26.8 C
Jakarta

Menakar Kebijakan Biden di Tengah Perang Urat Saraf Iran-Israel

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahUlasan Timur TengahMenakar Kebijakan Biden di Tengah Perang Urat Saraf Iran-Israel
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Iran dan Israel memulai kembali perang urat saraf. Keduanya sama-sama terlihat ambisius, tapi sebenarnya juga ketar-ketir. Kedua petarung mengaku sudah siap menuju gelanggang, cukup percikan api kecil saja maka perang semesta akan menyala-nyala. Hanya pihak paling bernyali yang berani melayangkan pukulan pertama. Dan bila itu terjadi, artinya dia adalah petarung yang gila.

Hal itu bermula ketika petinggi militer Israel, Aviv Kochavi mengatakan pada Selasa (26/1) lalu bahwa ia telah mengeluarkan instruksi kepada jajarannya untuk menyusun strategi yang mengarah pada opsi ofensif terhadap Iran. Opsi ini dinilai penting dimatangkan karena dalam beberapa bulan terakhir, Iran menunjukkan gelagat yang cukup mengkhawatirkan bagi Israel, terutama terkait program nuklirnya. Israel tak mau musuh bebuyutannya itu terlalu jauh mengembangkan nuklirnya. Apalagi diketahui, Iran terus melampaui batas pengayaan uranium hingga mencapai 20 persen, sebagai bentuk protes atas gugurnya komitmen kesepakatan bersama yang dirusak secara sepihak oleh Donald Trump pada Mei 2018.

Iran tak tinggal diam. Kepala Staf Presiden Iran, Mahmoud Vaezi merespon pernyataan petinggi militer Israel tersebut, bahwa negaranya selalu siap mempertahankan diri bila Israel benar-benar melakukan serangan, meskipun ancaman Israel tak lebih dari gertakan semata. Seperti biasa, kedua belah pihak saling membesar-besarkan perkembangan militernya sekaligus mengecilkan pihak lain. Sebagaimana sudah lazim terjadi dalam berbagai perang urat saraf sebelum-sebelumnya.

Retorika bernada ancaman untuk saling melakukan serangan militer antara Iran-Israel bukan hal baru dalam sejarah ketegangan mereka, terutama intensitasnya kian meningkat beberapa tahun terakhir seiring dengan meningkatnya gejolak di beberapa proksi Iran di kawasan, seperti di Libanon, Suriah, Irak dan Yaman. Mungkin publik sudah jenuh dengan beragam sesumbar penuh ambisius itu, meskipun hal tersebut juga patut disyukuri karena retorika kedua negara hanya berakhir di perang urat saraf, sebuah ketegangan yang sengaja diciptakan untuk kepentingan jangka pendek sekaligus untuk menguji arah mata angin lobi-lobi mereka di panggung diplomatik.

Baik Iran maupun Israel, keduanya sama-sama saling berpacu merebut otoritas di kawasan dan dalam konteks saat ini, juga sama-sama berebut pengaruh di bawah kepemimpinan baru AS, Joe Biden. Israel menginginkan arah kebijakan politik luar negeri AS tak jauh berbeda dari pemerintahan Trump, memberikan tekanan maksimum kepada Iran agar negara para mullah tersebut semakin terisolir dari dunia internasional. Harapannya, Iran tak punya opsi lain selain menghentikan program nuklirnya.

Iran sebaliknya, persis seperti yang dikatakan oleh Elias Harfoush, jurnalis asal Libanon di Asharq Alawsat dalam sebuah tulisan yang berjudul Washington and Tehran; Who Will Back Down Firs? bahwa ia bertindak seolah menjadi pemenang dalam pemilu AS yang lalu. Lengsernya Trump dari tampuk kekuasaan adalah kemenangan bagi Iran. Sehingga Iran dengan cerdik mulai memainkan kartunya untuk membawa AS kembali ke dalam kesepatakan nuklir dan menghentikan semua bentuk kebijakan embargo dari sisa-sisa kebijakan gagal Trump.

Iran berulangkali menegaskan kepada AS untuk mengubah arah kebijakannya dan menghentikan segala bentuk embargo yang dilancarkan dalam empat tahun terakhir. Karena faktanya, semua bentuk tekanan AS tak mengubah sikap Iran sedikitpun. Sehingga pergantian rezim menjadi momentum paling tepat bagi Iran untuk tetap bertahan dengan proposal nuklirnya sebagaimana dalam kesepakatan awal.

Pada waktu Obama terlibat dalam Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) atau juga dikenal dengan kesepakatan nuklir Iran, bersama sejumlah negara Barat pada tahun 2015 lalu, Biden waktu itu menjabat sebagai wakil presiden. Artinya kebijakan Obama yang sudah dirusak oleh Trump—saat hengkang secara sepihak dari kesepakatan tersebut—jelas tak menghasilkan dampak apapun. Bisa jadi Biden akan mengembalikannya ke titik awal sebagaimana kesepakatan tersebut dihasilkan.

Dua bulan sebelum terpilih sebagai presiden, Joe Biden menulis artikel di CNN, There’s a Smarter Way to be Tough on Iran. Selain banyak mengkritik kebijakan Trump yang nyaris semuanya adalah omong kosong, Biden juga menyoroti arah kebijakan politik luar negeri pemerintahan Trump terkait pembatasan nuklir Iran yang mengalami gagal total. Alih-alih menciptakan solusi yang nyata dengan hengkang dari kesepakatan nuklir, justru situasinya semakin memburuk bagi stabilitas dan kepentingan AS di Timur Tengah, terutama pada saat insiden aksi balasan Iran pasca pembunuhan Qasem Sulaemani yang menarget pangkalan militer AS di Irak dan menyebabkan kerusakan cukup parah. Bahkan sejumlah pasukan AS mengalami cidera berat dan gagar otak. Tapi lagi-lagi, Trump malah mengecilkan peristiwa tersebut dengan menyebutnya kerusakan kecil dan cidera ringan.

Biden yang sejatinya bukan orang baru di Gedung Putih, tentu sudah pasti memiliki kalkukasi dan strategi yang jauh lebih terukur. Setidaknya, ia tak mungkin mengulangi kegagalan pendahulunya itu. Citra buruk AS di Timur Tengah sepanjang pemerintahan Trump jelas perlu dipulihkan kembali. Jalur-jalur perundingan memang menjadi salah satu pintu utama dalam penyelesaian beragam persoalan krusial, termasuk program nuklir Iran. Semua pihak harus duduk bersama dan kembali ke meja perundingan, suka atau tidak suka.

Mungkin hanya Israel yang paling tidak senang bila Biden menghidupkan lagi kesepakatan nuklir Iran. Namun jika tidak kembali ke meja perundingan, AS sendiri akan sangat kesulitan mengendalikan Iran. Dalam situasi tiada perang dan tiada perdamaian, justru yang paling banyak diuntungkan adalah Iran. Oleh sebab itu, Israel begitu sangat bernafsu untuk menyerang Iran, meski hingga kini tampaknya Israel belum punya cukup nyali untuk melakukannya.

Kalaupun perundingan ini benar-benar dilakukan, ia tak akan berjalan dengan mudah. Ada jeda cukup lama sejak AS meninggalkan kesepakatan nuklir Iran. Belum lagi berbagai rentetan peristiwa yang terjadi antara Iran dan AS pada masa jeda itu sudah pasti akan sangat berpengaruh pada proses perundingan. Mungkin saja sikap Biden akan lebih lunak dari pada pendahulunya karena ia akan menempuh pendekatan diplomasi, tapi mungkinkah AS akan mengabaikan kekhawatiran sekutu-sekutu Arabnya di kawasan yang selama ini juga seringkali bersitegang dengan Iran? Wallahua’lam.

 

Musyfiqur Rahman
Musyfiqur Rahman
Mahasiswa Pascasarjana Kosentrasi Kajian Timur Tengah, UIN Sunan Kalijaga. Redaktur sastraarab.com

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru