32.7 C
Jakarta

Mendadak Ustazah: Realitas Copas WA dalam Perspektif Identitas Komunikasi

Artikel Trending

KhazanahResonansiMendadak Ustazah: Realitas Copas WA dalam Perspektif Identitas Komunikasi
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Identitas Komunikasi Gender

Di tengah menyeruaknya wabah superspread Covid-19  ini,  perempuan adalah bagian yang sangat signifikan keberadaanya di dunia maya.  Mereka mengisi berbagai ruang maya sesuai kapasitas, kebutuhan, dan kepentingan mereka. Entah dalam grup WhatsApp (WA) kajian, alumni, RT, keluarga, lingkungan kerja, komunitas, hobi, dan sebagainya.

Ungkapan pemikiran dan perasaan perempuan tentang Covid 19 yang telah merenggut ribuan nyawa yang terjangkiti pandemi global ini tidak hanya sebatas deskripsi ilmiah, juga  mengeksplorasi Covid 19 dengan berbagai  dalil dari Al-Qur’an dan hadist, tafsir, dan kisah-kisah (amtsal) yang mereka kuasai, melalui ruang whatsapp pun mereka berbagi keluhan, inspirasi, uneg- uneg, semangat bahkan kesempatan.

Namun, terlepas dari sejumlah perkembangan globalisasi yang menjadikan perempuan untuk lebih bebas dalam berekspresi dalam berbagi pemikiran dan pengalaman beragama, pada kenyataannya pemahaman ini masih terbatas dengan nilai-nilai sosial tertentu yang secara tidak langsung membentengi pemikiran masyarakat dalam mengkonstruksikan seorang perempuan.

Berangkat dari pemikiran di atas, muncul adanya semangat untuk membebaskan diri atas perlakuan dan stereotip yang diterimanya, salah satunya adalah mewujudkan kesetaraan bagi perempuan melalui sharing tausiyah dan konten-konten agama di WA/WAG.

Fenomena sharing atau yang disebut gender socialization oleh Elisabeth K. Kelan (2008) memberikan argumennya bahwa pandangan diskursif tentang gender sekarang  di era digital ini memang lebih mengarah pada upaya memunculkan diri sebagai “identitas subjek” melalui sosialisasi nilai-nilai gender yang disebarkannya. Bukan lagi “identitas objek”.

Namun, identitas subjek ini lahir bukan tanpa “kebebasan total” (free willingness) karena konsep ini lahir dibarengi dengan kesediaan perempuan untuk  terikat dengan nilai dan norma yang dikonstruksi secara sosial, dan melalui interaksi atau sosialisiasi, eksistensinya  bisa menyeruak dalam gerakan yang melahirkan wacana gender dan mengonstruksi posisi perempuan untuk menjadi sosok ideal sesuai perspektif masyarakat tersebut.

Pembentukan identitas “agamis” atau mengidentifikasi ustazah yang selalu berbagai konten copas tentang tausyiah, termasuk Covid 19 pada dasarnya tidak terlepas dari proses sosialisasi dan komunikasi yang dibangun secara sosial, seperti di ruang WAG.

Secara konseptual, pembentukan identitas di ruang WAG melalui penyebaran konten agama, termasuk Covid 19 yang berbalut agama dapat ditelusuri melalui pemikiran Margareth Mead dan Julia T.Wood (2000) tentang I and Me. Pembentukan identitas I and Me yang terbangun dalam lingkungan sosial melalui perilaku individu atau aktivitas simbolik yang muncul dari peleburan antara karakter dan pemikiran manusia dengan lingkungan sosialnya yang disebut interaksionisme simbolik.

BACA JUGA  Bimtek PPIH 2024: Upaya Kementerian Agama Melahirkan Uwais Al-Qarni di Zaman Modern

Misalnya, karakter I (Aku), adalah individu yang memosisikan dirinya sebagai subjek atau komunikator yang “dianggap paham tentang wabah Covod 19 denga ayat-ayatnya” melalui identitas yang dibentuknya. Melalui wag, si I ini dikarakterisasikan cenderung impulsif : individu berperilaku secara tidak terorganisasi, tidak terarah, dan lebih spontan dalam menyebar pesan agama.

Sedangkan, karakter Me secara message production, sebagai objek ataupun sasaran dalam interaksi dan komunikasi yang terjalin di wag entang konten agama. Namun, karakter I (penyebar konten) ini cenderung akan berkomunikasi sesuai dengan sikap orang lain (Me) juga (Mulyana, 2013).

Prinsip I and Me memosisikan para perempuan penyebar copas konten dakwah, apakah tentang keluarga atau Covid 19 di WAG, sebagai subjek atau sebagai objek. Keberadaan perempuan sebagai I dalam komunikasi di WAG mengarahkan dirinya secara dominan (superior) untuk membentuk identitas dengan menyebar konten agama sesuai yang mereka pahami.

Sedangkan, perempuan sebagai Me, cara bagaimana mereka melihat diri mereka sebagai sasaran penyebaran konten agama (inferior). Analisis I and Me ini bisa bergantian, saling melengkapi, dan saling menggantikan sesuai persepsi terhadap identitas yang dibangunnya.

Sekali lagi, melaui message production posisi perempuan penyebar pesan agama di WA dijelaskan sebagai komunikator pesan yang bertugas untuk memproduksi pesan informasi, baik itu berupa kutipan dan potongan dalil atau ayat, program keagamaan, kajian, nasehat, maupun muatan ajakan masuk pada kelompok atau aliran gama Islam di dalam WAG.

Tujuannya tak lain, menurut Miller (2005) adalah dalam rangka cara perempuan menyusun dan menyandikan sebuah “konsensus” atas pesan informasi yang dihasilkan pada si penerima pesan, sekaligus menjawab seluruh pertanyaan yang berkaitan dengan pesan-pesan yang dihasilkan. Tentu saja sangat penting perempuan untuk menjadi produsen pesan (penyebar konten) untuk membangun sebuah identitas, namun jauh lebih mulia untuk dapat mennjadi penyebar yang kritis dan antisipatif, dengan akurat mencermati setiap konten yang hendak disebar.

Apalagi di saat kondisi dunia, termasuk Indonesia menghadapi serangan wabah Covid-19 yang sangat berbahaya yang tentu saja sangat memerlukan kecerdasan dan kearifan, agar tidak menjadi penyebar yang justru memperparah kondisi umat yang tengah panik ini.

Ellys Lestari Pambayun, Dosen Komunikasi Penyiaran Islam-Fakultas Dakwah Institut PTIQ  Jakarta dan Peneliti Perilaku Komunikasi Masyarakat.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru