33.5 C
Jakarta
Array

Menegakkan Syariat Islam dalam Pandangan Buya Hamka

Artikel Trending

Menegakkan Syariat Islam dalam Pandangan Buya Hamka
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Menegakkan Syariat Islam dalam Pandangan Buya Hamka (Kajian Surat Al-Maidah: 44, 45 dan 47)

Oleh: Zakiyal Fikri Muhammad*

 

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” (Qs. Al-Maidah [5]: 44).

وَمَن لَّمۡ يَحۡكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ

“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim” (Qs. Al-Maidah [5]: 45).

وَمَن لَّمۡ يَحۡكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡفَٰسِقُونَ

“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik” (Qs. Al-Maidah [5]: 47).

Penggalan ketiga ayat di atas oleh sebagian kalangan, terutama Hizbu Tahrir (HT) dipahami sebagai dalil paling mantap dalam keharusan menegakkan hukum Allah, syariat Islam pada satu bangsa atau kekuasaan dengan dikendalikan oleh seorang Khalifah. Menurutnya, hukum yang sah hanya dari Allah bukan hukum buatan manusia (hukum positif). Dengan itulah, mereka menetapkan bahwa siapa saja yang tidak patuh dan tidak menjalankan hukum Allah maka ia disebut fasik, zalim bahkan kafir. Asbab pandangan ini pulalah, setiap negara atau bangsa yang tidak menegakkan hukum Islam sebagai undang-undangnya, sekalipun mayoritas berpenduduk Muslim, maka disebut negara kafir (Dar al-Kufr) dan itu wajib diperangi. Sementara negara yang menjalankan hukum Islam dengan baik, sekalipun mayoritas penduduknya non-Muslim, maka bisa dikatakan sebagai negara Islam (Dar -Islam) dan ini akan selamat. Demikian lah kata pemuka mereka, Taqiyuddin Al-Nabhani dalam satu bukunya, Mafahim Hizbu Al-Tahrir.

Negara Indonesia ini yang mengggunakan sistem demokrasi, tidak luput mendapat kecaman dari meraka sehingga dijuluki sebagai negara kafir (Dar al-Kufr) atau minimal negara yang zalim sekalipun mayoritas penduduknya adalah Muslim. Dan ini, menurut mereka, harus dirombak, di-setting ulang dan digantikan dengan sistem Khilafah yang seluruh bagian-bagianya tunduk pada aturan hukum Islam secara mutlak.

Polemik ini semakin hari semakin sengit dan terus mendapat sorotan tajam dari pelbagai kalangan intelektual, baik yang pro maupun yang kontra. Masing-masing saling mengajukan argumentasinya tanpa mau dikalahkan. Mereka bebas berbicara dan berpendapat. Namun perlu digarisbawahi di sini bahwa persoalan penegakan syariat Islam ini—jika didasarkan pada ketiga ayat di atas—sebenarnya masuk dalam wilayah interpretasi ayat Al-Qur’an, sehingga siapapun boleh melakukannya, selama memang ahli di bidangnya dan telah memenuhi syarat-syaratnya. Karena alasan inilah, maka persoalan tersebut semestinya dikembalikan pada pandangan para mufasir yang otoritatif bukan kepada pandangan individul yang sarat akan nafsu dan kepentingan politik semata.

Salah satu dari sekian mufasir otoritatif itu adalah Prof. Dr. H. Abdul Malik Karim Amrullah (w. 1981 M) atau yang lebih dikenal dengan julukan Buya Hamka. Beliau adalah seorang intelektual Muslim yang tak diragukan lagi keilmuannya. Salah satunya tentu dalam bidang ilmu Al-Qur’an dan tafsir. Ya, ulama sepuh ini memang dikenal sebagai mufasir ulung bertaraf nasional bahkan internasional. Betapa tidak? satu karya beliau yakni Tafsir Al-Azhar yang berjumlah sembilan jilid adalah salah satu buktinya. Karyanya ini telah memberikan gagasan dan paradigma baru dalam kancah penafsiran Al-Qur’an, yakni ia telah diformat dan dibingkai dalam nalar pengarangnya yang lebih kekinian atau setidaknya lebih “luwes” dengan konteks kehidupan Indonesia, tempat di mana beliau dilahirkan.

Maka tepat sekali bila polemik penetapan hukum syariat Islam—khususnya di Indonesia ini—yang terus dipersoalkan oleh kawan-kawan Hizbut Tahrir (HT/HTI), dilihat dari kacamata beliau dalam tafsirnya itu. Artinya, bagaimana pendapat beliau dalam menafsirkan Surat Al-Maidah di atas?. Bagaimana pandangan beliau tentang menegakkan hukum Allah dalam suatu negara atau kekuasaan?. Dan bagaimana pandangan beliau tentang Indonesia yang tidak menerapkan syariat Islam tersebut?. Semua pertanyaan ini akan dijawab pada tulisan singkat ini.

