27.8 C
Jakarta

Menelaah Kembali Penolakan Pemerintah Indonesia untuk Merepatriasi WNI Eks-Simpatisan ISIS

Artikel Trending

KhazanahMenelaah Kembali Penolakan Pemerintah Indonesia untuk Merepatriasi WNI Eks-Simpatisan ISIS
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Setelah kekalahan ISIS di Suriah pada Mei 2019 lalu, hingga hari ini terhitung lebih dari enam ratus eks-simpatisan ISIS berkewarnegaraan Indonesia masih terjebak di Suriah dan Turki. Mayoritas dari WNI tersebut menyatakan menyesal telah bergabung dengan ISIS dan mengajukan permohonan kepada pemerintah Indonesia untuk melakukan repatriasi ke Tanah Air sebagai returnee. Pada awal tahun 2019, The Habibie Center mempublikasikan sebuah laporan yang menyatakan bahwa pemerintah Indonesia secara bertahap telah melakukan pemulangan terhadap kurang lebih 97 orang WNI eks-simpatisan ISIS dari kurun waktu 2014 hingga 2019 (Rasyid et. al., 2019).

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri hingga awal tahun 2020 ini tetap melakukan upaya perlindungan terhadap WNI yang pernah terlibat dalam tindak kejahatan terorisme intrenasional, merujuk kepada dasar hukum UUD 1945 dan UU no. 12 tahun 2006 mengenai perlindungan warga negara. Pemulangan simpatisan ISIS ke Indonesia juga bukanlah hal yang sederhana dan memakan proses yang cukup panjang. Upaya tersebut dilakukan dengan melibatkan serangkaian proses yang panjang; mencakup identifikasi identitas, koordinasi antar-lembaga dalam negeri dan antar-negara, dan rehabilitasi sebelum akhirnya returnee dapat direintegrasikan kembali ke tengah-tengah masyarakat.

Akan tetapi, belakangan ini gagasan tersebut ditentang oleh sebagian besar masyarakat yang merasa khawatir akan potensi ancaman yang dapat ditimbulkan oleh kembalinya simpatisan ISIS ke Indonesia. Banyak elemen masyarakat bahkan menuntut pencabutan kewarnegaraan simpatisan ISIS yang ada di Suriah. Permintaan tersebut disambut oleh beberapa akademisi yang menganut perspektif kosmopolitan bahwa apabila seorang warga negara yang menyerahkan diri kepada organisasi terorisme internasional, maka secara otimatis orang tersebut telah kehilangan kewarnegaraannya (stateless).

Pada rapat kabinet tertutup yang digelar oleh Presiden Joko Widodo (11/2) pemerintah Indonesia pun memutuskan untuk tidak memulangkan ratusan WNI eks-simpatisan ISIS dari Timur Tengah (Asmara, CNBC, 2020). Pemerintah akan melakukan pendataan lengkap terhadap WNI yang masih berada di wilayah konflik, dan mempertimbangkan kelompok rawan—khususnya anak-anak—untuk dipulangkan kembali ke tanah air secara case by case (CNN, 2020).

Sepintas, keputusan ini tampak sebagai sebuah upaya preventif yang logis dalam mencegah persebaran ideologi radikal dan kemunculan residivis dari foreign terrorist fighters. Meski begitu, terorisme merupakan permasalahan yang bersifat kompleks, terdapat beberapa pertimbangan mendasar yang seharusnya dilakukan pemerintah sebelum mengambil keputusan untuk menolak repatriasi WNI eks-simpatisan ISIS.

Eks-Simpatisan ISIS dan Potensi Ancaman

Dari segi perhitungan untung-rugi dari aspek risiko keamanan, pemerintah perlu mempertimbangkan kembali sebesar apa potensi ancaman yang muncul dari pemulangan WNI eks-simpatisan ISIS dari Suriah.  Selama ini, kekhawatiran pemerintah yang paling besar berkisar pada potensi penyebaran paham radikal dari WNI yang direpatriasi, munculnya residivis terorisme dari WNI yang kembali, serta potensi transfer teknologi terhadap aksi teror lokal. Aspek-aspek tersebut merupakan kekhawatiran yang rasional, mengingat pelaku teror memanfaatkan jaringan yang bersifat abu-abu dan sulit untuk dilacak oleh aparat untuk menyebarkan narasi radikalnya.

Akan tetapi, menurut data yang terkumpul dari tahun 2014, dari 97 returnee yang kembali ke Indonesia, Syawaludin Pakpahan tercatat sebagai satu-satunya orang yang menjadi residivis dengan meakukan pengeboman di Medan (2017) setelah setahun sebelumnya melalui proses rehabilitasi dari pemerintah selama satu bulan (Rahmanto, 2019). Dihitung dari presentase keseluruhan jumlah returnee, resiko munculnya residivis di antara simpatisan ISIS yang kembali ke Indonesia sesunggunya sangat minim, yaitu 1,03%.

Pemulangan WNI eks-simpatisan ISIS selama ini dilakukan dalam lingkungan yang terkontrol sehingga pemerintah dapat memantau proses repatriasi dari mulai pemulangan hingga reintegrasinya ke dalam masyarakat. Sikap pemerintah dalam menolak kepulangan WNI di Suriah malah berpotensi membuka permasalahan baru yaitu kembalinya foreign terrorist fighters ISIS ke Indonesia melalui jalur-jalur ilegal. Tanpa terlacak oleh aparat pemerintah, foreign terrorist fighters Indonesia dapat masuk dan bergabung ke tengah-tengah masyarakat tanpa melalui proses rehabilitasi yang meningkatkan kemungkinan penyebaran ideologi radikal maupun terjadinya aksi teror.

Alternatif yang bisa dilakukan pemerintah untuk menjawab tantangan ini adalah melanjutkan upaya perlindungan WNI di Suriah yang disertai dengan komitmen untuk terus meningkatan kinerjanya dalam proses repatriasi. Perbaikan tersebut dapat dilakukan dengan beberapa cara. Pertama, pemerintah kini masih melakukan generalisasi terkait konsep foreign terrorist fighters; padahal tidak semua WNI yang berada di Suriah berperan aktif dalam melakukan aksi teror bersama ISIS. Beragamnya peran WNI di Suriah memunculkan kebutuhan pemerintah untuk membuat sebuah kategorisasi ancaman berdasarkan pengalaman, tingkat radikalisasi, serta keterlibatan dalam organisasi teror. Dengan begitu pemerintah dapat mengetahui tindakan apa yang harus dilakukan terhadap returnee sesuai dengan jalur hukum serta proses-proses sosial yang memadai dengan kasusnya.

BACA JUGA  Perang Gaza dan Matinya Kemanusiaan di Barat

Kedua, melakukan diversifikasi pendekatan dalam proses rehabilitasi. Selama ini terorisme masih dipandang sebagai sebuah bentuk kejahatan yang bersifat maskulin, sehingga metode yang dipergunakan di dala proses hukum, rehabilitasi, maupun reintegrasi seringkali tidak sesuai dengan kebutuhan dari narapidana terorisme. Padahal, jumlah simpatisan ISIS perempuan yang berangkat ke suriah memiliki presentase yang cukup besar, di mana terdapat setidaknya 113 WNI perempuan yang berada di Suriah dan Turki. Banyak di antara WNI tersebut yang pergi membawa keluarga mereka, termasuk lebih dari 100 orang anak di bawah umur (Allard, 2017).  Hal ini terkait dengan perkembangan terorisme kontemporer yang terdeteksi setelah ISIS terbentuk di tahun 2014, di mana perempuan dan anak-anak tidak hanya terlibat di dalam penyebaran narasi ideologi radikal, tetapi juga di dalam aksi teror seperti penembakan dan bom bunuh diri (Rasyid, et. al. 2019).

Sejauh ini pemerintah hanya menggunakan tiga pendekatan utama dalam proses rehabilitasi narapidana terorisme, yaitu pendekatan keagamaan, kewarnegaraan, dan pendekatan ekonomi. Mengingat beragamnya individu yang bergabung dengan ISIS, proses rehabilitasi terhadap returnee pun harus turut mempertimbangkan unsur-unsur lain yaitu unsur gender, usia, dan lingkungan sosial sehingga pemerintah dapat melakukan pendekatan yang lebih tepat guna terhadap para returnee.

Ketiga, mempersiapkan masyarakat untuk menerima eks simpatisan ISIS di lingkungannya. Perspektif masyarakat sipil, khususnya pada komunitas yang menjadi lokasi reintegrasi dari mantan simpatisan ISIS juga harus diperhatikan. Proses reintegrasi yang dikepalai oleh BNPT selama ini lebih banyak terfokus kepada bagaimana mantan narapidana terorisme dapat beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya. Akan tetapi, sangat sedikit kebijakan yang mengangkat isu pentingnya mempersiapkan masyarakat sekitarnya untuk dapat menciptakan lingkungan yang kuat (resilient) dan inklusif bagi mantan narapidana terorisme.

Peran Semua Pihak

Pemerintah sudah seharusnya bekerjasama dengan masyarakat sipil dan pihak swasta untuk membangun ketahanan masyarakat setempat. Sebagai contoh, organisasi sipil dapat berperan untuk memberikan pelatihan respon pertama apabila terdapat indikasi kegiatan yang mengarah pada radikalisme dan ekstremisme di lingkungan mereka. Sebagai tambahan, organisasi sipil juga dapat memberikan pemahaman mengenai pentingnya inklusifitas terhadap returnee, sehingga narasi propoganda dari pihak ekstrimis—bahwa negara merupakan musuh yang melakukan opresi pada kelompok mereka—dapat diminimalisir.

Di sisi lain, perlu diperhatikan bahwa pemulangan WNI eks simpatisan ISIS memang merupakan sebuah proses panjang yang memerlukan koordinasi antar-lembaga yang matang serta sumber daya yang tidak sedikit. Upaya repatriasi perlu dilakukan dengan melibatkan infrastruktur dan sumber daya manusia yang memadai secara kuantitas maupun kualitas, mencakup pelibatan akademisi dan pakar, aparat negara, serta masyarakat sipil. Beban finansial yang ditanggung negara dalam menangani isu ini pun menjadi salah satu pertimbangan utama untuk tidak merepatriasi WNI eks simpatisan ISIS.

Karena itu, dapat dipahami bahwa upaya untuk merepatriasi seluruh WNI eks simpatisan ISIS merupakan hal yang saat ini belum realistis untuk dilakukan. Selain pertimbangan faktor keamanan dan kapasitas kelembagaan, isu ini juga memerlukan sumber daya finansial yang sangat besar. Akan tetapi kita patut mempertanyakan apakah pemerintah perlu mengubah sikapnya di masa depan.

Tidak memulangkan WNI eks-simpatisan ISIS dari Suriah sekilas memang memberikan persepsi keamanan yang semu (false sense of security) bagi masyarakat Indonesia, tetapi bukan merupakan solusi jangka panjang yang tepat dalam membendung aksi terorisme di tingkat domestik. Dibandingkan melihat upaya perlindungan WNI sebagai sesuatu yang berseberangan dengan keamanan nasional, pemerintah perlu memahami keduanya sebagai satu kesatuan yang integral dalam membendung potensi terorisme di dalam negeri. Baru setelah pemerintah dapat mengontrol informasi dan pergerakan tersangka teror, maka pemerintah dapat memiliki posisi yang lebih strategis dalam menangkal isu terorisme.

Oleh: Aisha R. Kusumasomantri

Pemerhati Isu Keamanan Internasional, Dosen Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Indonesia.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru