27.1 C
Jakarta
Array

Menalar Titik Tolak Pilihan dan Terminal Tujuan

Artikel Trending

Menalar Titik Tolak Pilihan dan Terminal Tujuan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Menalar Titik Tolak Pilihan dan Terminal Tujuan

Oleh: Ach. Tijani*)

 Perubahan malam menjadi siang serta pergeseran dari barat ke timur adalah realitas yang dilewati oleh semua orang. Hal tersebut dapat dimaknai sebagai bentangan kesempatan yang biasa-biasa saja, namun tentu juga dapat berarti sebagai kesempatan yang penuh dengan arti. Pilihan pertama mendorong tubuh individu mengalir bagaikan air, mengikuti lajur hukum yang berlaku, sementara yang kedua adalah lajur kegandrungan manusiawi yang menginginkan kehidupan berkesadaran.

Satu hal yang tidak dapat didustakan pada dua pilihan di atas, yaitu bahwa dalam hidup selalu ada titik bertolak dan juga terdapat terminal sebagai pusat segala tujuan. Perbedaan dari dua pilihan sangat bergantung pada pemahaman individu terhadap dunianya. Kemampuan menyerap data dan kemampuan berimajinasi adalah dua kemampuan yang saling berhubungan. Maka data dapat diasumsikan sebagai titik tolak, sedangkan imajinasi adalah terminal tempat berhenti segala tujuan.

Seluruh realitas bergerak menuju terminalnya masing-masing.Terminal mempunyai arti penting, karenanya tugas menganalisa segala data juga menjadi penting. Maka hidup ini tidak cukup bersandar pada apa yang disampaikan oleh orang lain atau juga tidak boleh hanya egois pada kegandrungan diri. Tubuh individu selalu menjadi bagian dari kompleksitas dan keragaman di luar diri. Menarik diri dan menceburkan pada kemajemukan realitas adalah dua sikap yang bisa jadi saling bergantian.

Profokasi selalu menjadi candu yang membutakan mata dan telinga. Biasanya suara profokatif ini cenderung dinahkodai oleh para pemilik modal yang berkepentingan untuk berkuasa. Demokrasi tumpang tindih ditunjukkan dengan gerak teatrikal politik pengusaha ingin menjadi penguasa atau penguasa ingin menjadi pengusaha. Pada segmen berikutnya, hal tersebut telah mengubah bentuk peran para cendekiawan dan agamawan dari prilaku yang menentramkan menjadi peran yang mengkhawatirkan.

Segmen saling mengumpat, melecehkan dan merendahkan sudah cukup untuk menandakan adanya perubahan bentuk dari kaum cendekiawan. Sedikit demi sedikit kelompok ini makin menambah keruh persepsi mengenai dunia yang kita tinggali ini. Kelihaian dan pola ilmiah yang mengagumkan oleh kaum cendekiawan dan agamawan untuk menghadirkan persepsi dunia yang palsu makin menentramkan kalangan awam bersemayam di kilasan dunia yang dicitrakan.

Bergemuruhlah suara takbir dan masjid-masjidpun dijejali oleh umat yang khusyuk bermunajat meminta ulamanya diselamatkan. Pergerakan umat turun ke jalan makin sering dilakukan dengan dalih membela ulama dan agama. Sekilas, seluruh terminal tersebut tidak dapat disalahkan walau titik tolak dari semua tindakan tersebut perlu  dipertanyakan. Mempertanyakan tentu bukan karena tidak setuju dengan aksi pembelaan, tapi justru karena bermaksud ingin memuliakan.

Bahwa gemuruh umat turun ke jalan tidak bisa sama sekali dapat dipisahkan dengan gemuruh genderang perpolitikan. Titik tolak ini tidak pernah usai ditelaah, bahkan yang disuarakan adalah lompatan kesimpulan tanpa analisa logis dan penjelasan. Seakan-akan konsepsi mengenai realitas hanya ada hitam dan putih, pemimpin muslim dan kafir atau penegak agama dan penista agama. Umat terus dihujam dengan tusukan-tusukan kebuntuan tanpa alterlnatif, jika bukan mu’min pasti telah menafik.

Begitulah citra dunia dan diri kita ini dicitrakan. Persoalan Jakarta seakan-akan juga menjadi persoalan Indonesia secara keseluruhan. Jika berbicara persoalan ulama seakan-akan hanya menyempit pada persoalan KH. Ma’ruf Amin yang dicitrakan telah dihardik oleh Ahok di ruang sidang. Begitu juga ketika berbicara sosok pejuang Islam yang tangguh, seakan-akan hanya ada Habib Riziek. Keluasan realitas anugerah Tuhan telah menjadi sempit oleh kegagalan kita dalam melihatnya.

Satu potongan realitas yang paling dekat dengan kita yang sering luput dari perhatian adalah kemiskinan dan kebodohan. Sejumlah perjuangan konkret dalam bidang pendidikan oleh kaum cilik tanpa pangkat dan jabatan tumbuh subur di kampung-kampung walau tanpa santunan. Namun demikian upaya ini baru hanya mengeja huruf, bukan beranjak mengeja makna, bahkan di beberapa tempat masih banyak kalangan masyarakat yang masih buta huruf. Secara singkat pendidikan masyarakat kita secara keseluruhan belum dapat dikatakan aman.

Di sisi kehidupan lainnya, tumpang tindih kebodohan, kemiskinan dan pemiskinan terlihat pada kemerosotan etos kerja kaum muda yang hanya berjumawa di depan layar dan labirin socmed sambil cengar cengir menunjukkan muka kebodohannya. Sesekali mereka hanya disibukkan dengan viralnya “om telolet om” yang didendangkan oleh kelompok anak-anak yang kehilangan lahan bermainnya. Lahan-lahan bermain itu telah direnggut oleh kepentingan raksasa bisnis dan juga oleh lebah-lebah ritel si merah dan biru, yang kemudian juga merenggut hak-hak pedagang kecil.

Upaya-upaya bangkit hanya dilakukan ala kadarnya. Ada guru ngaji yang bangkit tanpa gaji, mengajar huruf seikhlas hati. Walau demikian mereka tak pernah mengaku paling suci. Hal lain juga dilakukan oleh para kepala keluarga, yang pergi pagi-pulang sore menjadi babu di pabrik dan perusahaan yang mengolah hasil tanah tumpah darah mereka sendiri. Semua dibiarkan begitu saja, seakan begitulah takdir kehidupan ini menyapa.

Suatu saat Foucault mengasumsikan realitas serupa dengan hal di atas sebagai bagian dari penyakit jiwa (mental ilness).  Di dalamnya terdapat hipokritas para penguasa dan brutalitas para pengusaha. Pada saat kampanye calon penguasa bersuara tentang kesejahteran dan keadilan sementara pada kenyataan adalah hal yang berlawanan. Begitu juga dengan para pengusaha yang sangat kapitalis telah mengunyah seluruh hak-hak rakyat jelata. Hipokritas saja sudah cukup meluluhlantakkan negeri ini, apalagi jika keduanya telah berpadu. Jadilah panggung pemerintahan yang hipokrit sekaligus brutal.

Panggung kejayaan hanya milik mereka yang berkuasa dan kaya, sementara yang lemah makin dilemahkan dan yang bodoh makin dibodohkan. Kini panggung kejayaan itu dicitrakan sebagai tempat menyantuni Tuhan dan para keluarga Tuhan. Kaum awam terperangah oleh keelokan narasi kaum penguasa dan pengusaha. Panggung para keluarga Tuhan semakin gemerlap, disantuni oleh media hingga kemudian sampai dan mengisi mata dan telinga kosong kaum awam.

Di hari yang telah kehilangan semua identitas asli dari dunia ini, tentu sangat sulit untuk menentukan titik tolak apalagi menetukan terminal tujuan. Noema dan noesisdalam kacamata Endmund Husserl sudah tidak lagi sinkron. Noema sebagai suguhan empirik dalam persoalan warna dan bentuk tidak dapat langsung ditetapkan, begitu juga mengenai noesis sebagai suntikan makna yang diberikan kepada setiap fakta. Semua menjadi abu-abu dalam lipatan skenario hipokritas dan brutalitas.

Jika noema yang kasat mata saja terdapat keraguan, apalagi yang sudah terkemas dalam ruang digital televisi dan media digital lainnya, tentu makin diragukan. Seluruhnya harus dimaknasi sebagai properti, bukan sebagai inti. Fakta penodaan agama tidak selalu bermakna penodaan dalam arti yang sesungguhnya, tetapi akan selalu terbuka untuk membonceng kepentingan lain yang mengitarinya.

Relasi noema dan noesis nampaknya perlu mempertimbangkan teori seorang atomis yang bernama Democritus 400 SM. Salah satu diktum dari teori atom berbunyi, seluruh perubahan bentuk pada materi adalah puncak dari perubahan perkumpulan atom. Jadi seluruh wacana dan isu tidak dapat dipisahkan dari segerombolan manusia dengan berbagai bentuknya. Maka ajakan, wacana dan berbagai narasi yang mengemuka tidak pernah berdiri tunggal, di dalamnya selalu ada kelompok dan kepentingan. Maka noema sebagai fakta sosial hanya dapat dipahami dari komposisi yang membentuknya.

Pandangan komprehensif dan universal sebagai ciri dari berfikir filosofis mengambil bentuk yang cukup relevan untuk memberikan makna pada setiap fakta. Maka noesis itu harus mereprsentasikan tentang keutuhan noema dan segala hal yang mengelilinginya, termasuk kemudian ruang-ruang gerak sebagai diktum teori atom yang juga relevan dalam menghadirkan noesis yang dapat diandalkan.

Pendekatan filosofis di atas secara gamblang telah menganjurkan kepada kita untuk mendekosntruksi segala bentuk keutuhan pada bentuk pecahannya dan membelahnya dalam klasifikasi bentuk dan warnanya. Dengan cara seperti itulah, representasi tentang dunia ini setidaknya akan terlihat lebih jernih. Namun demikian kehadiran dan jangkauan kita secara fisiologis dan psikologis tentu menjadi penimbang final, sebelum kemudian kita tentukan titik tolak dan terminal dari segala tujuan kita.

Selanjutnya, hanya keberanian kita yang akan menentukan kelangsungan hidup ini. Apakah kita mau mendekosntruksi nalar yang sudah mengakar, atau membiarkannya tumbuh menjulang penuh gemerlap pencitraan. Berpesta ria di atas penderitaan kita sendiri, atau kita bergerak melawan segala bentuk penindasan. Berkelindan pada persoalan yang jauh atau menyelesaikan benang kusut kehidupan yang dekat. Bertakbir untuk melanggengkan hipokritas dan brutalitas atau bertakbir untuk kemaslahatan kita sendiri. Semua pilihan ada di tangan kita sendiri. Selamat memilih.

* Penulis adalah dosen IAIN Pontianak

 

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru