27.9 C
Jakarta
Array

Mendadak Penulis

Artikel Trending

Mendadak Penulis
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Hari Minggu, saya rutin membaca tulisan para penulis yang nangkring di media cetak (koran). Khususnya rubrik budaya, yang berupa puisi, cerpen dan esai. Tak sedikit tulisan para penulis muda muncul di sana. Dan sebagian besar mereka (penulis muda) berasal dari lingkungan kampus, yang notabene diwajibkan oleh dosennya untuk menulis ‘sesuatu’ bisa berupa puisi, cerpen atau kritik (esai) yang konon menambah point dalam mata kuliah bahasa Indonesia. Bahkan, mengejar coumlaude atau minimal dapet nilai A. Dari ‘keterpaksaan’ itu, para mahasiswa “Mendadak Penulis”.  Kenapa mendadak penulis? Jadi, yang tadinya sama sekali tidak pernah menulis dan mengirim karya (tulisan) di media cetak (selanjutnya disebut koran), tiba-tiba ‘harus’ menulis dan mengirim tulisan ke koran. Dan yang sama sekali amat benci pelajaran bahasa Indonesia dan puisi, tiba-tiba mereka ‘harus’ menulis puisi lalu dikirim ke koran yang mereka tuju. Nah, langkah ini bukan hanya digunakan oleh para pengajar dan pendidik (selanjutnya disebut dosen) yang stay di kampus negeri saja tetapi juga kampus swasta. Dan bukan hanya dosen yang mengajar di kampus yang memiliki jurusan sastra indonesia. Namun, kampus-kampus umum pun demikian. Alhasil, ternyata hasil pengamatan saya para mahasiswa yang “Mendadak Penulis” seperti jamur. Mereka tumbuh dimana-mana. Akhirnya, para mahasiswa yang “Mendadak Penulis” menjadi sorotan publik bahkan para dosen yang lain. Dan mereka dianggap pintar dan kritis.

Kemudian, saat ini para mahasiswa bukan hanya koran yang mereka tuju sebagai media berkarya. Akan tetapi, lomba-lomba menulis yang memenuhi blog, website, facebook, instagram, line pun menjadi kejaran mereka. Begitulah, dunia akademik kerapkali membuat strategi pengajaran dengan iming-imingan yang jelas. Agar para mahasiswa dapat mengikuti alur mereka (para pengajar) sesuai kurikulum yang mereka buat. Dan memenuhi silabus, sap dan program belajar-mengajar di kelas. Sama saja pada waktu kita kecil, secara umum orangtua akan memberikan reward kalau kita (sebagai anak) mendapat juara di kelas, dapat nilai maximal (bagus), dan berhasil menyabet 3 besar. Alhasil, apakah cara ini berhasil? ketika kita akan mencetak generasi berikutnya untuk menjadi penulis?

Penulis dan Proses Kreatif

Tahun 2000-an, saya waktu itu masih duduk di bangku sekolah dasar (SD) dan pada waktu itu juga teknologi belum secanggih sekarang, teknologi belum booming seperti sekarang. Kami, sebagai murid SD di desa yang memang dikatakan pelosok masih menelateni permainan apapun yang tersedia di lingkungan kami. Kami terbiasa bermain hujan-hujanan, petak umpet, jitungan, gobag sodor, sunda manda, wayangan, bebe mini dan lain sebagainya. Dan kami sangat menikmati keadaan itu. Dan ketika sehabis dhuhur, saya dan beberapa teman laki-laki bermain layang-layang di sekitar bukit yang tak jauh dari rumah kami. Permainan satu ke permainan lain amat terkenang bagi kami. Malah sampai sekarang saya sendiri selalu ingat kejadian itu. Begitu mengasyikkan.

Tahun 2004, saya masuk esempe negeri (tepatnya SMP Negeri 2 Ajibarang) di kota kecil ajibarang, yang letaknya tidak jauh dari rumah. Kurang lebih 10 kilo dari gubug saya. Kalau memakai kendaraan sendiri bisa ditempuh selama 10 menit. Tetapi, kalau kita naik angkutan desa kurang lebih setengah jam/ 30 menit. di sekolah itu, saya sudah dihadapkan dengan fasilitas yang memadai (menurut saya). Berbagai kegiatan intra atau ekstra sangat memungkinkan untuk kita (sebagai pelajar) berkreasi di sana. Tinggal pilih sesuai kemauan dan kemampuan kita. Albert Einstein mengatakan, “keberhasilan ditentukan oleh kerjakeras 90% dan teori 10%. Benarkah demikian? Apakah kalian sudah mempraktekkannya?

Ketika di esempe saya lebih banyak menghabiskan waktu untuk mencari, mencari dan mencari apa yang harus dicapai, ditempuh dan dihasilkan agar orangtua bangga dan bahagia memiliki anak seperti saya. Saya, secara pribadi tidak ingin hidup susah dan melihat orangtua saya menderita apalagi terpuruk dengan keadaan keluarga. Saya yakin tidak ada orangtua yang akan memasukkan anaknya di dalam ruangan yang gelap atau pun sebaliknya, tidak ada anak yang akan menyengsarakan orangtuanya. Hanya saja caranya berbeda-beda. Masing-masing keluarga memiliki cara sendiri dalam mengantarkan anak-anaknya untuk hidup mandiri dan sukses. Dan sebaliknya, setiap anak memiliki cara sendiri dalam membahagiakan dirinya sendiri dan juga orang-orang di sekitar.

Tolak ukur kesuksesan dalam kamus saya ‘tidak ada’, yang ada adalah bagaimana kita sebagai manusia (umat muslim) menyadari bahwa kita harus memanfaatkan waktu sebaik mungkin untuk kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Begitu bukan? 24 jam sehari, apa saja yang kita lakukan? Dalam Hadist diriwayatkan, sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lain (orang lain). Kita memiliki waktu yang sama yaitu 24 jam dalam sehari. Dan saya yakin, setiap orang memiliki kesibukan masing-masing sesuai kemampuan dan kemauan mereka sebagai manusia di dunia. Bisa tidaknya tergantung dari diri kita sendiri bagaimana memahami keadaan dalam menempuh kebaikan di dunia untuk akhirat nantinya.

Kesadaran untuk Menulis

Diskusi dari satu pintu ke pintu berikutnya—kalau dalam dunia bisnis disebut dengan Multi Level Marketing (MLM) terlampaui. Pencarian saya menemu ruang juga. Setidaknya ruang sunyi yang bisa merenung, berfikir, berimajinasi dalam waktu yang saya butuhkan. Usut punya usut, kenapa mereka menulis? Mengapa mereka menjadi penulis? Alasannya adalah menulis karena kegelisahan, menulis karena tekanan, menulis karena terpaksa, menulis karena beban hidup, menulis karena keterpaksaan, menulis karena uang (kebutuhan) dan lain sebagainya. Alasan-alasan itulah yang menjadikan seorang mau dan mampu menulis sesuai bidang dan kebutuhan mereka. Acap kali saya tanya, mereka kerap menjawab dengan susah payah. Sebab, tidak sedikit penulis yang lahir dari keterpurukan keadaan atau pun luka yang bertahun-tahun tak kunjung sembuh.

Kita amati Pamoedya Ananta Toer, karya-karyanya sudah ratusan kali dicetak ulang. Dan hampir 90% karya-karyanya lahir dari keadaan yang mengguncang pribadinya. Begitu halnya dengan penulis-penulis lainnya yang karya-karyanya sudah termakan usia bahkan hilang (tidak dipublikasikan).

Semoga, dengan cara sedemikian rupa generasi penerus bangsa sadar akan hakikat menulis untuk apa dan untuk siapa mereka menulis.

Oleh: Yanwi MudrikahM.Pd., penggerak Gubug Kecil Indonesia.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru