dan 2 pasti tidak akan merasakan subjektivitas Syahrastani sedikitpun. Bahkan, ada yang bilang Syahrastani sangat liberal atau pluralis. Memang liberalis dan pluralis salah? Justru itu yang baik daripada eksklusif.

Syahrastani sangat terbuka dan jujur dalam membahas agama dan aliran di luar anutan dan yang dipahaminya. Dia tidak pernah menyalahkan agama dan aliran orang lain. Buktinya, di dalam kitab ensiklopedik ini Syahrastani tidak mengkafirkan atau menyesatkan agama dan pemikiran orang lain. Ini penting disampaikan agar pembaca tahu bahwa sikap pluralitas itu penting dipraktikkan, baik dalam saat menulis maupun berbicara.

Apalagi bangsa Indonesia adalah bangsa yang pluralis. Bangsa yang majemuk dengan pelbagai aliran dan agama. Ada aliran Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persis, Syiah, dan seterusnya. Begitu pula ada agama Islam, Kristen, Hindu, Budha, dan Konghucu. Diharapkan perbedaan aliran dan agama ini tidak berselisih karena perbedaan.

BACA JUGA  Bahaya Tersembunyi AI: Apakah Kita Sedang Menanam Benih Radikalisme?

Sikap pluralis Syahrastani ini bila dihadapkan dengan kenyataan di era mutakhir sekarang sungguh mengkritik beberapa tokoh agama yang berpemikiran eksklusif, tertutup. Mereka sangat anti terhadap perbedaan. Mereka merasa paling benar. Bahkan, mereka lupa mengkafirkan orang lain. Padahal, Nabi SAW. Menegaskan bahwa orang yang mengkafirkan orang lain, sedang ia tidak kafir, maka klaim itu jatuh kepada si pengucapnya.

Maka, tidak boleh tokoh agama menjadi penyebar kebencian apalagi memprovokasi massa untuk melakukan tindakan yang menghadirkan permusuhan. Tokoh agama hendaknya membaca buku ensiklopedik Al-Milal wa an-Nihal agar mindsetnya terbuka dalam melihat perbedaan. Mereka tidak mudah kagetan dan mengkafirkan orang lain, sementara mereka masih belum tahu. Benar apa yang dikatakan Prof. Media Zainul Bahri, guru besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, bangsa ini mudah mengkafirkan orang, padahal dia sendiri belum tahu apa yang dikafirkan.

Sebagai penutup, kafir-mengkafirkan itu adalah bentuk sikap kurang percaya diri. Tentu, pengucapnya bukan orang yang berilmu. Orang selevel Quraish Shihab, Gus Dur, dan Cak Nur tidak pernah mengkafirkan orang lain. Karena, ilmu mereka sudah mendalam. Tentu, mereka sudah membaca kitab ensiklopedik Al-Milal wa an-Nihal yang dikarang Syahrastani tersebut.[] Shallallah ala Muhammad.

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru