Harakatuna.com – Kembali bangkitnya HTI dan FPI menjadi pembicaraan hangat hari-hari ini. Beberapa pengamat mencoba melakukan analisis terhadap fenomena HTI-FPI reborn tersebut, dan memiliki kesimpulannya sendiri. Beberapa orang mengulasnya dari sisi kepemudaan, lainnya mengulas dari sisi sarana gerilya. Namun, bagaimana jika kebangkitan HTI dan FPI ditelaah menggunakan perspektif organizational dynamics theory?
Organizational dynamics theory, atau teori dinamika organisasi, untuk diketahui, adalah pendekatan untuk memahami perubahan dan adaptasi dalam sebuah organisasi. HTI dan FPI, misalnya, sekalipun sudah terlarang, ia tetap dapat ditelaah sebagai entitas organis. Teori ini berakar dari karya para ahli teori manajemen dan perilaku organisasi, seperti Kurt Lewin, Peter Senge, Edgar Schein, dan Gareth Morgan.
Masing-masing mereka berkontribusi dengan konsep yang memperkaya pemahaman tentang bagaimana organisasi merespons perubahan lingkungan, baik dari tekanan eksternal maupun dinamika internal: Kurt Lewin dengan teori perubahan (change theory), Peter Senge dengan teori learning organization, Edgar Schein dengan teori organizational culture, dan Gareth Morgan dengan organizations as metaphors-nya.
Kontribusi dari Lewin, Senge, Schein, dan Morgan memberi fondasi penting dalam organizational dynamics theory yang memungkinkan kita, peneliti, memahami dimensi adaptasi dan perubahan organisasi terjadi. Bagaimana cara sebuah organisasi bertahan menghadapi tekanan, persaingan, dan tantangan baru di lingkungan eksternal maupun internal akan terungkap lewat teori tersebut.
Di sini, organisasi yang akan ditelaah adalah HTI dan FPI yang nuansa kebangkitan kembalinya semakin jelas. Acara Temu Muslimah yang digelar HTI beberapa waktu lalu, juga Aksi 411 yang digelar FPI kemarin cukup menjadi bukti konkret bahwa kedua ormas terlarang itu tidak nyata-nyata bubar, melainkan eksis dalam transformasi tertentu melalui dua taktik, yaitu ‘adaptasi dan jaringan pendukung’ serta ‘respons eksternal dan dinamika internal’.
Adaptasi dan Jaringan Pendukung
Dalam perspektif organizational dynamics theory, kebangkitan kembali organisasi yang pernah dibubarkan pemerintah merupakan objek menarik. HTI dan FPI, dua organisasi terlarang di tanah air namun masih menunjukkan upaya kebangkitan, bisa ditelisik langkah-langkah strategisnya untuk menyesuaikan diri dan mempertahankan pengaruh di lingkungan yang tidak lagi kondusif bagi eksistensi formal mereka.
Adaptasi yang dilakukan HTI-FPI ialah mengubah pendekatan dan menyiasati tekanan. HTI maupun FPI boleh jadi tidak lagi beroperasi secara resmi, namun itu tidak menghalangi mereka untuk mencari strategi adaptasi guna mempertahankan eksistensinya di masyarakat. Adaptasi yang dimaksud mencakup perubahan taktik, seperti penggunaan platform daring, pembentukan organisasi baru dengan nama berbeda, atau kamuflase kegiatan.
Lihat saja, hari ini, para ideolog dan aktivis HTI memilih mendiseminasi doktrin mereka lewat medsos dan diskusi informal, sehingga pesan mereka masih dapat diterima oleh khalayak luas. Begitu pula FPI, mereka terus melanjutkan kegiatan sosial-kemasyarakatan yang selama ini memang jadi basis kekuatan, namun tanpa embel-embel bendera organisasi lama. Itu semua merupakan taktik adaptasi, di mana kedua ormas terlarang itu survive.
Selain itu, jaringan pendukung juga ambil peran. Jadi di tengah represi, jaringan pendukung di tingkat komunitas dan loyalitas internal memberikan landasan survival bagi HTI dan FPI itu sendiri. HTI, misalnya, tetap memiliki simpatisan setia yang membantu menyebarkan gagasan mereka melalui kegiatan akademik, buku, dan diskusi keagamaan. Buletin Kaffah dan Majalah Al-Wa’ie jalan terus, bukan? Itulah maksudnya.
Artinya, jaringan yang tersebar memudahkan mereka untuk tetap eksis kendati tak memiliki pengakuan resmi. FPI, di sisi lain, sering mendapat dukungan dari tokoh lokal—termasuk pejabat—dan berbagai lapisan masyarakat yang pernah merasakan manfaat dari kegiatan-kegiatan sosial mereka. Jaringan semacam ini dibangun bertahun-tahun dan menjadi aset penting FPI ketika, umpamanya, mereka mau menggelar demo, seperti Aksi 411 kemarin.
Respons Eksternal dan Dinamika Internal
Pembubaran HTI dan FPI oleh pemerintah memang menempatkan kedua ormas terlarang tersebut dalam situasi penuh tantangan. Selain larangan formal, mereka menghadapi tekanan sosial berupa resistansi masyarakat. Namun, HTI dan FPI mempertontonkan upaya reborn tidak saja lewat strategi adaptif dan jaringan pendukung, tetapi juga dengan merespons tekanan eksternal dan mengelola dinamika internal mereka sendiri.
Respons terhadap tekanan pemerintah dan sosial diorientasikan untuk menghadapi tantangan dari luar. Jadi, sejak dilarang, HTI-FPI berhadapan dengan monitoring ketat dan sanksi jika kembali berkegiatan terbuka. Tetapi, hal itu justru memotivasi mereka untuk merespons dengan mengembangkan strategi agar tetap relevan di masyarakat. Jalur informal, tentu saja, menjadi jalan ninja mereka.
Pada tingkat sosial, HTI dan FPI menunjukkan kesadaran terhadap persepsi publik. Misalnya, FPI merespons resistansi masyarakat dengan konsolidasi. Langkah itu ditempuh untuk memperbaiki citra mereka dan menarik dukungan dari masyarakat yang sempat skeptis. Begitu juga, HTI lebih menekankan doktrin intelektual daripada ideologis an sich. Pernah nonton podcast Felix Siauw yang membahas sejarah? Itu ada makna terselubungnya.
Sementara itu, dinamika internal ditujukan untuk mengonsolidasi dan mengelola keanggotaan. Dalam perspektif organizational dynamics theory, perubahan eksternal kerap memicu penyesuaian dalam organisasi, baik dalam kepemimpinan, struktur, maupun pendekatan. Bagi HTI, pembubaran mereka telah mendorong konsolidasi internal untuk memperkuat loyalitas dan militansi anggota inti di tengah situasi sulit.
Hari ini, HTI terus-menerus mengutamakan loyalitas dan komitmen ideologis sebagai respons terhadap represi pemerintah. Akhirnya, mereka tetap solid, walaupun tidak lagi memiliki platform resmi kecuali kamuflase, seperti Muslimah News dan Muslimah Sriwijaya. FPI, di sisi lain, mencoba untuk lebih fleksibel. Mereka cenderung terbuka untuk kolaborasi, dengan politisi sekalipun, asalkan kepentingannya sama.
Berdasarkan seluruh telaah tersebut, terlihat bahwa respons terhadap tekanan pemerintah dan sosial serta dinamika internal merupakan faktor krusial-sentral dalam bangkitnya HTI dan FPI hari-hari ini. Organizational dynamics theory yang dipakai di sini menemukan, bahwa perubahan di luar organisasi dapat memicu transformasi signifikan di dalamnya, baik dari segi adaptasi strategi maupun manajemen keanggotaan.
Dari reborn-nya HTI dan FPI kemudian terkuak, bahwa dengan respons proaktif terhadap tekanan eksternal serta konsolidasi internal, sebuah ormas terlarang pun dapat mempertahankan relevansi dan loyalitas anggota mereka, meskipun menghadapi represi besar di era Jokowi. Dasar ideologis yang kuat dan basis dukungan yang solid membuat mereka survive hingga Jokowi lengser, lalu mereka pun ingin bangkit kembali.
Wallahu A’lam bi ash-Shawab…