33.2 C
Jakarta

Mencegah Konflik, Menutup Ruang Gerak Kelompok Radikal-Teror

Artikel Trending

KhazanahPerspektifMencegah Konflik, Menutup Ruang Gerak Kelompok Radikal-Teror
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Ibarat pohon, ideologi radikal dan gerakan teror membutuhkan lahan subur agar mereka dapat tumbuh. Dan, salah satu lahan paling subur bagi gerakan teror ialah kondisi masyarakat yang intoleran, dan sarat akan potensi konflik sosial, politik, hingga agama. Sejarah mencatat, bagaimana ideologi radikal dan gerakan teror tumbuh subur di negara-negara dengan tingkat intoleransi tinggi dan dilanda konflik berkepanjangan.

Di kawasan Timur Tengah misalnya, paham radikal dan gerakan teror berkembang menjadi semacam pandemi sosial pasca sejumlah negara dilanda konflik domestik berkepanjangan. Kaum radikal-teroris memanfaatkan situasi chaos (kekacauan) yang ada di masyarakat untuk menebar propaganda dan provokasi yang mengarah pada tindak kekerasan atas nama agama.

Hal sama terjadi di Indonesia. Jika ditarik ke belakang, mencuatnya paham radikal dan gerakan teror di Indonesia bisa dilacak dari peristiwa konflik berlatar SARA di sejumlah wilayah di awal era Reformasi. Seperti kita lihat, konflik SARA di Poso, Ambon, dan sejumlah wilayah lainnya telah menjadi embrio lahirnya kelompok radikal-teror yang terus bermutasi dan berevolusi hingga sekarang.

Polarasi dan Segregasi

Sebaliknya, di negara-negara dengan potensi konflik nisbi rendah dan tingkat toleransi yang tinggi, virus radikalisme dan wabah terorisme dipastikan tidak akan bisa berkembang. Cara pandang toleran, inklusif, dan moderat dalam menyikapi realitas sosial-keagamaan yang pluralistik ialah benteng utama melawan infiltrasi paham radikal. Itulah sebabnya, kelompok radikal-teroris tidak pernah berhenti berupaya menciptakan situasi konflik. Karena hanya di situasi konflik itulah mereka bisa eksis.

Dalam konteks Indonesia, kita melihat bagaimana kelompok radikal berusaha menunggangi setiap isu yang mencuat ke permukaan untuk mengadu-domba umat. Di bidang politik, kaum radikal memanfaatkan momentum menguatnya polarisasi masyarakat yang menguat belakangan ini sebagai ajang untuk mempropagandakan paham radikal-ekstrem. Di bidang sosial, kaum radikal mengeksploitasi terjadinya segregasi sosial dengan menebar provokasi kebencian berlatar SARA. Sementara di bidang keagamaan, kaum radikal berusaha mengkapitalisasi menguatnya konservatisme agama dengan membangkitkan sentimen anti-minoritas.

Pendek kata, kaum radikal berusaha menjadikan fenomena polarisasi politik dan segregasi sosial sebagai bahan bakar terjadinya friksi alias gesekan. Baik gesekan horizontal yang melibatkan kelompok masyarakat yang berbeda. Maupun gesekan vertikal, yakni antara rakyat dan pemerintah. Di sinilah pentingnya kita menjaga relasi harmonis dalam konteks horizontal maupun vertikal. Dalam konteks horizontal, kita harus memperkuat hubungan antarkelompok masyarakat yang berbeda suku, ras, etnis, dan agama.

BACA JUGA  Cara Aswaja Merawat Kedamaian dan Menolak Ekstremisme

Mencegah Konflik Horizontal dan Vertikal

Caranya ialah dengan meruntuhkan tembok polarisasi politik dan segregasi sosial. Polarisasi politik akan runtuh manakala publik bisa lebih dewasa dan berdemokrasi dan menyikapi perbedaan politik secara lebih rasional dan bijak. Di alam demokrasi, perbedaan politik idealnya dianggap sebagai sebuah keniscayaan yang tidak perlu dieksploitasi sebagai isu keagamaan. Sedangkan segregasi sosial dapat diatasi dengan memangkas kesenjangan sosial-ekonomi yang kerapkali menimbulkan kecemburuan sosial. Di titik ini, agenda pemerataan kesejahteraan dan keadilan ialah hal mutlak yang harus diwujudkan.

Terakhir, dalam konteks relasi vertikal, kita membutuhkan paradigma baru dalam konteks hubungan antara negara dan masyarakat. Di satu sisi, negara tidak boleh terlalu kuat sehingga menjurus pada otoritarianisme. Negara otoriter rawan menimbulkan resistensi alias perlawanan publik yang tentu potensial ditunggangi kelompok radikal. Di sisi lain, negara yang terlalu lemah juga akan kehilangan wibawanya di hadapan kelompok intoleran-radikal.

Jalan tengahnya ialah negara harus setia pada doktrin demokrasi. Yakni memberikan ruang seluas-luasnya bagi partisipasi publik, termasuk memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk memberikan masukan dan kritik pada pemerintah. Dengan begitu, publik akan merasa dilibatkan dalam tiap pengambilan keputusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Namun, negara juga tidak boleh kalah dengan kaum intoleran-radikal yang berusaha menebar friksi dan konflik dengan mengatasnamakan kebebasan berpendapat.

Arkian, segenap elemen bangsa harus bersinergi untuk mencegah konflik sosial-politik dan agama terjadi di Indonesia. Tersebab, situasi konflik ialah celah bagi kaum radikal-teroris untuk menancapkan dominasi dan pengaruhnya di ruang publik. Terjebak pada narasi konfliktual yang membonceng isu polarisasi politik atawa segregasi sosial sama saja dengan menggelar karpet merah bagi kaum radikal-ekstrem. Sebaliknya, mencegah konflik sama saja dengan menjaga negeri ini dari manuver kaum radikal-ekstrem.

Desi Ratriyanti
Desi Ratriyanti
Lulusan FISIP Universitas Diponegoro, bergiat di Indonesia Muslim Youth Forum.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru