Menanti Kontribusi Santri dalam Upaya Menangkal Paham Radikal
Oleh: Muhammad Najib*
Belum lama ini, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu melakukan kunjungan ke Ponpes Al-Hikam, Desa Tonjung, Bangkalan. Dalam kunjungan tersebut, Menhan menyampaikan bahwa para santri harus memiliki pemahaman kukuh tentang bela negara. Menjaga pertahanan negara dari berbagai ancaman, sekali lagi, merupakan kewajiban seluruh warga negara Inbdonesia, termasuk para santri. Lebih lanjut, Menhan menegaskan bahwa salah satu ancaman nyata saat ini adalah merebaknya paham radikal dan teroris.
Endang Turmudi (ed) dalam Islam dan Radikalisme di Indonesia (2005) radikalisme yang sering disematkan dalam Islam merupakan gerakan yang memperjuangkan identitas Islam dengan memanipulasi doktrin dan strategi bagi penguatan militansi dan ekstremitasnya. Manipulasi doktrin, paling banyak berkaitan dengan jihad.
Aksi-aksi bom bunuh diri, bagi kalangan mereka, adalah jalan menuju surga. Sebab, meninggalnya seseorang karena memperjuangkan dan menegakkan agama Allah adalah mati syahid. Dan sebagaimana teks agama Islam, bahwa orang yang mati syahid dijamin oleh Allah masuk surga. Maka, dengan pemahaman seperti itu dan sudah mengakar pada dirinya, menjadikan urat kemaluannya putus. Puncaknya, meminjam istilah Buya Syafii Ma’arif, teologi maut pun terjadi, yaitu berani menempuh jalan ekstrem seperti mengakhiri hidup demi membela keyakinan agama mereka.
Krisis Identitas
Merebaknya radikalisme terorisme sangatlah kompleks. Denny JA (2017), menyebutkan bahwa terorisme tidak melulu masalah paham radikal. Akan tetapi, ada agenda besar yang dimainkan oleh negara besar. Bahkan, ia juga warisan pertarungan geopolitik negara besar, bisnis senjata, persaingan di kubu teroris sendiri, tumbuhnya para amatir yang punya akses membuat bom, serta psikologi individu pelaku dengan halusinasi yang berbahaya (Kolom Detiknews, 21/8).
Juga tidak melulu karena pemahaman yang dangkal akan sebuah ajaran agama. Lebih kompleks lagi, terorisme diduga kuat muncul berkat fakta bahwa telah terjadi kesenjangan yang luar biasa, sehingga menyebabkan sebagian kecil kelompok masyarakat—tetapi lantang—untuk menuntut keadilan. Menyuarakannya dengan membuat kekacauan dan lain sejenisnya.
Lebih dari sekedar uaraian di atas, radikalisme terorisme muncul dan gerakannya massif karena terjadinya krisis identitas. Rasa nasionalisme dan krisis identitas kebangsaan. Berita WNI yang bergabung dengan ISIS adalah fakta menohok betapa masyarakat kita telah mengalami krisis identitas kebangsaan. Bagaimana mungkin, warga Indonesia berafilisasi dan bergabung dengan kelompok ekstremis seperti ISIS. Celah krisis identitas yang kebanyakan dialami oleh generasi muda inilah, dimanfaatkan dengan baik nan apik oleh ISIS guna perekrutan. Jadi, kondisi jiwa yang rapuh dan telah dilanda krisis identitas, seorang akan mencari pegangan. Jika yang ditemui pegangan yang benar, maka ia akan lurus. Sebaliknya, jika yang ditemui adalah organisasi radikal, maka ia akan menjadi bagian dari mereka.
Kontribusi Santri
Harus disadari bahwa menagkal paham radikal tidak bisa dilakukan secara personal, misalnya mengandalkan pemerintah saja. Tetapi, dibutuhkan kerja bersama, saling sinergis antar lembaga dan seluruh lapisan masyakarat.
Tak ayal, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu berkomitmen untuk merangkul para santri tangkal radikalisme. Senada dengan Menhan, Wakil Rais Syuriah PW NU Jawa Timur, KH. Nuruddin Arrahman mengatakan bahwa santri, sebagai warga negara yang baik, harus berkontribusi dalam menangkal paham radikal. Dalam dia, “Nyatakan perang terhadap paham radikal!”
Jika ditelisik dari sumbangsih santri terhadap negeri ini, rasanya tepat sekali jika saat ini santri harus ambil posisi “menyerang”, menabuh genderang perang melawan paham radikal yang telah menjadi ancaman nyata bagi persatuan dan kesatuan serta keamanan di Indonesia tercinta.
Hal-hal yang bisa dilakukan para santri dalam kaitannya menagkal paham radikal adalah: pertama, memberikan pemahaman keagamaan dan keindonesiaan yang baik dan kuat. Dalam ranah internal, para santri harus sudah selesai pada dirinya sendiri akan pengetahuan dan pemahaman keislaman dan keindonesiaan secara baik dan tepat. Misalnya, Pancasila merupakan spirit nilai-nilai dalam Islam. Islam menjiwai butir-butir Pancasila tanpa terkecuali. Setelah itu, memberikan pemahaman terhadap orang sekitar.
Kedua, meluruskan makna jihad. Bahwa jihad tidak serta merta mengangkat senjata dan merenggut nyawa. Dalam konteks negara damai, justru jihad itu menghidupkan, bukan mematikan. Menghidupkan ekonomi, agama, dan seluruh sendi kehidupan. Langkah semacam ini akan melahirkan generasi dan pribadi yang cinta perdamaian dan mengutuk aksi kekerasan. Sehingga, paham radikal, sekalipun menghantam bak ombak, tidak akan mempan. Sebab, pemahan akan keagamaan dan keindonesiaan sudah kuat.
Terakhir, menguatkan identitas. Sebagaimana dikatakan diawal bahwa penyebab seseorang terjerumus dan bergabung dengan kelompok radikal adalah adanya krisis identitas kebangsaan. Sehingga, dalam konteks ini, sosialisasi 4 pilar menjadi agenda yang tidak bisa abaikan. Penguatan akan nilai-nilai Pancasila adalah satu diantara tiga pilar lainnya yang menuntut untuk segera dikuatkan dalam diri seluruh bangsa Indonesia.
Dengan pemahaman bahwa Pancasila sebagai dasar bangsa dan falsafah, menjadikan manusia Indonesia menghargai perbedaan, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan tidak mudah bergabung kelompok radikal.
Tegas kata, para santri harus satu tekad menangkal paham radikal. Kesatuan tekad yang kuat itu sangat efektif dalam membendung paham radikal yang kian hari kian marak dan meresahkan masyarakat Indonesia karena setiap aktivitas sehari-hari diliputi rasa ketakutan adanya sebuah teror dan bom bunuh diri secara tiba-tiba yang bisa merenggut banyak nyawa.
*Penulis adalah dosen STEBANK Islam Mr. Sjafruddin Prawiranegara Jakarta