26.2 C
Jakarta

Mencari Sebuah Kebenaran

Artikel Trending

Asas-asas IslamTasawufMencari Sebuah Kebenaran
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com-Kebenaran adalah lawan kata dari kata kesalahan, jika hal ini dilihat dari pola pikir oposisi binner, yang melihat semua hal dari dua hal yang bertentangan. Kebenaran adalah suatu alat yang digunakan untuk mengukur suatu hal, apabila hal tersebut dikatakan benar maka hal itu kemungkinan besar adalah hal yang baik, dan apabila hal tersebut dikatakan tidak benar maka kemungkinan besar hal tersebut adalah hal yang buruk. Sebuah kebenaran banyak digunakan oleh masyarakat luas sebagai suatu ukuran untuk menentukan baik buruknya sesuatu. Sehingga ada suatu kesimpulan pemikiran yang menyatakan bahwa segala hal yang benar adalah baik dan segala hal yang tidak benar adalah buruk.

Akan tetapi tolak ukur suatu kebenaran juga merupakan hal yang masih diperdebatkan, karena kebenaran itu sendiri sangat bergantung dengan tempat, waktu dan pengetahuan. Adakalanya suatu hal dianggap benar disatu tempat dan bisa dianggap salah pada tempat yang lain, bisa juga suatu hal bisa dikatakan benar pada waktu sekarang, akan tetapi bisa menjadi hal yang dianggap sangat fatal kesalahannya dimasa yang akan mendatang.

Kebanyakan para filsuf menyatakan bahwa untuk menentukan tolak ukur suatu kebenaran ada tiga yaitu akal, wahyu dan realitas. Oleh karenanya suatu kebenaran dapat diproduksi dengan menggunkan tiga tolak ukur tersebut. Akan tetapi tiga tolak ukur tersebutpun masih menimbulkan banyak perselisihan mengenai suatu kebenaran, misalnya jika menggunakan tolak ukur kebenaran adalah akal, berapa banyak kebenaran yang belum menemui titik temunya dengan menggunakan akal, misalkan pembahasan mengenai asal-asul bumi, banyak teori muncul mengenai hal ini, dan akhirnya kebenaranpun diakuisisi oleh masing-masing teori tersebut. Teori A menyatakan bahwa kebenaran asal usul bumi adalah begini, sedangkan teori B menyatakan kebenaran asal usul bumi adalah begini, bahkan tak jarang teori tersebut saling bertentangan.

Dan apabila digunakan tolak ukur wahyu untuk menetukan kebenaran, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, memang dengan menggunakan tolak ukur wahyu kebenaran itu bisa lebih universal karena nilai kebenaran wahyu tidak terikat oleh tempat, waktu dan realitas. Dan kebenaran wahyu menurut sebagian ulama merupakan kebenaran mutlak sehingga tolak ukur akal harus selaras dan menyesuaikan kebenaran wahyu. Namun demikian bagi para pendukung tolak ukur kebenaran berdasarkan akal menolak hal demikian, karena mereka beranggaapan bahwa kebenaran akalpun tidak akan pernah bertentangan dengan kebenaran wahyu, karena tujuan dari keberaran wahyu atau akal adalah satu jua, yaitu menemukan tuhan, hal inilah yang menjadi pendapatnya Ibnu rusd.

Menurut hemat penulis tolak ukur wahyu ini bersifat mutlak hanya pada masa Rasulullah saja, karena pada masa ini untuk mencari kebenaran tinggal bertanya saja kepada Rasulullah, maka apa yang dikatakan oleh Rasulullah adalah kebenaran mutlak, karena apa yang diungkapkan oleh Rasulullah selalu dibimbing oleh tuhan, sehingga adalah suatu hal yang mustahil apabila apa yang diucapkan adalah suatu kebohongan. 

Selepas meninggalnya Rasulullah tolak ukur kebenaran wahyupun menjadi relatif. Artinya timbul banyak kebenaran-kebenaran berdasarkan kemampuan dalam memahami dua peninggalan Rasulullah yaitu al-Quran dan al-Hadis. Sebagai mana contoh dalam ranah akidah kebenaran dalam hal ini tidak mutlak lagi, karena dalam pembahasan mengenai ketuhanan banyak terjadi perbedaan antara paham Aswaja, Mu’tazilah dan Syiah. Paham akidah Aswaja tidak boleh disalahkan oleh paham aqidah Syiah, begitupun sebaliknya, karena dalam hal ini kebenaran akidah sudah mulai terkotak menurut pahamnya masing-masing. 

Taruhlah didunia ini paham yang berkembang hanya satu yaitu paham Aswaja saja. Maka harapannya adalah otomatis kebenaran Aswaja menjadi kebenaran mutlak, akan tetapi dalam Aswajapun terjadi banyak perbedaan dikalangan para pengikutnya, lantas dimanakah kebenarannya..?.

Dan apabila digunakan tolak ukur kebenaran adalah realitas, karena apapun teori dan paham akan terbantah dengan realitas yang ada, oleh karenanya Aristoteles menyatakan bahwa kebenaran adalah “Veritas est adaequatio intelctus et rhei”, yang diartikan kebenaran adalah penyesuaian antara pikiran dan realitas. Akan tetapi pemahaman mengenai realitaspun beragam sesuai subjek yang memandangnya, Dirk De Schutter menyatakan bahwa kebenaran bukan karena sesuai dengan fakta realitas, melainkan selaras dengan pengetahuan yang sudah ada sebelumnya. Itu artinya tolak ukur kebenaran berdasarkan realitas sangat bergantung pengetahuan subjek dalam memandangnya, dan otomatis karena perbedaan pengetahuan ini maka kebenaran realitaspun menjadi beragam.

BACA JUGA  Suka Melihat Senja Di Sore Hari, Ini Manfaat Melihat Langit Menurut Ulama

Terus dimanakah kebenaran yang benar benar menunjukan kebenaran..? apakah kebenaran itu hanya satu atau kebenaran itu berbilang..? kebenaran manakah yang harus dipercaya oleh umat manusia..?

Untuk menjawab apakah kebenaran itu hanya sebuah kebenaran itu berbilangpun sekali lagi terjadi perbedaan di antara paham yang berkembang.

Paham Aswajasepakat bahwa kebenaran itu tunggal tidak ganda [wahid wa Laa Yata’adad]. Namun pendapat ini diselisih oleh kalangan Mu’tazilahyang menyatakan bahwa kebenaran itu sifatnya berganda sesuai siapa yang meneliti kebenaran tersebut, dan sesuai kemampuan dan metode penelitian yang digunakan. 

Kebenaran menurut Mu’tazilah sifatnya standar tergantung kepada standar kebenaran siapa yang memakainya. Dengan demikian Muktazilah menggangap bahwa kebenaran yang dihasilkan oleh setiap mujtahid [setiap orang yang meneliti dengan menggunakan metode dan kaidah tertentu, oleh karenya penulis mengganggap peneliti juga mujtahid, akan tetapi bukan dalam bidang agama, melainkan pada bidangnya] adalah benar, walaupun terjadi perbedaan hasil dalam satu permasalahan.

Kebenaran menurut paham Muktazilah ini juga menjadi ciri kebenaran postmodernisme, yang dimana kebenaran bisa diproduksi oleh setiap otoritas-otoritas yang melakukan penelitian, kebenaran sifatnya tidak mutlak lagi karena kebenaran tidak menjadi milik satu otoritas saja seperti yang dielu-elukan dalam kebenaran modern. Kebenaran menurut Mu’tazilah/postmodernisme ini membuat wacana-wacana baru yang kecil dan bersifat lokalitas bisa berkembang karena tidak ada wacana yang mapan dan benar secara mutlak, semua wacana baik dari timur atau barat derajatnya sama. Tidak ada pengkerdilan wacana-wacan timur dari barat, dan tidak ada superioritas wacana-wacana barat dari timur.

Sedangkan Aswaja mengatakan bahwa kebenaran itu hanya satu dari hasil penelitian atau ijtihad yang dilakukan. Artinya dalam ijtihad, tidak mungkin semuanya benar, akan tetapi yang benar itu hanya ada satu. karena tidak mungkin kebenaran itu berbilang.

Jika berpedoman pada paham Aswaja ini, maka muncul suatu pertanyaan baru yaitu jika kebenaran itu hanya ada satu, kebenaran siapakah itu..?. inilah hal yang sangat sulit dijawab karena bagi para peneliti, satu pembahasan masalah bisa menghasilkan banyak hasil, dan semuanya itu dinyatakan benar oleh pengikutnya. Misalnya penelitian Syafií dalam hal A benar, pendapat maliki dalam hal A juga benar, pendapat Hanafi dalam hal A juga benar. terus manakah yang benar-benar paling benar, jika dikatakan bahwa sebuah kebenaran itu hanya satu…?Jawabanya dari pentanyaan ini adalah bahwa Kebenaran [dalam satu masalah] itu hanya satu, tidak mungkin berbilang, karena secara akal pun itu tidak bisa diterima. Bagaimana bisa satu masalah punya hukum lebih dari satu. 

Jadi kesimpulannya adalah kebenaran itu hanya satu tidak berbilang, hanya saja kebenaran itu tidak tertentu [Laa Yata’yyan] di penelitian siapa ia berada. Hal inilah yang dijelaskan oleh Imam al-Syafi’I, Beliau menyatakan bahwa yang benar itu hanya satu dari sekian banyak penelitian, akan tetapi tidak tertentu di penelitian siapa, dan selain dari yang satu itu semuanya salah. 

Sedangkan perkataannya semua mujtahid benar, maksudnya ialah mereka tidak berdosa jika hasil ijtihadnya itu salah, karena memang yang diminta ialah menjalankan tugas ijtihad, dengan begitu ia mendapat pahala atas ijtihadnya tersebut. Hal ini sesuai dengan hadist Nabi yang menyatakan “jika seorang berijtihad kemudian ia benar dalam ijtihadnya, maka ia mendapatkan 2 pahala. Sedangkan mereka yang salah, mereka dapat satu pahala (ijtihad)”.

Benar atau salah dalam memutuskan suatu hal bukanlah suatu permasalahan, akan tetapi tidak mau berusaha untuk mencapai sebuah kebenaran adalah permasalahan, karena bagi manusia yang terbatas kemampuanya bahwa kebenaran adalah keniscayaan, oleh karenya yang wajib dilakukan adalah terus berusaha dan berusaha, karena apapun usaha kita asalkan ditujukan untuk mencapai sebuah kebenaran pasti akan mendapatkan pahala, jika benar mendapatkan dua dan apabila terjadi kesalahan mendapatkan satu. 

Ahmad Khalwani, M.Hum
Ahmad Khalwani, M.Hum
Penikmat Kajian Keislaman

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru