Harakatuna.com – Masa kerja pemerintahan Prabowo-Gibran sudah memasuki 100 hari. Ada banyak pihak yang memberikan penilaian atas 8 Program Hasil Terbaik Cepat (quick win) yang mereka canangkan dan disebut-sebut sebagai program prioritas dan pro rakyat dari misi Asta Cita menuju Indonesia Emas 2045.
Mereka yang memandang positif kinerja pemerintah, disandarkan pada hasil survei Litbang Kompas pada 4-10 Januari 2025 dan Indikator Politik Indonesia pada 16–21 Januari 2025. Survei Litbang Kompas misalnya, melibatkan 1.000 responden yang dipilih secara acak dan tersebar di seluruh Indonesia. Hasilnya menunjukkan bahwa sebanyak 80,9% masyarakat puas atas kinerja 100 hari pertama pemerintahan Prabowo-Gibran. Sedangkan sisanya (19,1%) mengaku tidak puas.
Bukan Hasil Rekayasa
Sedangkan temuan Indikator Politik Indonesia juga menunjukkan hasil positif terhadap kinerja Prabowo-Gibran. Survei yang dilakukan pada 16–21 Januari 2025 ini juga menyoroti ada tujuh menteri atau pejabat setingkat menteri yang dianggap memiliki performa terbaik di hadapan masyarakat. Mereka adalah Menteri BUMN Erick Thohir, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menko Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan AHY, Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya, Menteri Agama Nasaruddin Umar, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman, dan Menko Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra.
Hasil dari dua survei tersebut menunjukkan kinerja pemerintah pada periode awal ini cukup berhasil membawa perbaikan. Oleh sebab itu, mereka optimis pemerintahan baru selama 10 tahun kepemimpinan Jokowi ini akan mampu mewujudkan semua janji untuk masa depan bangsa Indonesia.
Namun, tidak sedikit yang berpandangan bahwa hasil survei di atas disebut sebagai rekayasa. Menurut aktivis HTI, pihak Litbang Kompas dan Indikator hanyalah media partisan. Mereka menganggap bahwa nilai pada program 100 hari ini terjadi di tengah berbagai kebijakan struktural yang terus menghimpit kehidupan rakyat.
Narasi Sesat Aktivis HTI
Di sisi lain pula, 100 hari kinerja pemerintahan pasangan Prabowo-Gibran dianggap tidak berhasil dan justru jauh dari yang diharapkan. Alasannya, banyak kebijakan yang dianggap menzalimi rakyat, tetapi dikemas dan diiklankan media partisan seolah-olah pro kepentingan rakyat. Tuduhan ini terus digelorakan oleh aktivis HTI ini dalam berbagai narasi di media sosialnya.
Bahkan, aktivis HTI memandang 100 hari kinerja pasangan Prabowo-Gibran sudah mati rasa karena tidak peduli atas berbagai penderitaan rakyat. Mereka mencontohkan kinerja dari Erick Thohir. Pandangan aktivis HTI ini, di masa kepemimpinan Erick, BUMN telah dijadikan sebagai bancakan politik, karena BUMN hanya diisi oleh orang-orang politik. Di bawah kepemimpinan Erick, kata mereka, BUMN makin kental orientasi bisnis, bukan bertugas mengurus layanan publik.
Aktivis HTI juga mengklaim bahwa program-program 100 hari kerja Prabowo-Gibran justru mencekik rakyat. Mereka mencontohkan program Makan Bergizi Gratis (MBG). Menurut aktivis HTI program ini tidak tepat sasaran dan tidak matang. Bahkan katanya, program MBG ini mencederai hal lainnya, seperti terjadinya penurunan tukin dan anggaran di ASN (terutama guru, dosen, dan tenaga kesehatan), TNI/Polri dan pejabat lain.
Sampai hari ini, aktivis HTI menyebut bahwa 100 hari kerja Prabowo-Gibran malah menjauhkan masyarakat dari mimpi kesejahteraan. Katanya, “terjadinya kapitalisasi layanan publik, krisis ekonomi, politik, dan moral makin hari makin menguat. Kasus-kasus kriminal, termasuk korupsi, judol dan pinjol makin ugal-ugalan namun tidak pernah tuntas terselesaikan” (Muslimah News, 29 Januari 2025).
100 Hari Kinerja yang Bagus
Sampai di sini, saya heran mengapa aktivis HTI begitu kejam dalam melihat program pemerintahan Prabowo dan sistem politik di Indonesia. Seperti tidak ada benarnya dan bagusnya sama sekali pemerintahan Prabowo-Gibran. Padahal, jika mereka jujur melihat fakta di lapangan, justru 100 hari kinerja Prabowo tampak berhasil. Misalnya, mereka berani menindak korupsi dan segala fenomena permasalahan yang terjadi di masyarakat.
Setahu saya, Prabowo juga tegas dalam menindak kriminalitas yang terjadi, baik dilakukan oleh aparat seperti pejabat polisi, tingkat kementerian dan mafia, atau yang dilakukan oleh masyarakat itu sendiri. Hal-hal seperti inilah yang tidak dilihat oleh aktivis HTI.
Bahkan, dalam berbagai bencana pun yang terjadi di mana-mana, pemerintahan Prabowo melakukan mitigasi dan berjibaku dengan kesusahan hidup rakyat. Negara hadir sebagai pengurus rakyat dan telah berani menyingkap sumber masalah dan sumber kezaliman yang diderita oleh rakyat Indonesia.
Menurut saya, meski Indonesia bukan negara Islam, atau negara yang menerapkan Islam secara kaffah sebagaimana diinginkan aktivis HTI, kehidupan bangsa Indonesia terlihat baik-baik saja. Dalam kinerja 100 hari Prabowo, Indonesia tampil memperlihatkan
sebagai negara berperadaban dan berposisi sebagai negara adidaya. Hal ini sangat dirasakan manakala Prabowo bertemu dengan pemimpin dunia dan kedekatannya dengan rakyatnya, lewat program dan kinerja 100 harinya. Sayangnya, aktivis HTI malu melihat ini.