30.1 C
Jakarta
Array

Menakar Fitnah Untuk Quraish Shihab

Artikel Trending

Menakar Fitnah Untuk Quraish Shihab
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Iqra! Bacalah! Demikian pesan wahyu ilahiyyah yang pertama kali turun pada Nabi Muhamamad shallallahu alaihi wassalam. Pesan ini juga merupakan tuntunan bagi umat akhir zaman untuk menyikapi hal-hal yang belum terang benderang kebenarannya. Tafsir tentang iqra’ ini diulas secara rinci, di antaranya oleh Abi Quraish Shihab.

Kita diperintahkan untuk membaca terlebih dahulu, mengamati, mencermati, merenungi, memahami, baru kemudian mendengar, kemudian memutuskan, bersikap, dan terakhir barulah mengucapkan.

Ucapan itu pun harus proporsional, terukur dan terarah, sehingga tutur kata kita tak “laghaa” (omong kosong), apalagi sampai terjebak pada ghibah dan fitnah yang sangat membahayakan. Nauzubillah.

Tulisan saya kali ini, “Menakar Fitnah Atas Quraish Shihab” semata saya tuliskan atas dasar pemahaman dan penilaian obyektif atas sosok seorang Quraish Shihab. Saya menggumi sosok mufasir sekaligus pemikir hebat ini berdasarkan dari berkenalan dengan karya-karya beliau semenjak 15 tahun yang lalu.

Saya perlu meluruskan tentang tudingan terhadap Quraish Shihab yang dirasa kurang tepat dan tidak berdasar hanya lantaran “ketidaktepatan redaksional” yang beliau sampaikan tentang hadits Rasulullah bahwa “Seseorang Tidak Masuk Surga, Melainkan dengan rahmat Allah”, agar kita bisa mendudukkan persoalan tersebut secara proporsional dan adil.

Terlepas dari berbagai kelebihan dan kekurangan Quraish Shihab sebagai manusia biasa, bagaimana pun dalam hal menilai pemikiran seseorang kita harus berdasarkan pengamatan dan pendalaman ilmu pengetahuan, bukan atas dasar prasangka, apalagi hanya sekedar ikut-ikutan.

“Janganlah disebabkan kebencianmu, pada satu kaum membuatmu bersikap tidak adil!” Demikian pesan al-Qur’an.

Ada baiknya sebelum kita mengkaji pemikiran seorang Quraish Shihab kita kenali terlebih dahulu sosoknya lebih dekat.

Nama lengkapnya Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab, MA, anak dari Prof. Abdurrahman Shihab. Beliau seorang Guru Besar Tafsir di IAIN Alauddin Makassar. Beliau lahir di Rappang Sidrap, Sulawesi Selatan, 16 Februari 1944, dari keluarga keturunan Habaib bermarga Syihab; yang masih merupakan keluarga besar Ahlu Bait Rasulullah Saw.

Berbekal pengetahuan, pemahaman dan pengalaman agama yang ditanamkan kedua orangtuanya, Quraish Shihab mengawali pengembaraannya dalam menuntut ilmu.

Bagaimana Soal Pendidikan https://www.www.harakatuna.com/harakatuna/pandangan-aswaja-syiah-dan-muktazilah-tentang-keistimewaan-manusia-dan-malaikat.html?

Pendidikan dasarnya diselesaikan di Makassar dan dilanjutkan pada jenjang menengahnya di kota Malang, Jawa Timur sambil nyantri di Pesantren Dar Hadits al-Fiqhiyyah, namun sebelum menyelesaikan studinya pada jenjang tersebut, pada tahun 1958 bertepatan pada usia 14 tahun, ia berangkat ke Cairo Mesir untuk melanjutkan studi di al-Azhar Cairo Mesir. Disana ia diterima di kelas dua Idadi (setingkat SLTP).

Pada tahun 1967, ia berhasil meraih gelar Lc (S-1) pada Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir dan Hadits dari Universitas al-Azhar. Kemudian ia melanjutkan jejang Magister pada Fakultas yang sama, dan pada tahun 1969 ia berhasil meraih gelar MA untuk spesialisasi bidang Tafsir al-Qur’an dengan Thesis berjudul ”Al-I’jaz al-Tasryri’I li al-Qur’an al-Karim”.

Sekembalinya ke Ujung Pandang ketika itu, Quraish Shihab dipercayakan untuk menjabat Wakil Rektor bidang Akademis dan Kemahasiswaan pada IAIN Alauddin. Selain itu, beliau diserahi jabatan-jabatan lain, di dalam maupun luar kampus. Selama disana beliau juga aktif melakukan berbagai kegiatan penelitian ilmiah.

Pada tahun 1980, Quraish Shihab, kembali melanjutkan pendidikan Strata (S-3) di Universitas al-Azhar dengan judul desertasi “Nazhm ad-Durâr li al-Biqâi; Tahqiq wa Dirâsah” dan berhasil meraih gelar Doktor dalam ilmu-ilmu al-Qur’an.

Prestasinya luar biasa, nilai akhir program doktoral dengan nilai Yudisium “Summa Cum Laude” dengan penghargaan tingkat I “Mumtaz Ma’a Martabat al-Syaraf al-Ula”; sebuah peringkat paling prestise di Universitas paling berpengaruh di dunia Islam itu serta peringkat paling tinggi yang pernah dicapai oleh seorang putra bangsa.

Perlu diketahui, bahwa lulusan doktor dari Universitas al-Azhar bukanlah semudah yang dibayangkan. Syarat masu untuk bisa menyelesaikan program doktor ketika itu, haruslah mampu menghapalkan al-Qur’an secara sempurna. Lebih-lebih dengan pencapaian yang sungguh sangat luar biasa itu kita harus mengakui bahwa beliau adalah tokoh cendekiawan muslim yang patut dibanggakan bangsa ini.

Apa Saja Karya Ilmiah Quraish Shihab?

Muhammad Quraish Shihab sejak kecil telah mempelajari al-Qur’an, bahkan telah menghapalnya di luar kepala. Ketertarikan beliau terhadap al-Qur’an sudah mulai tampak terlihat semenjak masih di pondok Pesantren Malang Jawa Timur.

Sejak itu, beliau telah aktif mengkaji al-Qur’an selama puluhan tahun, bahkan ia berusaha meneruskan metode yang diperkenalkan oleh ayahnya; Abdurrahman Shihab; sebagai seorang ulama besar di zamannya.

Kemampuannya yang mumpuni dalam pemahaman al-Qur’an menempatkan beliau pada posisi sebagai sebagai seorang Mufassir al-Qur’an Kontemporer yang kini telah dikenal, baik di dalam maupun luar negeri. Beliau juga aktif dalam karier karya tulis ilmiah, baik di dunia kampus maupun di media massa.

Tercatat tidak kurang 60 buah buku dan ratusan artikel di surat kabar, majalah, jurnal yang tersebar di koran, majalah dan media massa lainnya. Beliau juga aktif menulis, isu-isu mutakhir yang terjadi di Indonesia. Dengan adanya karya-karya tulis yang ia publikasikan, pada tahun 2009 beliau menerima penghargaan Islamic Book Fair (IBF) Award; sebagai Tokoh Perbukuan Islam 2009.

Diantaranya karya-karya beliau: (1) Tafsir al-Misbah (15 Volume) (2) Membumikan al-Qur’an (3) Wawasan al-Qur’an (4) Menabur Pesan Ilahi (6) Tafsir al-Qur’an al-Kariem (7) Mahkota Tuntunan Ilahi (8) Filsafah Hukum Islam (9) Tafsir al-Manar; Keistimewaan dan Kelemahannya (10) Hidangan Ilahi (11) Panduan Puasa Bersama Quraish Shihab (12) M. Quraish Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman (13) Lentera Hati Kisah dan Hikmah Kehidupan (14) Kaidah-Kaida Tafsir (15) Mempelai al-Qur’an. dan lainnya.

Apakah Nabi Tidak Ada Jaminan Masuk Surga?

Karyanya yang paling populer adalah Tafsir al-Mishbah yang merupakan sebuah karya luar biasa yang pernah ada, karena pemikiran tafsirnya yang unik menggabungkan 3 metode penafsiran sekaligus, yaitu Manhaj Tahlili (metode analisa) sekaligus Manhaj Muqarin (metode komparasi), Manhaj Maudhu’i (metode tematik) melalui pendekatan linguistik yang mendalam, kompherehensif, dan menunjukkan pemahaman mendalam si penulisnya terhadap isi kandungan al-Qur’an itu sendiri.

Dari biografi diatas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa sosok seorang Quraish Shihab bukanlah orang sembarangan tentunya.

Polemik yang berkembang muncul bermula dari ucapan Pak Quraish Shihab pada kajian rutian tafsir al-Mishbah di Metro TV. Ketika beliau menjelaskan sebuah hadits tentang “Seseorang Tidaklah Masuk Surga, Melainkan dengan Rahmat Allah.”

Lebih lengkapnya saya akan paparkan redaksi haditsnya di sini.

Rasulullah saw bersabda:

سددوا وقاربوا وأبشروا؛ لا یدخل أحداً الجنة عمله، قالوا: ولا أنت یا رسول الله؟ قال: ولا أنا، إلا أن یغتمدنی الله بمغفرة ورحمة. رواه البخاری

“Perbaiki, dekatkan, dan beritakan kegembiraan, tidaklah seseorang masuk surga dengan amalnya. (Para sahabat bertanya) “Demikian pula engkau wahai Rasulullah (tidak masuk dengan amalmu)?” beliau menjawab, “Ya tidak pula aku masuk surga dengan amalku, melainkan aku pun diliputi oleh keampunan dan rahmat Allah.” [HR. Bukhari No. 6467]

Makna Hadis

Hadits ini merupakan hadits yang menempati derajat shahih yang tinggi dan tidak diragukan keshahihannya. Hadits ini bukan hadits tentang akidah, melainkan hadits yang mengandung pesan dan motivasi untuk giat beramal kebaikan. Hadits ini pula dimasukkan oleh Imam Bukhari pada bab “al-Mudawamah ‘ala al-‘amal” atau “Motivasi agar Konsisten Beramal”.

Hadits ini bukan sebagai sebuah penafian bahwa Rasulullah tidak memperoleh jaminan surga. Hadits ini mengandung pesan bahwa amal kebaikan bukanlah satu-satunya penjamin surga, sebab surga dan kemampuan beramal itu juga tak terlepas dari rahmat Allah Swt.

Seharusnya bersyukur atas rahmat Allah itu lebih diutamakan daripada menonjolkan kemampuan diri sendiri yang sejatinya tak berdaya berbuat apa-apa, kecuali atas pertolongan dan bantuan Allah Swt.

Hadits tersebut diatas pada dasarnya adalah motivasi untuk beramal lebih giat lagi. Demikian pesan yang dikandungnya:

“Bersungguh-sungguh beramal kebaikan. Setelah itu, janganlah memandang amal kebaikan itu sebagai usahamu sendiri. Pandanglah nikmat Allah yang Mahabesar dan tak terhingga itu. Sehingga hatimu menjadi ikhlas. Sekiranya kamu dimasukkan ke dalam surga, itu pun tak terlepas dari rahmat Allah. Jadi masuknya surgamu, bukan dari amalmu, melainkan dari rahmat Tuhan-mu!”

Menilik Makna Hadis

Hadits yang menyatakan bahwa amal seseorang tidaklah menjamin surga, melainkan dengan rahmat Allah, hal ini dikuatkan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Jabir ra yang terdapat ada Kitab Mustadrak Imam al-Hakim pada nomor hadits 356 Juz 5. Demikian kisahnya:

Dikisahkan pada masa Bani Israel, ada seorang abid ahli ibadah yang beribadah lebih dari 500 tahun. Di sebuah pulau, Allah karuniakan rezeki berupa buah delima dan air segar yang memancar, sehingga dia tidak perlu bersusah payah untuk bekerja. Dia pun meminta meninggal dalam keadaan sujud. Kemudian, Allah memerintahkan malaikat untuk memasukkan sang abid ke dalam surga dengan rahmat-Nya. “Masukkan hambaku ini dengan rahmat-Ku!”

Alih-alih bersyukur, si abid malah protes. Dia meminta Tuhan memasukkan dirinya dengan amal kebaikannya selama di dunia. Allah pun menyuruh malaikat menimbang amalnya dengan satu nikmat sebiji mata saja.

Tak ayal, ibadah 500 tahun itu belum mampu mengungguli nikmat karunia sebiji mata saja. Hingga Allah perintahkan untuk memasukkannya ke dalam neraka. Pasalnya amal kebaikannya tidak seberapa. Akhirnya, sang abid meminta ampun dan meminta kembali dimasukkan ke dalam surga dengan rahmat Allah.

Jaminan Surga

Lah, jika amal kebaikan tidak menjamin seseorang masuk surga, lantas apa perlunya kita beramal?

Perlu dipahami bahwa surga itu adalah nikmat terbesar yang Allah sediakan pada orang-orang beriman yang melakukan amal shaleh dengan penuh keikhlasan. Kemampuan beramal shaleh pun juga merupakan karunia serta anugerah dari Allah. Dengan demikian, surga bukan semata diperoleh dari kekuatan seseorang beramal shaleh, sebab semuanya tak terlepas dari nikmat Allah.

Sekali lagi, harus dipahami bahwa ungkapan Rasulullah, “Demikian aku pun tidak masuk surga, melainkan dengan rahmat Allah, bukan pula semata amal kebaikan yang ada pada diriku, merupakan sebuah ungkapan balaghah yang sangat tinggi dan memukau sekaligus keluhuran akhlak si penuturnya.

Pesan ini sekaligus pengajaran kepada umat nabi akhir zaman agar mengharapkan rahmat Allah yang memiliki surga seharusnyalah lebih diutamakan dari surga itu sendiri. Mengharap kasih sayang si pemberi, lebih baik daripada dari pemberian itu sendiri.

Taruhlah Anda bekerja mengharapkan gaji, boleh jadi selesai Anda bekerja Anda akan mendapatkan hak Anda. Namun, jika Anda bekerja untuk memperoleh hati orang yang memberi Anda gaji, bisa jadi Anda bukan saja memperoleh gaji, bahkan lebih dari itu, Anda dapat memperoleh kedudukan yang lebih tinggi, fasilitas yang lebih banyak, bahkan gaji yang terus meningkat.

Dalam Pandangan Sabda Rasulullah

Amal ibadah hanyalah wasilah atau jalan mendekatkan seorang hamba pada rahmat Allah yang Mahaluas itu. Jika amal ibadah hanya dipahami sebatas interaksi transaksional, maka apa bedanya dengan membeli surga dengan ibadah? Bagaimana mungkin kita mampu membeli kenikmatan surga dengan amal kebaikan, sedangkan kemampuan itu juga tak terlepas dari nikmat yang Allah karuniakan pada kita?

Oleh karena itulah, ungkapan redaksional Rasulullah pun sangat sastrawi dan diplomatis. “Aku pun tidak masuk dengan amalku, melainkan atas dasar rahmat dan kasih sayang Allah padaku!” Demikian ungkapan ini tidaklah muncul melainkan dari seseorang nabi yang penuh dengan ketawadhuan serta kerendahan diri.

Bagaimana mungkin Rasulullah tidak memperoleh jaminan surga, sedangkan Allah ciptakan surga, lantaran kecintaan Allah yang sedemikian besar pada kekasih-Nya itu?

Tahrif terhadap Quraish Shihab

Bahkan dalam banyak hadits disebutkan bahwa Rasulullah adalah orang yang pertama kali memasuki surga sebelum para nabi dan rasul lainnya. Dan umatnya pun diberikan prioritas memasuki surga lebih dahulu, ketimbang umat-umat para nabi yang lain. Jangankan Rasulullah, umatnya saja diberikan jaminan surga. “Kalian semua pasti masuk surga, melainkan mereka yang enggan!”

Namun ungkapan redaksi hadits diatas akan berbeda kesannya bila terjadi tahrif (upaya penyimpangan) atau dipahami secara sepotong-sepotong. Bukan lagi sekedar memunculkan konotasi negatif, bila dipahami secara parsial tak akan menutup kemungkinan akan berpotensi memunculkan salah kaprah, bahkan menimbulkan fitnah dan polemik tak berkesudahan.

Kasus inilah yang menimpa tudingan fitnah terhadap Prof. Quraish Shihab yang memaparkan hadits yang sama. Namun, statement itu terpotong atau memang sengaja dipotong untuk kepentingan tertentu demi mendeskreditkan seorang ulama. Saya hanya berprasangka baik bahwa apa yang beliau maksudkan baik apa adanya. Boleh jadi hanya redaksinya yang kurang tepat atau memang tidak berusaha dipahami secara tepat.

Taruhlah seorang raja berkata, “Saya tidak izinkan seorang pun memasuki istana!” Ungkapan ini adalah ungkapan universal, termasuk sang raja tersebut. Namun, bila ada pengecualian, maka ada yang diperbolehkan. Misalnya, “Saya tidak izinkan seorang pun memasuki istana, melainkan orang yang saya undang saja.” Maka pengeculian disana merupakan satu kekhususan bagi undangan saja.

Oleh karena itulah, dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah “Al-Istisna” yang berarti pengecualian, bukan bermakna penafian. Dengan demikian redaksi haditsnya “Saya tidak masuk surga dengan amal kebaikan, melainkan dengan rahmat Allah!” Harus dipahami bahwa amal kebaikan itulah adalah salah satu jalan menggapai rahmat itu.

Namun, jika kemudian dikatakan, “Rasulullah sama sekali tidak memperoleh jaminan surga, tentu hal tersebut akan keliru dan berimplikasi pemahaman yang lepas dari konteks kandungan pesan di hadits tersebut diatas.”

Apakah Quraish Shihab Seorang Syiah?

Jika kita membaca sejarah para tokoh ulama besar, kita akan mendapati bahwa banyak para ulama yang mendapatkan tantangan dakwah berupa kecaman, hinaan, bahkan fitnahan. Tudingan sebagai seorang penganut syiah, misalnya, pernah menimpa Imam Mujtahid Mutlaq al-Imam as-Syafie di tengah gejolak politik ketika itu.

Rafidhi atau Rafidhah merupakan kelompok syiah ekstrem yang ditenggarai sebagai satu kelompok yang mengancam kekhalifahan kaum Abbasyiah. Imam Syafie tertuduh sebagai seorang syiah, hanya lantaran bergaul dengan orang-orang Thalibin yang sangat mengagumi sosok Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Khalifah Harun al-Rasyid pun hampir saja menjatuhi beliau hukuman berat terhadap beliau.

Pada sebuah syairnya, beliau membantah tuduhan keji itu. “Sekiranya disebabkan kecintaanku yang sangat besar terhadap ahli bait nabi, aku dikatakan seorang rafidhi, maka saksikanlah akulah seorang rafidhi.”

Sama halnya tuduhan sebagai seorang pengikut Syiah terhadap Prof. Quraish Shihab ditenggarai dari terbitnya buku beliau “Sunni-Syiah; Bergandengan Tangan! Mungkinkah?”. Bagi sebagian orang boleh jadi dengan terbitnya pemikiran komparatif antara konsep ajaran dan pemikiran Sunni-Syiah adalah salah satu bukti kecenderungan pembelaan seorang sosok Quraish Shihab terhadap konsep pemikiran Syiah.

Padahal jika kita mampu melihat lebih objektif lagi -paling tidak membaca terlebih dahulu buku tersebut, sebelum memvonis dan terjebak pada tampilan cover dan judul- kita akan mendapati gambaran bahwa konsep pemikiran tersebut tak lebih dari sekedar kajian ilmiah yang mendudukkan sebuah persoalan konflik ideologis dalam tinjauan dan pendekatan akademis.

Menyamakan konsep Sunni-Syiah hal yang mustahil, layaknya menyatukan air dan minyak, namun mencari titik persamaannya juga sebagai sebuah pemahaman pada tataran fiqhiyyah, juga bukan sesuatu yang dilarang, apalagi tercela.

Solusi Akademis

Upaya-upaya pendekatan yang ditawarkan oleh kelompok Sunni terhadap kelompok Syiah dalam rangka mengakhiri konflik berkepanjangan, khususnya di beberapa negara Timur Tengah yang bersinggungan langsung, seperti Irak-Iran dipandang sebagai salah satu solusi diplomatis-akademis yang diharapkan tidak semakin memperuncing gesekan konflik antara kedua kelompok tersebut.

Quraish Shihab; sebagai seorang tokoh Sunni yang moderat barangkali melakukan hal sama yang juga pernah dilakukan oleh guru beliau: Syekh Prof. Dr. Abdul Halim Mahmud; seorang Grand Syekh al-Azhar yang berhaluan Ahlu Sunnah wal Jamaah yang dikenal sebagai Imam al-Ghzali abad XX (w.1978) yang juga melakukan upaya pendekatan dengan kelompok Syiah dengan karya-karya beliau.

Pendekatan ini bukan berarti mengaminkan konsep pemikiran mereka, namun mereka berupaya untuk membangun hubungan harmonis agar dapat menimalisir gesekan dan benturan peradaban yang sangat berpotensi pada konflik kemanusiaan atas nama agama yang tak berkesudahan.

Memang pendekatan ini kurang populer di tengah kalangan para ulama klasik, lebih-lebih di kalangan orang awam yang sangat fanatik dan ekstrimis yang bisa-bisa akan membabi buta menuding kesongkokolan mereka terhadap kelompok syiah itu.

Syiah dari Mana?

Terlepas bahwa ada saja kritikan di sana sini, bahkan konsep yang sangat kontradiktif yang tidak bisa diterima begitu saja. Apalagi dampaknya yang bisa terkesan ada pembenaran terhadap konsep yang selama ini dianggap berseberangan dengan konsep pemahaman Sunni, paling tidak karya semacam itu masih tetap diperlukan dalam membangun sebuah dialog peradaban antar mazhab dan pemikiran dalam Islam.

Sependek pembacaan saya terhadap karya tafsir Quraish Shihab; Tafsir al-Misbah dan karya lainnya, saya tidak pernah menemukan konsep pemikiran syiah di dalamnya. Jika beliau seorang berpaham Syiah, tentu tidak akan bisa disembunyikan dalam konsep pemikirannya atau kecenderungan corak penafsirannya.

Memang beliau banyak mengutip pendapat At-Thabathaiy yang ditenggarai seorang mufasir yang berpaham ajaran syiah, namun sepanjang penjelasan yang bersifat umum saja dan hanya sekedar perbandingan komparatif dengan alur konsep metode ilmiah serta sudut pandang kritis saja, saya pikir sah-sah saja dalam dunia dunia ilmiah.

Taklid Buta tentang Quraish Shihab

Menjadi sangat tidak adil sekiranya seorang mufassir sebagai seorang ilmuwan tidak boleh sama sekali mengutip pendapat atau terlarang membandingkan pemikiran dengan orang yang dianggap berseberangan dengan paham atau mazhabnya. Bukankah Islam melarang umat ini untuk bersikap taqlid buta?

Bukankah telah menjadi sebuah tradisi para ulama-ulama dahulu, bahkan ada diantara kalangan para sahabat yang bertanya pada ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) terkait satu atau dua ayat al-Qur’an yang menyangkut sejarah misalnya; tak lebih dari sebagai perbandingan saja.

Oleh karena itulah, tak dapat dipungkiri pada kitab-kitab klasik seperti sebut saja Ibnu Katsir terdapat kisah-kisah Israeiliyat; disebabkan periwayatan dari Ka’ab al-Akhbar; seorang ahli kitab yang memeluk Islam. Hal tersebut bukan tercela, apalagi ada tudingan si mufasir telah menjadi Yahudi atau Nasrani; hanya lantaran ada perbandingan pendapat dari kalangan para pemuka ahli Kitab, bukan?

Demikian pula, kutipan pendapat dari At-Thabathaiy; seorang pengarang tafsir al-Mizan itu, banyak menawarkan pemikiran yang modern dan daya kritis terhadap pemahaman tafsir klasik. Hal inilah yang mungkin sangat menarik bagi Prof. Quraish Shihab untuk menampilkan pendapatnya dalam rangka perbandingan pendapat sesuai dengan metode yang beliau kembangkan pada tafsir al-Misbah, yaitu motede penafsiran muqaranah/komparatif.

Apakah selain pendapat at-Thabathaiy juga ada pendapat ulama mufasir sunni? Tentu saja jauh lebih banyak. Namun, orang yang sudah terlanjur kadung dengan tuduhan yang tidak obyektif hanya melihat yang sedikit, menafikan kebenaran dibaliknya. Atau jangan-jangan penudingnya tidak pernah sama sekali membaca karyanya?!! Boleh jadi!

Quraish Shihab Tidak Mewajibkan Jilbab?

Sampai saat ini saya hanya baru “Mendengar Katanya” Bapak Prof. Quraish Shihab tidak mewajibkan jilbab.

Tapi sayangnya, hingga sampai saat ini pula saya belum pernah membaca satu potong kalimat pun dari sekian banyak karya beliau yang menunjukkan hal tentang tuduhan itu atau ada satu kajian khusus beliau dalam bentuk ceramah yang membahas ketidakwajiban jilbab.

Jika memang ada bukti kebenaran itu, mohon diberitahukan kepada saya sumbernya. Jujur, saya tidak berani membenarkan atau menyalahkan tanpa saya sendiri pernah tahu kebenaran itu.

Memang harus dipahami terlebih dahulu defenisi “Jilbab” dalam pengertian bahasa syari’i dan “Jilbab” dalam bahasa “Adat” bahasa Indonesia.

“Jalabib” atau bentuk jamak dari Jilbab dalam bahasa Syar’i menutup seluruh tubuh, kecuali mata. Lebih tepatnya, hijab atau cadar. Sedangkan “Jilbab” dalam pemahaman adat bahasa Indonesia cuma sebatas sepotong kain yang menutup kepala hingga dada. Diperbolehkan membuka wajah dan telapak tangan. Lebih tepatnya kita sebut dgn istilah lain adalah kerudung.

Nah, pengertian Jilbab secara syarie masih dalam perbedaan pendapat para ulama ttg batasan. Apakah wajib mengenakan jilbab berupa hijab atau khumar atau tidak?. Namun dalam pengertian menutup aurat kepala hingga dada yg merupakan batasan aurat wajib para ulama tentu tidak berbeda pendapat ttg kewajibannya.

Jadi “Jilbab” yang katanya tidak wajjb menurut Pak Habib Quraish Shihab itu harus kita dudukkan kembali apakah beliau membicarakan “Jalabib” dalam konteks hijab/cadar secara syarie ataukah Jilbab dlm konteks kerudung?

Saya yakin pendapat beliau tidak pernah menyimpang, karena secara keilmuan telah beliau bangun secara sistematis dengan pondasi yang kukuh dan valid. Nanti kita baca lagi tafsir al-Misbah tentang kewajiban perintah Jilbab pada para istri nabi dalam konteks hijab agar tak terlalu panjang pembahasannya.

Jika Pak Quraish tidak mewajibkan jilbab/kerudung atas dirinya itu saya sepakat. Saya pun demikian, tidak wajib jilbab itu bagi saya, karena kami kaum lelaki tidak wajib berjilbab hehe..

Menakar Fatwa Quraish Shihab

Kelebihan seseorang tidak akan menafikan kekurangannya. Seseorang yang pandai di satu bidang, boleh jadi bodoh pada bidang yang lain. Seseorang yang mengetahui satu bidang secara mendetail, bisa jadi tidak mengetahui segala sesuatu secara meluas.

Demikan pula, saya melihat Pak Quraish Shihab adalah seorang mufasir, tentu beliau bukan seorang fuqaha di bidang fiqih atau seorang teolog. Barangkali beliau memiliki sudut pandang berbeda pemahaman dengan para fuqaha dalam beberapa fatwa berdasarkan ijtihad beliau. Hal itu sah-sah saja, karena beliau memiliki kemampuan berijtihad.

Seorang mujtahid yang telah mumpuni berijtihad akan memperoleh dua kali pahala jika ijtihadnya benar dan akan tetap memperoleh satu kali pahala jika ijtihadnya keliru. Demikian dinyatakan oleh hadits nabi serta kaidah yang sudah sangat populer di kalangan para ahli ushul fiqh. Tentu kelayakan berijtihad ini harus memenuhi berbagai macam persyarat keilmuan dan kriteria yang tidak mudah dan gampang bagi orang awam.

Pilihan untuk Mengikuti

Tinggal lagi, bagi orang awam memiliki pilihan-pilihan untuk mengikuti yang mana sesuai dengan jumhur mayoritas ulama di bidangnya.

Terakhir, tugas kita adalah berusaha meletakkan para ulama pada porsi dan keahliaan mereka masing-masing. Iya, kita harus tetap bersikap kritis. Namun, tanpa harus meninggalkan sikap tata krama, adab, dan kesopan-santunan kepada para ulama. Lebih-lebih lagi, tanpa pengetahuan ikut-ikutan memojokkan, menghina hingga memfitnah para ulama itu tentu bukan sikap seorang muslim sejati.

Lebih-lebih lagi, pada zaman serba-fitnah ini, tentu kita harus lebih banyak membaca ketimbang mendengar isu-isu yang masih belum bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Jika fitnah itu menyangkut para ulama lebih mengerikan lagi dampaknya.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Ahmad bin Hanbal, “Takutilah fitnah terhadap ulama, sesungguhnya daging mereka beracun!”

Ulama memang bukanlah manusia suci, mereka manusia biasa seperti kita, mereka terkadang lupa, salah, keliru, bahkan cacat. Namun dibandingkan kita orang-orang awam, tentu saja harus diakui bahwa Allah telah memilih mereka sebagai ahli ilm yang terdapat banyak nash al-Qur’an dan Hadits Allah memuliakan ilmu serta ahli ilmu. Soal nanti beban tanggung jawab amanah ilmu tersebut akan menjadi urusan setiap orang dihadapan Allah Swt. Wallahu ‘alam. []

*Penulis buku-buku best seller

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru