29 C
Jakarta
Array

Menakar Khilafah

Artikel Trending

Menakar Khilafah
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Menakar Khilafah

Oleh: Abdi Kurnia Djohan*

Ketika banyak orang membahas khilafah dengan pendekatan istinbath yang njelimet, saya mencoba memahaminya dari sisi realitas. Ambil saja kasus yang terjadi di internal umat Islam. Saya tidak menjadikan umat agama lain sebagai variabel di dalam pembicaraan ini.

Pada masa sahabat radhiyallahu anhum, khilafah terbentuk dengan melihat faktor-faktor sebagai berikut:

  1. Umat Islam masih berada dalam satu kesatuan yang utuh dan belum terfragmentasi ke dalam kelompok mazhab aqidah, mazhab fikih dan mazhab politik.
  1. Perbedaan pandangan tentang legitimasi Abu Bakar yang naik menggantikan posisi Rasulullah sebagai kepala negara, masih berkisar di tataran wacana. Secara politik, perbedaan itu selesai setelah Ali ibnu Abu Thalib menyatakan baiat kepada Abu Bakar pasca wafatnya Fatimah Azzahra.
  1. Para sahabat pada masa-masa awal mempunyai komitmen untuk menjaga entitas politik umat pasca wafatnya Rasulullah.

Fragmentasi di tubuh umat Islam terjadi setelah Khalifah Usman ibnu Affan terbunuh oleh aksi massa yang diprovokasi sekelompok orang.

Ali ibnu Abu Thalib yang didaulat menjadi khalifah berdasarkan aklamasi publik menghadapi dilema besar terkait dengan legitimasi yang dimilikinya.

Pada masa pemerintahannya, Ali ibnu Abu Thalib menghadapi tantangan perlawanan dari kelompok khawarij yang menjadikan aqidah sebagai alat perlawanan. Mulai masa pemerintahan Muawiyah bin Abu Sufyan, khilafah bertransformasi menjadi organisasi tertutup. Penunjukkan khalifah yang dilakukan secara turun temurun adalah indikator ketertutupan itu.

Dari masa Muawiyah itu, khilafah dibangun dengan pendekatan kekuatan politik sektarian. Siapa yang mempunyai kekuatan, dia yang memimpin. Itu kemudian dilakukan oleh dinasti Abbasiyyah, dinasti Buwaihi, hingga dinasti Usmani.

Pendekatan kekuatan itu tampaknya harus diambil oleh para dinasti mengingat sulitnya membangun kompromi di tengah fragmentasi mazhab dan pandangan politik di kalangan umat Islam.

Fragmentasi itu kini tampil dibingkai oleh nasionalisme, paham aqidah, mazhab fikih dan cita politik. Tentu bukan usaha yang mudah untuk menghilangkan bingkai-bingkai itu. Jangankan menghilangkan, mempertemukan saja sudah merupakan pekerjaan rumah yang berat.

Sebagai contoh, kita bisa membayangkan apa yang terjadi jika Hizbut Tahrir menawarkan gagasan khilafah itu kepada kalangan Syiah Imamiyah yang sudah mapan dengan konsep Imamatul Uzma. Deadlocked pembicaraan sepertinya tidak terjadi ketika berbicara dengan kelompok Syiah tapi juga dengan Ibadhiyyah, Wahabi, Zaidiyyah, Aswaja dan kelompok-kelompok Islam lainnya. Betapa panjang perjalanan untuk mempertemukan itu.

Berbicara tentang khilafah bukanlah semata-mata berbicara tentang idealisme berislam. Khilafah adalah isu politik yang di dalamnya terkandung garansi dan pembagian. Ana dapat apa jika antum ambil itu. Atau ana dapat itu bagaimana kalau antum dapat ini. 

Lalu bagaimana dengan prediksi nubuwwah tentang kedatangan al-Mahdi dan istilah khilafah ‘ala manhaj il-nubuwwah? Kiranya agak sulit mengatakan bahwa prediksi yang dikemukakan Nabi itu bersifat politis–dalam maknanya sekedar berkuasa. Ucapan Rasulullah bahwa khilafah itu akan tegak apabila Imam Mahdi datang, agaknya mengandung makna yang lebih dari sekedar politik di situ. Pemaknaan itu pun berdampak kepada makna istilah khilafah ala Manhajin Nubuwwah yang sepertinya bukan istilah politik. Karena manhaj nubuwwah (metode kenabian) mengindikasikan adanya kualitas spiritual yang mendekati kualitas kenabian.

*Lulusan Madrasah Ibtidaiyah Alfalaah Manggarai Jakarta Selatan

 

 

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru