27.4 C
Jakarta

Menakar Kualitas Buku Laris

Artikel Trending

KhazanahLiterasiMenakar Kualitas Buku Laris
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Sebagai penulis, fiksi maupun nonfiksi, mungkin naskah Anda pernah ditolak penerbit dengan alasan naskah kurang marketable atau tidak sesuai pasar. Hal ini lazim terjadi pada beberapa penerbit. Mereka enggan menerbitkan buku—meskipun secara substansi bagus—yang diprediksi tidak bisa diserap pasar.

Untuk menerbitkan sebuah buku, penerbit membutuhkan modal yang tidak sedikit. Dari biaya editing (membayar editor), layout naskah, desain sampul dan sebagainya. Mereka sudah punya hitung-hitungan sendiri tentang biaya cetak dan pracetak sebuah buku.

Hal ini membuktikan bahwa, buku yang bagus dan idealis tidak selamanya diterima dan diterbitkan sebuah penerbit. Mungkin satu-dua penerbit yang masih mampu mempertahankan idealismenya. Selebihnya, mereka tidak ingin rugi dengan menerbitkan buku yang sudah diprediksi tidak laris.

Pada awal 2000-an penerbitan dan perbukuan di Tanah Air pernah booming fiksi islami. Banyak penerbit yang membuka lini khusus untuk menerbitkan buku-buku dengan jenis fiksi islami tersebut. Penerbit Mizan dan Syaamil bisa dibilang adalah pelopor yang menerbitkan fiksi islami, baik novel atau kumpulan cerpen. Itu membuktikan bahwa, pasar memang sangat menentukan dan berpengaruh besar terhadap keberlangsungan sebuah penerbit.

Maka, tak heran jika banyak penulis yang “banting setir”. Yang sebelumnya menulis novel atau buku-buku “berat”, mereka tiba-tiba menerbitkan buku-buku yang sesuai dengan pasar. Terbukti, karya-karya mereka banyak yang best seller dan cukup merajai pasar perbukuan.

Sebenarnya, banyak faktor yang menyebabkan buku itu laris yang mampu mendulang rupiah yang tidak sedikit. Kesejahteraan penulis bisa terpenuhi di saat buku mereka laris dan beberapa kali cetak ulang.

Kriteria Buku Laris

Istilah best seller bukan sesuatu yang asing dalam dunia penerbitan dan perbukuan, baik di dalam negeri, lebih-lebih di luar negeri. Sebuah buku bisa diklaim best seller berdasarkan angka penjualan yang mencapai ribuan atau puluhan ribu eksemplar dalam jangka waktu tertentu.

Artinya, sebuah buku laris itu bergantung pada jumlah cetakan yang terjual di pasar. Hal inilah yang juga menyebabkan beragamnya istilah best seller sebuah buku di beberapa penerbit. Ada National Best Seller, Mega Best Seller, hingga International Best Seller.

Namun begitu, setiap penerbit memiliki kebijakan sendiri untuk mengklaim buku yang diterbitkan sehingga laik mendapatkan stempel best seller di sampulnya. Karena, hal ini akan berpengaruh terhadap penjualan buku-buku yang sudah berstempel best seller tersebut.

BACA JUGA  Telaah Literasi Kita: Indonesia Darurat Membaca?

Sebagai pembaca yang cerdas, tentu kita tidak akan terlena dengan iming-iming buku yang diklaim best seller. Karena, sekali lagi, buku best seller bukanlah jaminan buku berkualitas. Bisa jadi, secara substansi, buku yang diklaim best seller itu biasa-biasa saja. Tapi, karena strategi marketingnya bagus, maka buku itu laris terjual di pasaran.

Sebaliknya, mungkin kita akan menemukan buku berkualitas tapi penjualannya sangat slow moving, sehingga penerbit tidak mengklaim buku itu best seller, karena memang tidak mengalami cetak ulang.

Ikatan Penerbit Indoenesia (IKAPI) sendiri belum bisa memberikan ketetapan atau patokan berapa jumlah penjualan buku yang dianggap best seller. Karena, pihak IKAPI memang merasa tidak berhak menentukan kategori best seller. IKAPI hanya sebatas membina penerbit atau buku yang melanggar aturan (Annida, 2009).

Lalu, bagaimana kita bisa menentukan sebuah buku itu laik mendapat stempel best seller atau tidak? Seperti yang telah dikemukakan di atas, masing-masing penerbit memiliki patokan berbeda untuk mengatakan sebuah buku best seller.

Afifah Afra, CEO penerbit Indiva Media Kreasi mengatakan bahwa, sebuah buku bisa dikatakan laris jika bisa terjual sebanyak 1000 eksemplar dalam sebulan. Sementara, Gol A Gong, pengarang novel fenomenal Balada si Roy yang juga ketua umum Taman Bacaan Masyarakat (TBM) se-Indonesia berdalih bahwa, sebuah buku bisa mendapat stempel best seller jika sudah memasuki cetakan kedua, ketiga dan seterusnya.

Beda lagi dengan pendapat Bakar Bilfagih, direktur produksi Ufuk Publishing. Menurutnya, penerbit yang dipimpinnya itu bisa mengklaim sebuah buku best seller jika penjualannya mampu menembus angka 10.000 eksemplar dalam kurun waktu 3-6 bulan. Jika tidak, maka buku yang diterbitkan Ufuk belum laik mendapatkan status best seller.

Muhammad Yulius dalam artikelnya berjudul Best Seller yang Bikin Ngiler dalam rubrik Aksara majalah Annida menulis, seperti sebuah gincu atau bedak, kata best seller pada sebuah cover buku dapat menjadi pedang bermata dua; sebagai penegas manisnya isi buku atau malah topeng yang menyembunyikan keburukan isinya.

Hal ini semakin memperjelas bahwa, buku yang berstempel best seller itu bukan jaminan isi buku bagus dan berkualitas. Sehingga, kadang ada pembaca yang kecewa dan merasa tertipu setelah membeli buku yang berstempel best seller.

Untung Wahyudi
Untung Wahyudi
Penulis lepas tinggal di Sumenep

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru