30 C
Jakarta

Menakar Populisme Islam dalam Kontestasi Politik Indonesia

Artikel Trending

KhazanahOpiniMenakar Populisme Islam dalam Kontestasi Politik Indonesia
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Belakangan ini, kuping kita seolah dibombardir oleh informasi seputar Pemilu 2024. Padahal, ajang demokrasi lima tahunan itu masih lama. Beberapa tahun belakangan ini, pada setiap hajatan demokrasi, kita menjadi saksi adanya satu fenomena yang cukup menyita perhatian publik, yakni soal gerakan populisme Islam yang belakangan tidak pernah absen menghiasi ruang publik dan tampil ke depan dalam mengonsolidasi massa di setiap Pilkada.

Sebagai contoh, ekspresi gerakan-gerakan ini direpresentasikan oleh massa aksi yang mengatasnamakan gerakan 212 dan beberapa gerakan turunan serupa setelahnya. Oleh karena itu, tulisan ini hendak membicarakan pertanyaan yang diutarakan oleh Vedy Hadiz dalam bukunya Islamic Populism in Indonesia and the Middle East; mengapa gerakan populisme Islam di Indonesia selalu gagal dalam mengkonsolidasikan gerakannya dan kerap kali gagal dalam menempatkan elite mereka dalam struktur kekuasaan?

Dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia, berbicara soal populisme, tentu ia bukanlah hal yang ujug-ujug muncul begitu saja secara tiba-tiba, tentu ada peristiwa sejarah yang mengiringinya. Jika ditelisik ke belakang, ternyata gerakan populisme pada dasarnya sudah berlangsung sejak lama dalam bentangan sejarah bangsa ini.

Di era penjajahan kolonial Belanda misalnya, gerakan ini digunakan oleh massa Islam untuk menentang elite-elite kolonial. Sepeninggal Belanda, yakni pasca-kemerdekaan semasa Orde Baru, dengan semangat sama, gerakan populisme kembali mengemuka dan digunakan sebagai basis perlawanan, yakni dalam rangka menentang elite-elite imperialis.

Tahun 1998, sejak krisis melanda negeri ini, gerakan populisme kembali menunjukkan eksistensinya ke publik sebagai bentuk penentangan terhadap negara yang dianggap korup dan menindas terhadap rakyat.

Populisme sebagai sebuah gerakan, belakangan ada semacam salah kaprah mengenai persepsi masyarakat tentang gerakan populisme. Hal ini ditandai dengan adanya semacam wacana yang terus direproduksi pada kalangan tertentu bahwa gerakan ini dianggap hanya menguat dalam agama tertentu, Islam.

Padahal, gerakan populisme ini, ia tidak hanya ada dalam tubuh agama Islam, akan tetapi ia pun bisa datang dari kelompok nasionalis, bahkan agama selain Islam. Meski demikian, kenyataan empiris menunjukkan bahwa model yang berkembang di Indonesia hari ini adalah varian populisme Islam.

Ini didasarkan pada pendapat Hadiz, bahwa populisme yang berkembang di Indonesia saat ini hanyalah satu di antara sekian banyaknya varian gerakan yang ada di dunia ini. Berdasar pada pendapat tersebut, maka sangat keliru ketika menganggap Islam sebagai satu-satunya sumber gerakan populisme.

Vedy R. Hadiz dalam bukunya menguraikan dengan eksplisit bahwa gerakan populisme yang berkembang di Indonesia, yakni populisme Islam di Indonesia memiliki kekhasan dan keunikannya tersendiri, sehingga ia berbeda dengan gerakan populisme Islam di pelbagai belahan dunia seperti yang terjadi di negara berpenduduk Muslim lainnya, yakni Turkiye dan Mesir.

Kebangkitan populisme Islam di Indonesia belakangan ini menyulut kekhawatiran banyak pihak. Bahkan dikatakan bahwa gerakan ini dapat mengancam keutuhan dan kesatuan negara kesatuan kita. Olehnya itu, gerakan model seperti ini dikategorikan oleh mayoritas kalangan sebagai makar, sehingga negara diharapkan hadir sebagai policy maker dengan membuat dan menghadirkan kebijakan yang mampu mengkounter dan mengontrol gerakan seperti ini.

Memang pada level tertentu, populisme Islam bukanlah sesuatu yang mesti dipersoalkan, namun menjadi ancaman manakala diperhadapkan dengan Indonesia sebagai negara multikulural yang didiami oleh ragam agama, budaya, tradisi, ras, dan suku. Menurut Hadiz, gerakan populisme Islam di Indonesia mengidentifikasikan diri mereka dengan ummah sebagai bentuk perlawanan massa atas ketidakpuasan terhadap elite tertentu.

Pada basis rakyat, gerakan ini menunjukkan gairah yang begitu besar dan boleh dikata berhasil, kita bisa melihatnya pada kasus yang menimpak Ahok tentang ucapannya soal Al-Maidah 51. Sejak saat itu, gerakan ini seperti bom waktu, atas dasar kesamaan agama, gerakan ini seolah tak terbendung. Namun, pada level kekuasaan, gerakan ini selalu gagal dalam menempatkan elite-elite mereka.

Tentu ini baik dan positif bagi iklim demokrasi kita, karena secara ideologi, gerakan ini kontras dengan kebhinekaan kita. Dengan demikian, kehadiran kebijakan dan kontrol negara seperti yang terjadi belakangan ini, yakni negara sampai pada kesepakatan dan memasukkan Front Pembala Islam dan HTI ke dalam organisasi yang terlarang, maka potensi gerakan seperti dalam menempatkan elite mereka dalam struktur kekuasaan menjadi sangat kecil.

Karena manakala gerakan populisme yang direpresentasikan oleh beberapa kelompok agama selama ini mendapatkan ruang dan tempat untuk berkuasa, maka potensi untuk islamisasi dan Syariatisasi dalam segala aspek kehidupan kita terjadi. Beberapa produk hukum yang mengemuka belakangan paling tidak bisa dijadikan sebagai barometer mengapa kita harus menolak kehadirannya dalam lanskap pemerintahan.

Caranya ialah kehadiran peraturan daerah Syariah yang berpotensi mereduksi keberagaman kita, bahkan aturan seperti ini berpotensi untuk dijadikan sebagai alat politik elektoral oleh pihak-pihak tertentu. Populisme ini yang harus dihilangkan dari budaya politik kita.

Khairul Huda, M.A
Khairul Huda, M.A
Alumni Magister Interdisciplinary Islamic Studies Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dosen di STAI Al-Furqan Makassar.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru