Harakatuna.com – Dalam terorisme dunia, perempuan selalu kalah. Di Suriah, perempuan-perempuan dieksploitasi secara seksual oleh pria-pria yang menyalurkan bantuan atas nama PBB dan lembaga bantuan internasional. Mereka harus melayani pria hidung belang dengan imbalan bantuan makanan dan minuman.
Di Suriah perempuan bernasib malang. Menurut laporan BBC, perempuan di sana terus mengalami pelecehan seksual dan eksploitasi tanpa henti. Situasi tersebut menjadikan perempuan-perempuan Suriah takut pergi ke pusat kota untuk mengambil bantuan yang menjadi haknya. Mereka takut dilecehkan dan juga takut dianggap menjajakan tubuhnya sekadar demi mendapat bantuan yang tak setimpal.
Anehnya, perlakuan eksploitasi perempuan ini tidak dijadikan isu penting oleh lembaga kemanusiaan dan berbagai media di sana. Malahan, sejumlah badan kemanusiaan menutup mata terhadap eksploitasi tersebut. Hanya segelintir lembaga bantuan saja, seperti United Nations Population Fund (UNFPA) yang memberi perhatian pada kasus kekerasan berbasis gender ini.
Menurut laporannya, selama 2018, bantuan di Suriah memang ada dan diberikan pada pengungsi dan yang terdampak peperangan. Namun bantuan kemanusiaan tersebut hanya diberikan kepada mereka yang mau ditukar dengan seks. Bahkan, banyak perempuan muda dipaksa menikah dengan pejabat atau “orang penting” dalam waktu pendek sebagai pemuas nafsu bejatnya.
Situasi tidak manusiawi itu menjadikan beberapa perempuan di sana bergabung dengan kelompok teroris dan kemudian menjadi teroris sebagai upaya untuk melakukan perlawanan. Faktor inilah yang seringkali terlewatkan oleh kita sebagai bahan analisis untuk melihat kompleksitas keterlibatan perempuan dalam radikalisme dan terorisme.
Perspektif ini penting dipahami agar bisa memberikan intervensi yang lebih efektif dan lebih luas dalam melihat dinamika terorisasi pada perempuan. Carl Rogers, penggagas teori Person-Centered Therapy (PCT), mengatakan bahwa perempuan seringkali menerima tanpa syarat karena situasi yang mengungkung hidupnya.
Ketika perempuan terasa terbebani dengan eksploitasi seks, dan karena itu tidak lagi merasa berharga hidupnya, maka dia akan mencari cara agar dapat berkembang, setidaknya bisa memberikan stimulus berarti pada dirinya sendiri. Menjadi teroris inilah sering kali cara yang dipilih perempuan sebagai tempat mengungkapkan perasaan mereka terhadap diskriminasi gender dan peran sosial hidupnya.
Sementara, di kelompok teroris dia diterima keberadaannya layaknya bidadari surga firdaus. Menurut Rogers, pendekatan penerimaan dan empati ini memberikan ruang bagi individu, termasuk perempuan agar dia merasa dihargai hidupnya dan karena itu dia mau berjuang bersama kelompok teroris, sebagai sesuatu penghormatan atas penerimaan gender dan solidaritas untuknya.
Harus diingat, teroris telah mempelajari dan jago dalam berbagai ilmu, termasuk memahami psikologis perempuan untuk dijadikan perangkat merayu korbannya. Dalam kasus terorisme global, kelompok teroris ini memiliki kemampuan untuk merekrut perempuan dengan cara memanipulasi emosional atau psikologis.
Kelompok teroris menarget perempuan yang merasa terpinggirkan, kurang mendapatkan perhatian dalam masyarakat, atau yang memiliki problem hidup akut. Teroris ini menawarkan sebuah komunitas dan menjanjikan tujuan hidup yang jelas dan bermakna. Lambat laun perempuan ini tidak memiliki kendali atas hidupnya sehingga dia melakukan semua perintah mereka dengan alasan mencari makna hidup yang lebih besar, sekadar menjadi pelacur. Penggunaan narasi romantis ini telah berhasil diterapkan di negara-negara konflik Timur Tengah, sebagaimana dicontohkan pada kasus perempuan di atas.
Mengganti Konsep
Kasus perempuan masuk dalam perangkap kelompok terorisme tidak mudah. Ia harus melewati berbagai pengalaman pahit yang menimpa dirinya, mulai karena kekerasan seksual, kondisi sosial, psikologis, ideologis, atau karena kekurangan kesempatan, ketidakadilan sosial, dan pencarian identitas.
Oleh karena itu, untuk mencegah keterlibatan perempuan dalam terorisme, butuh pembalikan dengan apa yang dilakukan oleh kelompok teroris di atas. Yakni, perempuan harus dihargai identitas gendernya, disetarakan secara pendidikan, sosial, politik, dan budaya.
Perempuan harus diterima secara utuh, tubuh dan kehadirannya. Berdasarkan teori konseling yang dikembangkan Albert Ellis dalam konsep Rational Emotive Behavior Therapy (REBT), telah membuktikan bahwa penerimaan identitas perempuan secara utuh menjadikan pikiran, perasaan, dan perilaku perempuan lebih rasional dan realistis dalam menentukan hidupnya.
Dengan mengganti konsep penerimaan tanpa syarat yang dipakai teroris di atas–yang berhasil memanipulasi emosional atau psikologis perempuan–maka kita dapat menangkal perempuan jatuh lebih banyak lagi ke tangan teroris. Di tengah kasus Suriah di mana kondisi perempuan sama sekali tidak menemukan kepastian, saatnya kita lebih ekstra hati-hati dalam memberikan narasi-narasi agar kita bisa berpikir lebih seimbang dan rasional.
Dengan menggunakan teori-teori konseling dalam memetakan kasus perempuan masuk ke dalam terorisme, kita dapat memberikan dukungan yang efektif untuk mencegah terorisme pada perempuan dan membantu mereka membangun kehidupan yang lebih sehat, bermakna, dan produktif.