28.9 C
Jakarta
spot_img

Mendakwahkan Islam Penuh Keramahan

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuMendakwahkan Islam Penuh Keramahan
image_pdfDownload PDF
Judul Buku: Islam itu Ramah, Bukan Marah, Penulis: Irfan Amalee, Penerbit: Noura Books, Tahun Terbit: 2020, Tebal: xv + 197 Halaman, ISBN: 978-602-0989-70-9, Peresensi: Ahmad Miftahudin Thohari.

Harakatuna.com – Kebutuhan akan pentingnya beragama secara lebih dewasa dan bijak mutlak diperlukan. Tidak semestinya—sebagai muslim, misalnya—kita menampilkan diri dengan cara arogan dan suka marah-marah.

Islam sama sekali tidak mengajarkan para pemeluknya untuk menghimpun sifat kemarahan, sebaliknya Islam justru sangat mengajarkan keramahan. Karena itu, aktualisasi citra Islam yang menuansakan sifat ekstrim dan penuh teror mestilah segera dihentikan.

Beberapa waktu saya mencoba memberikan rekomendasi bacaan bagi para masyarakat kebanyakan, khususnya para muslim pembelajar, yang ingin memahami makna Islam dengan ulasan yang cukup penting mengenai esensi Islam Rahmatan Lil ‘Alamin yang mesti dipahami meluas secara inklusif.

Adalah buku “Islam Rahmatan Lil ‘Alamin itu Bukan untuk Kamu Sendiri”, yang berisi ceramah-ceramah Cak Nun dengan dakwah-dakwah Islam sangat membudaya dan inklusif. Buku terbitan Noura Books itu yang sangat penting untuk dibaca bagi kita semua yang tidak memiliki tradisi keilmuan khusus khas santri–anak-anak pesantren.

Pada kesempatan kali ini, saya akan coba memberikan rekomendasi bacaan tambahan yang juga ringan untuk dipahami guna memahami makna Islam yang ramah sesuai judul bukunya “Islam itu Ramah, Bukan Marah” karya Irfan Amalee diterbitkan sama juga oleh Noura Books. Tentu saja, kita akan langsung notice bahwa buku tersebut ingin mengajak para pembaca memahami Islam dalam sifatnya yang penuh keramahan, bukan kemarahan.

Agaknya, menurut saya, Irfan Amalee merasa resah dengan kondisi citra Islam itu sendiri baik di mata dunia maupun di negara kita sendiri, yang berhimpun dengan stigma-stigma negatif dan penuh kemarahan. Sekaligus, saya menerka-nerka, penulis juga berangkat dari asumsi dasar bahwa citra Islam negatif itu bermuara dari adanya kelompok-kelompok radikal yang kemudian menyebarkan aksi-aksi terorisme.

Hal itu bisa dilihat pada bagian I buku tersebut yang diberinya judul All About Peace, ia mengulas agak serius bahayanya radikalisme yang bisa muncul oleh karena adanya pemahaman yang keliru dipelajari. Bahkan, secara khusus, ia juga mengulas betapa para hacker—yang telah berhasil dijadikan simpatisan kelompok radikal—sukses membobol bank yang dananya digelontorkan untuk mendukung aksi-aksi “jihad” versi mereka. Sesuatu yang sungguh membuat saya sendiri geleng-geleng kepala. Sudah aksi “jihad”-nya dilakukan secara keji, disokong oleh dana yang diperoleh secara keji pula.

Menjadi Radikal karena Pemahaman

Irfan Amalee, khusus persoalan munculnya kelompok radikal, dalam bukunya tersebut berhipotesis demikian, bahwa “orang bisa menjadi radikal itu disebabkan oleh pemahaman”. Bagaimana maksudnya? Mari kita pahami argumentasinya.

Dalam bukunya, dia mencontohkan adanya seorang mahasiswa Northeastrern University Boston, anak band yang tidak begitu religius, tiba-tiba menjadi sangat religius bahkan radikal. Sampai akhirnya ia tertangkap oleh FBI karena merencanakan pengeboman gedung Pentagon dengan pesawat mainan yang dirancangnya (h. 22).

Kemudian, ia mencontohkan pula seorang lagi bernama Hilman, yang awalnya begitu sekuler, bahkan tenggelam dalam dunia narkoba, tiba-tiba berubah drastis setelah bertemu dengan Imam Samudra di Penjara Grobogan. Imam Samudra berhasil “meracuni pikiran” Hilman untuk membangkitkan semangat jihadnya dan berhasil menjadikannya sebagai prajurit Bom Bali 3 (h. 23).

Hal serupa juga dialami oleh Taufik dan Iwan Cina yang “mengaji” Islam dari Toni Togar alias Hasan, seorang yang terpidana 20 tahun penjara atas aksi pembakaran gereja di Pekanbaru, Riau, saat malam Natal dan pernah terlibat pengeboman Hotel JW Marriot pada 2003 (h. 23).

Apakah pemahaman Islam radikal hanya muncul dari para pelaku jihadis Islam secara face to face? Ternyata tidak. Irfan Amalee juga mencontohkan anak jenius bernama Mawan Kurniawan—berkat kejeniusannya dia berhasil pula membobol situs investasi Malaysia. Sebagai anak muda yang sedang dalam proses dalam pencarian jati diri, dia juga mencoba belajar Islam.

BACA JUGA  Menggagas Pendidikan Komprehensif sebagai Fondasi Kebangkitan Nasionalisme

Marwan menempuh cara lain dalam mempelajari Islam. Tidak berguru dengan seseorang secara langsung sebagaimana dicontohkan sebelumnya, ia belajar Islam melalui Mbah Google. Tentu saja, Google tidak mesti mengantarkan seseorang pada sumber-sumber yang 100% valid. Perlu diketahui pula, bahwa kelompok-kelompok Islam garis keras juga sangat jago SEO (Search Engine Optimiser).

Mereka, tentu saja, sudah mengapling indeks-indeks Google dengan konten-konten berisi materi Islam yang keras—sesuai visi “jihad” mereka, Islam yang penuh kemarahan. Sehingga, singkat cerita, Marwan kemudian bertemu dengan pembelajaran Islam yang bernuansa “jihad”, yang baginya, tentu saja sangat menantang dan menggairahkan (h. 23).

Nah, bagaimana contoh-contoh di atas dapat dipahami? Dalam sebuah diskusi Gerakan Islam Cinta (GIC), Solahudin, peneliti gerakan radikal dan terorisme yang juga penulis buku “NII hingga JI: Salafisme Jihadisme di Indonesia”, mengungkapkan temuan yang menarik. Solahudin membuat list orang-orang yang terlibat aksi terorisme. Ada sejumlah 300 nama yang telah dia teliti, yang secara demografi, secara ekonomi, dan secara intelektual mereka sangat beragam.

Faktor ekonomi dan status sosial ternyata bukan menjadi faktor utama dari munculnya terorisme. Lalu apa? Dari semua perbedaan itu, mereka memiliki satu kesamaan. Yakni, fakta: mereka pernah bersentuhan aktif, atau belajar agama melalui kelompok “keras”. Maka itu, bisa disimpulkan bahwa aksi terorisme yang mereka lakukan selalu dilandasi oleh pemahaman mereka terhadap agama yang mereka dapat dari kelompok-kelompok yang cenderung keras: penuh kemarahan (h. 22).

Kembali ke Islam yang Penuh Keramahan

Memang, pemahaman Islam radikal tidak selalu berujung pada aksi terorisme. Tetapi, terorisme selalu berawal dari cara berpikir yang radikal. “Radical is only one step short by terrorism” (h. 24).

Karenanya, memahami Islam dengan cara benar dan tidak sembrono adalah penting dilakukan. Sehingga, pentingnya pula mendakwahkan lebih intens perihal Islam sebagai agama yang penuh keramahan sangat harus dilaksanakan—terkhusus di Indonesia. Kita mesti lebih menghias diri dengan pengalaman dan persentuhan yang lebih rahmatan lil alamin dalam memahami Islam.

Seperti dituliskan oleh Irfan Amalee, ada dua pilihan yang bisa kita putusan dalam rangka kita menjadi Muslim. Yakni, memilih menjadi: tipe kompor atau jembatan? Irfan Amalee mencontoh tipe kompor layaknya Abu Jahal. Tentu saya tidak perlu menjelaskan bagaimana sosok paman Nabi yang satu itu. Intinya, tipe kompor adalah dia yang mudah melaknat. Sedangkan, tipe jembatan adalah dia yang selalu menyebarkan kedamaian—berusaha mendamaikan pihak yang berseteru (h. 65-68).

Kini, sudah saatnya kita mendidik—juga memaksa—diri untuk menjadi Muslim bertipe jembatan. Kita putus rantai citra Islam yang penuh kemarahan, kemudian kita ganti dengan citra Islam yang penuh keramahan. Mari kita mulai menginsafi diri, mulai saling memaafkan, dan saling menghilangkan rasa sakit hati yang itu hanya akan mendorong nurani kita untuk berlaku menyakiti.

Mari kita mulai dari sekarang untuk mendakwah esensi Islam yang penuh keramahan dan kemanusiaan. Tidak sibuk menilai orang itu kafir, munafik, lemah iman, dan sejenisnya. Seperti mengutip Prof. Komaruddin Hidayat, yang memberikan pengantar dalam buku tersebut demikian, “…kalau niatnya ingin berdakwah dan berbagi ajaran agama yang begitu baik dan mulia, semestinya menggunakan cara yang baik dan mulia pula.” (h. xiv).

Ahmad Miftahudin Thohari
Ahmad Miftahudin Thohari
Peminat kajian filsafat, kebudayaan dan sosiologi. Aktif di komunitas Dianoia.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru