Menebar Perdamaian Berbasis Al-Qur’an
Oleh: Mohammad Sholihul Wafi*
Akhir-akhir ini Agama Islam selalu diidentikkan dengan kekerasan dan terorisme. Islam, sebagaimana agama lainnya, selalu mengajarkan perdamain dalam sendi-sendi kehidupan. Islam mengajarkan kerukunan, perdamaian dan sangat menjunjung tinggi harkat kemanusian. Sehingga, apa pun alasan dan bentuknya, kekesaran atas nama agama tidak bisa dibenarkan dalam Islam. Namun, seringkali implementasi ajaran Islam di lapangan mengalami tolak belakang. Tak ayal, hingga hari ini, tindakan intoleransi seperti intimidasi, kekerasan, dan penyerangan kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas dengan dalih agama Islam masih terus terjadi di depan mata kita. Tentunya, ini sekaligus menampar wajah Islam yang cinta dengan perdamaian.
Melalui buku ini, Dr. H. Imam Taufiq, M.Ag menjawab prasangka buruk yang disematkan kepada Agama Islam. Ia menawarkan gagasan Qur’ani tentang bagaimana membangun perdamaian ideal dalam masyarakat Indonesia yang plural. Untuk kepentingan ini beliau mengelaborasikan tafsir Al-Quran klasik dan kontemporer sekaligus. Beliau melihat, kajian ini menjadi lebih signifikan bukan hanya karena menjadi ikhtiar menciptakan perdamaian di tengah masyarakat, tetapi juga menjadi tanggung jawab umat Islam dalam menawarkan konstruksi perdamaian yang relevan dengan Al-Quran bagi pemecahan problematika umat dewasa ini.
Sebetulnya, praktik perdamaian sudah tampak dari ucapan “salam”. Sebuah kata yang memiliki hubungan semantik dengan “Islam” (hal. 4). Ucapan salam berupa assalamu’alaikum merupakan bentuk aktualisasi perintah moral Al-Quran yang menjunjung tinggi arti perdamaian dan kedaimaian. Praktik perdamaian juga jelas terekam dalam tradisi dan hidup Nabi. Beliau menempatkan perdamaian pada posisi yang penting dalam Islam, seperti yang ditunjukkan dengan persaudaraan kaum Ansor dan Muhajirin. Dalam kerangka yang lebih luas, kualitas iman seseorang dapat diukur dengan sejauh mana kesalehan dalam kehidupan sosial, sejauh mana ia dapat memberi dan menjamin kedamaian bagi keberlangsungan kehidupan yang harmonis.
Sebab itu, dalam buku ini, Imam menegaskan bahwa damai merupakan fitrah dalam Al-Qur’an. Hal ini karena Islam merupakan agama fitrah (din al-fitrah). Tak ayal, menurutnya, terdapat kaitan antAra fitrah jiwa manusia dan fitrah agama Islam (hal. 57). Fitrah damai dalam diri seseorang akan selalu beriringan dengan fitrah agama. Ketika agama mengajarkan perdamaian, berarti fitrah jiwa juga sinergis dengan ajaran agama tersebut. Dengan kata lain, selama manusia mampu menjaga fitrah jiwanya, ia akan menjalankan agama sebagaimana fitrahnya.
Lebih lanjut, Imam menuturkan bahwa perdamaian Islam dibangun di atas tiga pilar; Islam, iman, dan ihsan. Keimanan seseorang berbuah ketika mampu mendatangkan kebaikan dan kedamaian bagi dirinya sendiri dan orang lain. Sementara, dalam konteks perdamaian, ihsan merupakan wujud internalisasi dari prinsip Islam dan nilai keimanan seseorang agar mampu mencapai kondisi ideal dalam menjalani kehidupannya. Ihsan memungkin masyarakat untuk berada dalam cinta, kasih sayang, persaudaraan, dan persahabatan. Penghayatan serta pengamalan penuh Islam, iman, dan ihsan akan menjadi modal utama bagi terciptanya ketentraman, keharmonisan, dan kedamaian. (hal.77-78)
Sementara itu, untuk mewujudkan konsep perdamaian dalam Al-Qur’an, Imam menawarkan segitiga sinergis perdamaian. Konsep ini dibangun di atas dasar hubungan sinegis antara tiga komponen pembangun perdamaian, yakni pendamai, strategi perdamaian, dan tujuan perdamaian. Ketiga komponen ini tidak bisa berdisi sendiri-sendiri akan tetapi harus saling melengkapi, saling terkait, dan saling memperkuat. Al-Qur’an mengajarkan bahwa strategi utama untuk membangun perdamaian adalah dengan jalan ishlah. Ishlah menggambarkan bahwa ketika terdapat dua orang berseteru dan berselisih, kita diperintahkan untuk mendamaikan dan menemukan titik temu kesepahamannya agar tidak terjadi pertikaian. Dalam kondisi ini, ishlah tidak bisa bergerak sendiri, tetapi butuh piranti strategis-teknis, di antaranya musyawarah, makruf, ‘afw, da hikmah. (hal.100-106).
Sudah saatnya berbagai polemik, ketegangan, dan kekerasan yang merebak di Indonesia, terutama yang berpayung agama didekati dengan kembali kepada konsep damai yang Qurani. Agar, tidak lagi ada stereotip negatif bahwa Islam adalah agama sumber kekerasan. Wallahua’lam.
*Peresensi adalah Pegiat Literasi, tinggal di Yogyakarta
Judul Buku : Al-Qur’an Bukan Kitab Teror
Penyusun : Dr. H. Imam Taufiq, M.Ag
Penerbit : Bentang Pustaka
Cetakan : Pertama, 2016
Tebal : xxiv+284 halaman
ISBN : 978-602-7888-99-9