Dalam menafsirkan ketiga ayat di atas, Buya Hamka mula-mula menyatakan bahwa ancaman ketiga ayat tersebut, khitab-nya (sasaran penyampaian) tidak hanya diperuntukan bagi kaum Yahudi, Nasrani maupun Bani Israil saja, melainkan juga berlaku bagi umat Muslim pada umumnya. Dari sini berarti beliau termasuk golongan yang mengikuti paham Al-‘Ibrah bi ‘Umum al-Lafdzi la bi khusus al-sabab (yang dianggap adalah keumuman lafalnya bukan kekhususan sebabnya), bukan berpaham al-‘Ibrah bi khusus al-sabab la bi ‘umum al-Lafz (yang dianggap adalah kekhususan sebabnya bukan keumuman lafalnya).

Hujah yang diajukan beliau untuk mendukung pernyatan ini adalah riwayat Huzdaifah bin Al-Yaman yang suatu ketika ada orang bertanya kepadanya tentang ayat ini (Al-Maidah ayat 47). Seorang tersebut berkata bahwa ayat ini hanya mengenai Bani Israil saja. Mendengar hal itu, lalu berkatalah Huzdaifah: “enak benar bagimu ada kawan Bani Israil, kalau segala yang manis hanya untukmu dan segala yang pahit hanya untuk Bani Israil. Sungguh, demi Allah, kamu akan menempuh pula jalan mereka menurunkan jejak langkah mereka.”

Disamping riwayat Huzdaifah tersebut, riwayat dari Ibnu Mundzir dan Maqam, budak Ibnu Abbas, juga beliau jadikan sebagai hujah—yang masing-masing menyatakan bahwa ayat ini diturunkan kepada ahli kitab dan kaum Muslimin. Hanya saja “kafir” di sini bukan lah mencapai kafir syirik dan zalim pun bukan mencapai zalim syirik, dan fasik di sini pun tidak mencapai fasik syirik. Tegas beliau sekali lagi. Karena pemahaman inilah,  kemudian Buya Hamka berpandangan bahwa hukum Islam juga mesti ditegakkan di tengah-tengah umat Muslim. Berkaitan dengan ini, beliau menegaskan:

“Sebagai Muslimin janganlah melalaikan menjalankan hukum Allah. Sebab di awal surah sendiri, yang mula-mula diberi diperingatan kepada kita ialah supaya menyempurnakan segala ‘uqud. Maka mereka menjalankan hukum Allah adalah salah satu ‘uqud yang terpenting di antara kita dengan Allah. Selama kita hidup, selama iman mengalir di asli pipa darah kita, tidaklah sekali-kali boleh kita melepaskan cita-cita agar hukum Allah tegak di alam ini, walaupun di negeri mana kita tinggal… kalau hukum Allah belum berjalan, janganlah kita berputus asa. Dan kufur, zalim dan fadillah kita kalau kita percaya bahwa ada hukum lain yang lebih baik daripada hukum Allah.”

Tidak sampai di sini, ketegasan beliau untuk menegakkan hukum di  muka bumi terjadi juga tercermin dalam pernyataannya yang lain yang lebih lebih keras lagi. Beliau berkata:

“Dan jika kita yang berjuang menegakkan cita Islam ditanya orang, “adalah kamu, hai umat Islam bercita-cita, berideologi, jika kamu memegang kekuasaan, akan menjalankan hukum syariat Islam di negara kamu kuasai itu?” Janganlah berbohong dan mengolok-olok jawaban. Katakan terus terang bahwa cita-cita kami memang itu. Memang hendaknya berjalan hukum Allah dalam negara yang kita kuasai itu. Apa artinya iman kita kalau cita-cita yang telah digariskan Allah dalam al-Qur’an itu kita pungkiri?.”

Lebih tegas lagi, beliau menfatwakan demikian:

“Dan kalau ditanyakan orang pula, “tidakkah dengan demikian (wajibnya menegakkan hukum Islam) kamu hendak memaksakan agar pemeluk agama lain yang golongan kecil (minoritas) dipaksa menuruti hukum Islam?. Jawablah tegas: “memang akan kami paksaan mereka menuruti hukum Islam. Dan setengah dari hukum Islam terhadap golongan pemeluk agama yang minoritas itu ialah agar supaya mereka menjalankan hukum Taurat, ahli Injil diwajibkan menjalankan hukum Injil. Dan kita boleh membuat undang-undang menurut teknik pembikinannya, memakai fasal-fasal dan ayat-ayat suci, tapi dasarnya wajiblah hukum Allah dari kitab-kitab suci, bukan hukum buatan manusia atau diktator manusia. Katakanlah itu terus terang, dan jangan takut!.”

Dari sini maka jelaslah bahwa pandangan beliau terhadap tegaknya hukum Islam dalam suatu negara adalah suatu kewajiban. Mengingat memang itu merupakan ‘uqud yang mesti dijalankan sesuai dalil hujah yang qath’i. Disamping itu juga karena menurut beliau, hukum Islam yang lebih baik dan tepat untuk mengatur kemaslahatan manusia di muka bumi. Bukan dengan hukum buatan manusia yang serba penuh kesewenang-wenangan dan diktator. Ketidaksepakatan beliau terhadap penegakan hukum buatan manusia ini, nampaknya dilatarbelakangi oleh akibat yang ditimbulkan olehnya di kemudian hari yang lebih condong kepada ketidakmanusian. Dalam ini, beliau mengajukan fakta sejarah tentang Kerobokan dari tegaknya hukum manusia tersebut. Ia berkata:

“Lihatlah banyak celakanya perikemanusiaan di zaman sewenang-wenang hukum buatan manusia, seumpama di Jerman di zaman Nazi, di Italia di zaman Fascis dan di seluruh negara yang dipengaruhi oleh komunis….dalam Islam sudah nyata bahwa sumber hukum ialah Allah dan Rasul atau Al-Qur’an dan Sunah. Sebab itu dalam Islam manusia bukanlah pencipta hukum melainkan pelaksana hukum Allah.”

Lebih lanjut lagi, beliau juga sempat menyinggung pembagian predikat suatu negara sebagai “efek” dari penerapan syariat Islam ini—sebagaimana pembagian para ahli Fikih. Beliau mengatakan bahwa bentuk negara itu ada tiga nacam, yaitu Darul Islam (negara Islam), Darul Harb (negara tengah berperang dengan orang-orang Islam) dan Darul Kufar (negara orang kafir). Menurutnya, Negara Islam sudah semestinya—kalau bahasa beliau 100 ℅—memberlalukan hukum Islam secara total.

Sementara untuk Darul Kufar, beliau kaitkan dengan negara-negara di zaman modern ini seperti Burma, Philipina, Muangthai dan lain-lain yang menerapkan undang-undang dasar alias hukum nasional bukan hukum agama di tengah-tengah masyarakat yang mayoritas non muslim dan sedikit sekali penduduk muslimnya. Menurut beliau, sekalipun negara-negara seperti di atas telah membentuk undang-undang yang melindungi kepercayaan masing-masing pemeluk agama khususnya menjamin kemerdekaan kaum Muslim yang minoritas, namun kaum muslimin hendaklah tetap memperjuangkan supaya syariat Islam dan hukumnya berlaku di kalangan masyarakat muslim itu sendiri dalam rangka menjaga kesatuan dan keutuhan negara.

Demikian kata beliau, yang secara sepihak memang masih tampak bersikukuh dan terus bersikap tegas bahwa syariat Islam dan hukumnya semaksimal mungkin harus ditegakkan pada suatu negara dimanapun berada, khususnya jika itu negara Islam. Seandainya itu negara kafir namun di dalamnya ada kaum Muslimin, maka ia pun tetap wajib ditegakkan dengan alasan untuk menjaga keutuhan negara. Jadi menurut pandangan beliau ini, seakan-akan sudah tidak ada lagi ruang untuk mendirikan negara dengan sistem hukum nasional, namun mesti dengan hukum Islam.

Namun bila kita perhatian lagi pada pernyataan beliau tatkala mengomentari Negara Republik Indonesia yang menggunakan sistem demokrasi dengan Pancasila dan UUD 45 sebagai dasar dan hukum peraturannya, beliau justru menampakkan sikapnya yang berbeda dari sebelumnya. Yakni beliau justru mengakui kalau Piagam Jakarta (Jakarta Charter) yang nantinya sebagai cikal bakal lahirnya sistem hukum nasional-demokrasi ini adalah sah karena dirumuskan atas persetujuan golongan-golongan terbesar, yaitu golongan Islam, Nasionalis, dan Kristen. Di mana menurut beliau, persetujuan dari ketiga golongan tersebut sudah cukup dijadikan sebagai syarat terbentuknya Ahl Halli wa al-Aqdi sebagai badan legal dalam mendirikan suatu negara dan hukum-hukumnya.

Menurutnya lagi, bahwa sistem negara ini juga dikatakan sah karena terbentuk atas dasar janji bersama atau dalam bahasa beliau disebut dengan ‘uqud yang memang sudah diperintahkan kepada orang-orang beriman supaya disempurnakan. Bahkan tidak hanya sah saja, perjanjian yang dicetuskan oleh ketiga golongan di atas hingga melahirkan negara yang bersistem demokrasi ini, menurut beliau juga wajib dipelihara dan disempurnakan karena ia bukanlah sistem yang menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Bahkan jika seandainya Jakarta Charter ini tidak terlahir, barangkali kemerdekaan kita ini tidak terjadi. Dengan tegas beliau katakan:

“Kalau kita tilik pula keadaan tumbuhnya Republik Indonesia. Secara hukum kita dapat mengatakan bahwa selain dari negara ini suatu negara kesatuan, dia pun adalah negara yang didirikan atas dasar persetujuan golongan-golongan yang terbesar di dalam negeri ini pada hari bulan Juli 1945, yang dikenal dengan nama Jakarta Charter, yaitu golongan Islam, Nasionalis, dan Kristen. Pemuka yang mengikat perjanjian itu mempunyai cukup syarat-syarat buat disebut Ahl Halli wa al-‘Aqdi….. Menurut pangkal Surah al-Maidah ini, perjanjian ini wajiblah dipelihara dan disempurnakan, karena dia bukanlah yang menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Bahkan pada adatnya, kalau tidaklah ada Charter ini, tidak lah akan tercapai kekerasan yang telah ada ini.”

Lalu bagaimana dengan Pancasila? Buya Hamka, seorang yang pernah menikmati dan hidup di era rezim Orde Lama dan berada dibalik jeruji penjara, kemudian menafsirkan Pancasila sesuai dengan ruh Islam. Saat memberikan khutbah Idul Fitri di Istana Negara pada tahun 1968, Buya memberikan interpretasi bahwa sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” adalah tauhid, laa ilaha illallah. Sila itulah yang merupakan sumber sila-sila lainnya (Baca: Hamka, “Pantjasila Akan Hampa Tanpa Ketuhanan Yang Maha Esa”, Pandji Masjarakat, 1968; Tulisan ini kemudian diterbitkan oleh Gema Insani Press dalam buku Dari Hati ke Hati pada bagian 4 tentang Politik).

Setelah Pancasila, versi sekarang yang kita gunakan ini, maka Buya Hamka pun merestui umat Muslim untuk mengakuinya. Bagi Buya Hamka, sebagai sebuah bilangan 10.000, di mana angka 1 merupakan perumpamaan sila pertama maka empat nol yang mengikuti setelahnya adalah sila-sila selanjutnya yang menguatkan. Jika angka 1 dihilangkan maka yang terjadi adalah empat angka nol semata. Maksudnya, sila pertama itulah yang menjiwai sila-sila berikutnya.

Sehingga dari sini dapat disimpulkan bahwa betul kalau awalnya beliau memang bersikap tegas supaya syariat Islam wajib ditegakkan di bumi manapun karena perintah surah Al-Maidah di atas, namun  ketika beliau berhadapan dengan penegakan hukum di Indonesia ini, ternyata beliau justru menampakkan “sikap lunaknya” untuk menerima dan mengakui sistem Negara Indonesia yang sudah berlaku tersebut, karena ia bukan termasuk sistem yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang haram, malah secara tidak langsung telah mencangkup nilai-nilai Islam itu sendiri di dalamnya.

Jadi, menurut beliau, hukum Islam sebisa mungkin diperjuangkan untuk ditegakkan, namun bila ada hukum-hukum atau undang-undang yang secara sengaja dirumuskan oleh manusia dan itu tidak termasuk dalam kategori “menghalalkan perkara yang haram dan mengharamkan perkara yang halal” alias sesuai dengan nilai-nilai Islam, maka itu dianggap sah dan layak bahkan wajib dipelihara, tidak perlu diganti dengan sistem Khilafah.

Pemikiran seseorang akan terus berubah, karena teks Ilahiyah sajalah yang mutlak, sedangkan interpretasi terhadap teks hanyalah sempalan kepada teks itu. Artinya, peralihan dari agresif fundamentalis menuju agresif inklusif, yang tujuannya sama-sama menghargai sesama penganut beragama dan mewujudkan Pancasila tanpa diskriminasi. Maka tak elok pula, jika pandangan Buya Hamka dipotong di tengah jalan dan dijadikan justifikasi untuk mendukung pemikiran Khilafah. Misalnya tulisan “Buya dan Asatidz Sumbar: Hizbut Tahrir Wadah Perjuangan Para Alim Ulama Untuk Menegakkan Khilafah” yang menjadikan Buya Hamka sebagai justifikasi gerakannya. Sejatinya, dalam perspektif Buya, umat Islam bisa meraih kemulian dan mengangkat derajat Islam tanpa di bawah naungan Khilafah. []

*Penulis buku Agar Al-Qur’an Mendatangkan Hidayah

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru