32.9 C
Jakarta

Menangkal Radikalisme dengan Fikih Moderasi

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuMenangkal Radikalisme dengan Fikih Moderasi
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF
Judul: Fikih Moderasi, Penulis: Muhammad Ihyaul Fikro, Penerbit: Wawasan Ilmu, Cetakan: I, Oktober 2022, Tebal: xiv + 61 Halaman, ISBN: 978-623-5522-69-2, Peresensi: Fathorrozi, M.Pd.

Harakatuna.com – Moderasi (wasathiyah) secara harfiyah diartikan tengah, tidak ke kanan dan tidak ke kiri, tidak terlalu rendah dan tidak terlalu tinggi, serta tidak terlalu keras dan tidak terlalu lirih. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, moderat berarti selalu menghindarkan perilaku atau pengungkapan yang ekstrem, dan juga diartikan berkecenderungan ke arah dimensi atau jalan tengah.

Secara terminologi, moderasi didefinisikan setiap kondisi seseorang baik secara pemikiran, ucapan, dan tindakan yang berjalan pada poros tengah. Poros tengah ini dalam konteks agama disebut dengan shirathal mustaqim. Dalam perspektif keislaman, Islam dan seperangkat ajarannya memiliki watak moderat (wasathiyah), tidak miring ke kanan (itraf), dan tidak condong ke kiri (tatrif).

Dalam konteks ini Allah berfirman dalam Alquran surah al-Baqarah ayat 142-143:

“Dia memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki ke jalan yang lurus. Dan demikian pula Kami (Allah) telah menjadikan kalian (umat Islam) sebagai umat yang berada di tengah agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) semua orang dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian.” (QS. al-Baqarah: 142-143).

Pada ayat di atas, moderasi menggunakan dua diksi, yaitu shirathin mustaqim dan ummatan wasathan. Dari dua ayat tersebut (142 dan 143), dapat disimpulkan bahwa Islam merupakan agama yang moderat, bukan agama yang ekstrem kanan atau kiri. Dengan kata lain, Islam seseorang dikatakan sempurna bilamana hidupnya tidak memiliki kecenderungan ekstrem.

Kehidupan yang moderat dalam segala hal merupakan kehidupan yang ideal dalam kondisi normal dan sebagai karakter kemurnian Islam. Alquran telah banyak memberi contoh praktik kehidupan moderat. Salah satunya bisa disimak dalam surah al-Isra ayat 110:

“Jangan engkau terlalu keras dalam salatmu dan jangan pula terlalu lirih. Akan tetapi, carilah jalan antara keduanya.” (QS. al-Isra: 110).

Tanpa diucapkan sekalipun, Allah Maha Mengetahui dan Maha Mendengar, tetapi kenapa masih diperintahkan untuk bersuara yang tidak terlalu nyaring dan terlalu pelan? Tidak lain kecuali Allah hendak menyampaikan pesan terhadap umat manusia agar hidup moderat (di tengah-tengah).

Dalam konteks kehidupan sosial, misalnya, Allah juga telah mengatur untuk dilakukan dengan jalan tengah. Sebagaimana firman-Nya dalam surah al-Isra ayat 29:

“Dan janganlah engkau jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan jangan (pula) engkau terlalu mengulurkannya (sangat pemurah) nanti kamu menjadi tercela dan menyesal.” (QS. al-Isra: 29).

BACA JUGA  Benarkah Plularisme Agama Itu Ideologi yang Cacat?

Beberapa nash tersebut sebagai bukti rujukan secara literer bahwa Islam dengan seperangkat aturannya menganut paham moderat (wasathiyah).

Islam moderat dipersiapkan sebagai bentuk perlawanan terhadap Islam garis keras atau Islam radikal, juga sebagai solusi dari hal-hal yang dipandang keras, ekstrem, dan radikal oleh sebagian orang. Islam moderat hadir untuk menampakkan wajah Islam yang damai, teduh, serta meneguhkan posisi Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin, tidak hanya rahmatan lil muslimin saja.

Sementara fikih merupakan cabang ilmu yang membahas tentang hukum-hukum syar’iyah amaliyah yang diambil dari dalil-dalil terperinci (tafshili) dengan cara mengambil dalil untuk menetapkan hukum dari sumbernya (istidlal). Fikih lahir sejak dahulu dan terus dipakai selama kehidupan manusia terus berlangsung.

Perkembangan fikih tidak terelakkan karena ia mengikuti hiruk-pikuk kehidupan manusia. Perlunya untuk mengkaji kembali sumber-sumber keislaman menjadi penting untuk mengetahui konteks dan sosio-kultural di mana dalil tersebut ditetapkan.

Banyak cara beragama yang hanya melihat satu sisi kaku dari sebuah dalil, pun juga ada yang terlalu melalaikan teks dan lebih mengagungkan konteks. Berangkat dari sinilah perlunya moderasi, di mana akan ditemukan titik tengah antara teks dan konteks.

Fikih moderasi atau fiqh wasathiyah bukanlah istilah baru di kalangan umat muslim. Melainkan Syeikh Yusuf Qardhawi pernah menawarkan konsep fikih wasathiyah sebagai respons munculnya pemahaman fikih yang dipandang kaku dan sangat tekstualis, juga sebab maraknya aksi paham radikal yang kontraproduktif terhadap kemajuan Islam, nama baik Islam dan dakwah Islam (hlm. 31).

Dari itu, fikih wasathiyah mengantarkan kita untuk memiliki nalar yang moderat tanpa menyalahkan pendapat satu sama lain, melainkan kita menampung pendapat tersebut dengan mempertimbangkan kajian mashlahah dan maqashid.

Fikih moderasi menengahi antara dua kubu yang ekstrem, yaitu kubu dengan pemikiran liberal yang terlalu jauh dari nash syariat dan kubu dengan pemikiran yang jumud, kaku serta tidak fleksibel. Dengan kata lain, fikih moderasi merupakan sikap menengahi antara yang berlebihan dan yang mengabaikan (hlm. 54).

Buku Fikih Moderasi ini merupakan kajian analisis dari kitab Khashaish al-Ammah li al-Islam karangan Syeikh Yusuf Qardhawi. Maka tidak aneh jika di dalamnya memuat penjelasan konsep fikih wasathiyah serta upaya Syeikh Yusuf Qardhawi dalam mempertahankan eksistensi wasathiyah. Selain itu, termaktub pula istilah-istilah fikih yang berhubungan dengan fikih moderasi.

Akhir kata, buku ini sangat layak dibaca untuk memperkuat pemahaman kita dalam mendalami hukum Islam (fikih) yang bernuansa moderat.

Fathorrozi, M.Pd
Fathorrozi, M.Pd
Pegiat literasi dan pengasuh Qarnul Islam Ledokombo Jember

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru