32.9 C
Jakarta

Menakar Potensi Radikalisme Cadar di Institusi Negara

Artikel Trending

AkhbarMenakar Potensi Radikalisme Cadar di Institusi Negara
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Kebijakan Menterian Agama terkait pelarangan menggunakan cadar sebagai simbol dari produk keagamaan itu keliru besar jika menginisialkan tersebut sebagai simbol dari radikalisme. Substansinya, cadar itu bukanlah ajaran keagamaan yang seharusnya setengah dipaksakan dengan agama Islam, sebab cadar adalah produk kebudayaan yang sudah menjadi tradisi berkembang hingga saat ini di kawasan timur tengah.

Di satu sisi, cadar memang adalah bagian dari yang tidak bertentangan dengan ajaran agama. Namun, di sisi lain, khususnya dalam perspektif antropologi hukum Islam, cadar itu disebut kultur (budaya) yang bercirikan agama, atau simbol-simbol kultural yang digunakan untuk mengekspresikan nilai nilai keagamaan (Islam). Oleh karena itu, budaya yang terakomodir dalam nilai-nilai agama itu lebih substantif dikatakan produk budaya.

Meski belakangan ini muncul kelompok-kelompok Islam radikal yang menganggap cadar adalah bagian dari konteks syariat tidaklah relevan, sebab itu Dr. Neng Dara Affiah, MA, selaku Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, saat diwawancarai tim Harakatuna Media (06/11/19), mengatakan bahwa, “cadar adalah produk kebudayaan timur tengah yang bukan hanya agama-agama tertentu dari agama smith yang menggunakannya. Tetapi, yang tidak beragama smith itu juga menggunakan jenis pakaian seperti itu”.

Oleh karena itu, untuk mengetahui lebih jauh pengamatan terhadap “Menakar Potensi Radikalisme Cadar Di Institusi Negara”. Intelektual Muslim UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dr. Neng Dara Affiah, MA, berkenan memberikan pandangan terkait larangan penggunaan cadar dari sudut pandang kaum perempuan. Dan apakah kebijakan ini menjadi langkah preventif, dan langkah edukatif oleh pemerintah untuk mencegah potensi radikalisme cadar di institusi pemerintah? Berikut petikan wawancaranya:

Ibu sebagai kaum perempuan melihat cadar itu seperti apa? Di berbagai kesempatan, sudah saya sampaikan bahwa cara berpakaian itu adalah ekspresi dari cara berpikir kita dan juga apa yang kita rasakan, kalau misalnya muslimnya moderat. Cara berpakainya seperti saya ini atau tidak berlebihan kira-kira ada standarnya. Tetapi, kalau yang berideologi konservatif atau sebut saja orang menyebutnya radikal. Bahkan, sekarang ada terminologi baru namanya manipulator agama. Itu mungkin biasanya agak berlebihan di dalam cara berpakaian, terutama pada perempuannya itu menutup seluruh tubuhnya hingga wajahnya. Hemat saya, itu agak berlebihan. Mengapa berlebihan? Karena untuk sholat pun wajah dan telapak tangannya harus kelihatan, apalagi tidak dalam kondisi sholat. Jadi, pandangan itulah yang dianutnya tentu saja begitu.

Apakah cadar itu masuk kategori budaya atau konteks syariat? Dalam studi-studi saya, kebetulan saya melakukan studi soal ini bahwa cadar itu adalah produk budaya. Pakaian jenis yang sama sebenarnya sudah dilakukan di zaman-zaman sebelum abad Islam datang. Yaitu, di era-era babilonia, kaum perempuan Yahudi juga menggunakan, dan saya juga punya gambar-gambarnya terkait soal itu. Bahkan, kaum Nasrani di timur tengah menggunakan. Sedangkan, di Indonesia sendiri komunitas ortodoks Syria namanya. Perempuannya menggunakan hijab panjang. Jadi, hemat saya itu adalah produk kebudayaan timur tengah yang bukan hanya agama-agama tertentu dari agama smith yang menggunakannya. Tetapi, yang tidak beragama smith itu juga menggunakan jenis pakaian seperti itu.

Kalau Cadar itu merupakan bagian dari produk kebudayaan, mengapa Menteri Agama saat ini mengidentifikasi budaya itu adalah bagian dari bahaya laten masuknya virus-virus radikalisme ke dalam institusi pemerintah? Hemat saya, saya juga pernah menyampaikan juga dalam beberapa kesempatan. Tidak begitu dulu cara dan langkah awal Menteri Agama untuk melarang. Karena itu, akan membenarkan kritik sebagian besar orang bahwa ini bentuk-betuk neo-Orba. Sebab dulu di zaman Orde Baru, siswa-siswa yang menggunakan jilbab, bukan cadar tapi jilbab biasa itu dilarang menggunakan jilbab melalui keputusan Kemendikbud, kalau hal serupa yang dilakukan oleh Menteri Agama yang sekarang itu semakin membenarkan bahwa model-model materialistik sedang diperlakukan di Indonesia sekarang ini. Melalui institusi-institusi pemerintah. Jadi, menurut hemat saya kalau mau kontra radicalism tidak begitu caranya, dan langkah awal yang harus dilakukan adalah harus ada semacam konsolidasi ulang dengan seluruh ASN di negeri ini. Kemudian, dibatinkan secara sistematis, dan terstruktur tentang UUD 1945, serta terkait ideologi Pancasila, dan bentuk-bentuk negara NKRI. Misalnya seperti itu, seperti empat pilar kebangsaan yang harus dibatinkan dan menjadi paradigma dia di dalam bekerja saat menjadi ASN.

Radikalisme ini identik dengan simbol katakanlah oleh pemerintah. Sedangkan, simbol dari persoalan itu dianggap ada semacam tafsir politik dari masyarakat awam, bahwa tujuan pemerintah dalam menerapkan kebijakan larangan terhadap cadar itu dianggap suatu pembungkaman terhadap lawan politik. Bagaimana ibu melihat dari persoalan tersebut? Sebenarnya itu bukan pembungkaman yang saya pahami. negara ini sebagai negara Pancasila. Oleh karena itu, hemat saya niatnya mungkin. Tetapi, sebetulnya semacam memblokir hal-hal yang itu tidak mengakui atau menolak saja. Namun, tidak begitu titik tolaknya. Apalagi perempuan yang dicurigai? Memang setiap intitusi pemerintah itu pasti punya aturan seperti adanya kode etik berpakaian, sebaiknya ASN baik pria maupun wanita itu harus patuh kepada kode etik tersebut. Karena dia sebagai pelayan publik atau guru seperti dosen-dosen yang digaji oleh pemerintah. Maka, konsekuensinya adalah melayani. Sedangkan, melayani itu wajah harus terlihatlah. Apakah tersenyum atau merengut, apakah wajah itu terekspresikan menerima atau menolak? Itu dari standarnya adalah wajah, kalau wajah itu ditutupi bagaimana kita bisa mengetahui? Berkomunikasinya seperti apa? Jadi, tidak usah berlebihanlah biasa-biasa saja, sebab wajah itu mesti standar kelihatan.

Radikalisme yang dipahami oleh pemerintah ini seolah-olah membahayakan, menurut pandangan ibu. Radikalisme itu seperti apa? Radikalisme gradasinya macam-macam, ada yang sangat kental 100% radikal itu yang melakukan pengeboman-pengeboman di berbagai Greja. Dulu, dari zaman Gusdur, Megawati, hingga SBY, ada pengeboman-pengeboman di hari-hari natal. Yang itu katanya ditenggarai Jama’ah Islamiyah, dan organisasi sejenis itu membahayakan pasti. Bahkan, bisa saja membunuh orang itu apakah tidak bahaya. Dulu, misalnya bom Bali, di Jakarta seperti di hotel-hotel itu mungkin kalian mengingat. Kemudian, di Tamrin. Kasus-kasus seperti itu sudah pasti membahayakan. Karena itu, menyangkut nyawa manusia, itu harus benar-benar dikejar, dan harus tegas terhadap pelaku-pelaku terorisme yang mengatasnamakan agama. Kadarnya itu ada kadar yang 24 karat, ada yang kental. Tapi, ada kadar yang biasa-biasa saja yang itu masih menggunakan simbol-simbol tertentu. Misalnya, perempuan yang menggunakan jilbab bercadar, atau laki-lakinya menggunakan celana cingkrangm, dan berjenggot misalnya. Tapi, dia masih agak toleran terhadap kelompok agama lain, atau yang berbeda dengan dia mungkin itu kadarnya tidak setinggi yang pelaku teror.

Dari budaya-budaya itu kalau kita lihat dari segi fakta historisnya potensi radikalisme muncul dari sebuah gagasan, dan gagasan itu kemudian ada saat ini semacam sebuah gerakan-gerakan atau kelompok-kelompok tertentu yang kemudian mengagamakan budaya? Itulah masyarakat kita, terutama masyarakat Muslim itu tidak bisa membedakan mana aspek budaya dan mana aspek prinsip-prinsip ajaran agama. Misalnya, seperti makan manggunakan tangan kanan, dan menggunakan baju dengan celana cingkrang. Menurut hemat saya, itu adalah produk kebudayaan yang mungkin pada zaman Nabi trendnya seperti itu. Sehingga, model itu berkembang. Dulu pun, sesepuh-sesepuh dan para kiai kita atau ulama-ulama besar, menggunakan baju putih kalau shalat jum’at saja, atau menggunakan sorban itu untuk shalat jum’at saja. Sedangkan, kalau hari-hari biasa menggunakan sarung nusantara saja dan peci. Jadi, kebudayaan itu berkembang. Tetapi, masyarakat kadang-kadang tidak bisa membedakan mana yang budaya mana yang agama. Yang seperti shalat, haji, dan zakat itu pastilah agama. Jikalau digugat seperti apa pun itu sudah qat’ie (pasti), dan semua orang Islam terikat pada aturan tersebut. Karena itu, adalah ajaran agama. Tapi, kalau soal pakaian tidak semua orang itu terikat dengan jenis pakaian tertentu. Ada beragam model cara orang berpakian. Jadi, apa yang saya ingin sampaikan, adalah kita harus pintar-pintar mempelajari ajaran Islam. Sebagaimana kita harus bisa membedakan mana yang prinsip-prinsip kita beragama yang menjadi pijakan dan tidak boleh ditinggalkan. Tetapi, mana hal yang aspek budaya yang itu boleh saja kita tinggalkan.

BACA JUGA  Sejak 7 Juli 2023 Kemenkominfo Tindak 5.731 Konten Radikalisme hingga Terorisme

Kalau kita mengingat kembali bahwa beberapa statement baik itu dari Presiden, Wakil Presiden, Menko-PMK, dan Menkopolhukam Prof. Moh. Mahfud. MD sempat memberikan statement hukumnya “bahwa siapapun yang bekerja dalam institusi pemerintah harus tunduk dan taat pada aturan”? Itu saya setuju, oleh karena itu kalau misalnya pemerintah melarang para perempuan atau prianya menggunakan pakaian yang tidak sesuai dengan aturan pemerintah jangan bekerja di tempat tersebut.

Saat ini seolah-olah dengan wacana pemerintah, khususnya di lembaga kementerian apakah ibu sepakat jika Menteri Agama atau lembaga kementerian yang lain menerapkan kode etik berpakaian? Kode etik berpakaian itu setuju, Misalnya, hari senin menggunakan seragam Korpri, atau hari selasa menggunakan baju adat, dan lain sebagainya. Yang menutup cela bagi ASN untuk menggunakan pakaian-pakaian yang seperti Niqab itu. Mungkin tidak harus tertulis, misalnya dilarang menggunakan cadar. Tetapi, misalnya dinyatakan saja secara tertulis bahwa hari senin menggunakan baju seragam Korpri, mau menggunakan kerudung atau tidak. Tapi, tetap wajahnya harus terlihat. Jadi, dibuat saja aturan cara berpakaian di dalam institusi pemerintah dengan menutup cela orang tidak menggunakan cadar. Bisa juga tidak harus dieksplisitkan dilarang untuk menggunakan cadar. Tapi, sebenarnya kita untuk menutup peluang atau cela untuk dia tidak menggunakan cadar.

Hal ini kemungkinan besar terjadi Menteri Agama menerapkan kebijakan tersebut atau merekomendasikan sebuah aturan. Melihat dari persoalan ini bagaimana cara memberikan pemahaman yang baik dan pendekatan-pendekatan apa yang sekiranya efektif agar kode etik bisa diikuti oleh kaum perempuan khususnya yang bekerja di institusi pemerintah? Itu tergantung kepada di institusi pemerintah sendiri. Mulai dari tingkat Menteri, Dirjend, para direktur-direktur untuk melakukan konsolidasi ulang terhadap pagawai-pegawai yang ada di lingkungannya. Terutama pegawai-pegawai yang ada di bawahnya, saya kira pasti bisa untuk melakukan rekonsolidasi dan juga memahamkan ulang tentang tujuan institusi itu. Dan memberikan pengajian-pengajian yang dia tidak bertolak belakang dengan ideologi negara ini, serta cita-cita kementerian tersebut.

Apakah jangan-jangan perlu juga terkait pentingnya wawasan kebangsaan? Itu sangat penting sekali. Karena wawasan kebangsaan sebenarnya di dalam internalisasi ideologi Pancasila itu bagian dari wawasan kebangsaan. Tetapi, lebih dari itu. Menurut saya kita sebenarnya sudah lengkap. Mulai dari pembukaan UUD 1945, tujuan negara ini mau apa itu sudah lengkap. Hanya saja kadang-kadang memang kelengkapan nilai-nilai kebangsaan itu kurang disosialisasikan oleh pajabat-pejabat di dalam lingkungan lembaga pemerintah tersebut.

Bagaimanan pandangan ibu terhadap penyahalahgunaan cadar? Apapun bisa disalahgunakan oleh penjahat, hal yang baik sekalipun. Agama misalnya, secara umum seluruhnya memang mengajarkan kita pada kebaikan. Tetapi, bagi penjahat itu cadar bisa menjadi instrument untuk kejahatan mereka. Misalnya, pelaku-pelaku bom di berbagai tempat terkadang menggunakan kalimat Allahu Akbar. Dan ingin menegakkan syariat Islam dengan mengorbankan banyak nyawa, serta bangunan-bangunan jadi rusak. Apalagi sekedar cadar. Bagi penjahat itu dengan mudah dipergunakan untuk melakukan kejahatan. Sebenarnya, yang bermasalah itu bukan agamanya. Namun, yang bermasalah itu orangnya, karena cara memahami agama masih kurang mendalami, dengan kesempitan wawasan serta kejenuhan berpikir itu masalahnya.

Sebelum kebijakan ini diterapkan oleh pemerintah (Menteri Agama) apa harapan ibu kira-kira pada pemerintah dan khususnya kaum perempuan sebelum menghadapi hal ini? masukan kepada pemerintah itu. Pertama, adalah memperkuat SDM melalui pendidikan yang membangun suatu lingkungan atau iklim. Di mana peserta didik itu atau guru-gurunya juga melalui pelatihan dan sejenis itu memiliki wawasan yang luas, karena kalau sudah wawasannya luas. Relatively, berdampak kepada sikap toleransi dan akan bijaksana melihat orang yang berbeda dengan dirinya. Kedua, selain saya berharap kepada pemerintah, juga saya senang karena pemerintah hadir di dalam menyikapi kontra radikalisme. Dulu, sebelum-sebelumnya pemerintah agak kurang hadir. Sekarang di era Jokowi memastikan bahwa pemerintah itu hadir di dalam melakukan suatu blokir atau kounter terhadap radikalisme. Hanya saja caranya mesti komprehendsif. Tetapi, tidak parsial. Apalagi dimulai dengan pelarangan celana cingkrang atau niqab ini. Yang sejauh pengetahuan saya belum terlalu banyak juga ASN yang mungkin ada. Tetapi, datanya juga belum terlihat sejauh mana presentasenya yang menggunakan niqab tersebut. Oleh karena itu, hemat saya penanganannya itu tidak parsial. Tetapi, harus komprehensif, sistematis, dan terstruktur, serta salah satu caranya adalah membangun pemahaman tentang ideologi bangsa ini, dan sebagai warga negara bagaimana kita menyikapi masyarakat di tengah-tengah pluralitas ini. Ketiga, kenapa kontra radikalisme itu perlu dlakukan oleh kita semua. Karena itu, menyangkut keharmonisan di dalam keluarga supaya tidak merasa paling benar, dan keharmonisan di dalam masyarakat supaya tidak saling curiga, sebab kalau orang yang merasa paling benar sendiri atau benar kelompoknya itu akan mengakibatkan menyalahkan yang lain. Jadi, itu mungkin langkah-langkah yang harus dilakukan. Keempat, memastikan aparatur negara mulai dari tingkat kementerian sampai tingkat kelurahan itu harus mempunyai paradigma cara berpikir yang di mana Pancasila adalah landasan negara kita dan juga mempunyai pemahaman yang baik terhadap undang-undang dasar 1945, serta mempunyai pemahaman yang baik terhadap negara kita sebagai negara bangsa. Itu yang semestinya dilakukan.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru