33 C
Jakarta

Memutus Total Rantai Radikalisme di Indonesia

Artikel Trending

KhazanahPerspektifMemutus Total Rantai Radikalisme di Indonesia
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Tumbangnya Orde Baru membuka keran kebebasan politik dan demokratisasi. Satu sisi memberi ruang ekspresi yang tumbuh di atas sentimen dan identitas primordial. Di sisi lain justru menjadi ladang basah dari ekspansi radikalisme.

Melihat pola dan model radikalisme pasca-Reformasi sepertinya kita asyik menyaksikan konser kekerasan. Baik yang terang-terangan seperti Laskar Jihad, FPI, HTI, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Laskar Jundulah dan gerakan radikal lainnya ataupun yang diam-diam seperti Jemaah Islamiyah (JI).

Dari sini, fenomena radikalisme yang berhubungan dengan keagamaan harus dicermati secara serius. Jika tidak, khawatir pola keberagamaan kita di republik ini digembosi kelompok-kelompok keagamaan yang cenderung intoleran. Barangkali kita selalu bertanya-tanya, bagaimana kelompok radikal bisa berkembang di Indonesia?

Cukup sederhana untuk menjawab pertanyaan ini. Keterbukaan politik setelah Soeharto lengser tanpa disadari juga menyodorkan peluang bagi aliran atau ideologi keagamaan, termasuk mereka yang mengusung ideologi radikal.

Menariknya lagi ketika anak-anak muda terlibat di dalamnya. Sebagaimana hasil survei Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2017) mendeteksi 34,3% anak-anak muda setuju bahwa jihad sebagai upaya memerangi non muslim. Ini menunjukkan bahwa generasi Indonesia mengantongi masa depan yang kurang baik. Dalam artian ketika anak-anak muda memosisikan jihad sebagai puncak dari tegaknya agama “keyakinan” di negeri ini, bukan tidak mungkin terjadi pertumpahan darah sesama anak bangsa.

Tentu bukan perkara mudah untuk memerangi kelompok-kelompok radikal di Indonesia. Ini bukan semata-mata jejaring mereka kuat, melainkan ada ideologi di belakang gerakan radikal. Barangkali negara tidak sulit membekukan izin kelompok radikalis semacam ini. Tetapi, negara tidak bisa melarang dan memenjarakan ideologi yang diusung. Ideologi terus tumbuh dan berkembang seiring dengan iklim gerakan dan pengaderan. Inilah yang mungkin menjadi persoalan kita bersama dewasa ini.

Yusuf Qardawi dalam penelitiannya menyebut ada tiga faktor penting munculnya radikalisme. Pertama, interpretasi norma dan ajaran agama dari Al-Qur’an dan Hadis yang berbeda mengenai ajaran sebagaimana mereka idealkan. Kedua, perbedaan sudut pandang dan pemaknaan atas interpretasi ajaran agama Islam, sehingga memunculkan tiga kelompok; sekuler, substansialis dan skriptualis.

Tiga kelompok ini silang pendapat dalam persoalan penerapan syariat Islam, model negara Islam sampai pada khilafah Islamiyah. Ketiga, dalam menyikapi ranah sosial. Dari ketiga kelompok di atas ada jurang pemisah cukup tajam. Hal ini menunjukkan radikalisme masih ada ruang-ruang bolong. Di situlah posisi kita untuk menyulut api perang atas gerakan kaum radikalis.

BACA JUGA  Refleksi Idulfitri: Membangun Jembatan Toleransi dan Menolak Paham Ekstrem

Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) pada tahun 2017 menemukan fakta menarik. Keberhasilan jaringan radikal dalam penyebaran ideologi tidak jauh-jauh dari model baru yang dijadikan pendekatan, di antaranya adalah memanfaatkan tindak terbuka dari masyarakat, kemiskinan, pengangguran dan aspek-aspek sosial yang terbelakang.

Hal ini menunjukkan bahwa radikalisme dan intoleransi bukan semata-mata hanya dilihat dari sudut pandang yang sepit. Persoalan keyakinan agama, misal. Tetapi, lebih jauh ada faktor-faktor lain yang justru berkembang dalam realitas masyarakat.

Apalagi menjelang tahun politik tahun 2024. Polarisasi identitas keagamaan dan isu-isu radikalis akan naik ke permukaan. Kepala Staf Presiden Moeldoko di Istana Kepresidenan mengutip survei Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bahwa potensi radikalisme sampai di angka 14 persen tahun 2020 (Tempo, 20/10/2022). Tahun-tahun politik berpotensi mengalami peningkatan. Dari sini kita akan mengetahui bahwa radikalisme menjadi ancaman nyata bagi persatuan dan kesatuan bangsa.

Dari beberapa hal di atas, ada dua model dalam memutus rantai radikalisme di Indonesia. Pertama, optimalisasi dan partisipasi pondok pesantren. Instansi ini memiliki akar kuat dalam merawat keberagamaan dan kebangsaan. Pesantren misalnya, punya sejarah panjang dalam menumbuhkan nilai-nilai nasionalisme. Kiai dan santri ikut aktif dalam gerakan-gerakan kemerdekaan sampai menutup gerbong kelompok radikalis Indonesia. Prinsip moral yang dipegang kaum pesantren tidak bisa dikesampingkan dalam pergulatan kebangsaan.

Untuk itu, pesantren harus memosisikan diri dalam melawan radikalisme di Indonesia. Kita tahu bahwa berkembangnya radikalisme tidak jauh-jauh dari pemahaman dan interpretasi atas teks-teks Al-Qur’an dan Hadis juga terhadap ajaran agama. Oleh karenanya, pesantren dengan tradisi keilmuan dan model pendidikan khasnya bisa menjadi panawar atas gencarnya isu-isu radikal.

Kedua, perguruan tinggi menjadi wadah anak-anak muda atau mahasiswa dari berbagai penjuru Indonesia. Latar belakang budaya, agama dan bahasa menjadi ladang paling subur gerakan-gerakan keagamaan. Untuk itu, perguruan tinggi perlu terus menyuarakan tentang bahaya laten radikalisme di kalangan mahasiswa.

Mahasiswa dan berbagai pihak yang ada dalam instansi ini bukan hanya bertugas mengembangkan gagasan dan ide tentang materi perkuliahan. Jauh dari itu, perguruan tinggi harus menanamkan nilai-nilai tridarma yang menyentuh aspek-aspek pemahaman tentang kebangsaan dan keindonesiaan. Dengan demikian, radikalisme yang mengakar sedikit demi sekitar mulai ditekan.

Muhammad Syaiful Bahri
Muhammad Syaiful Bahri
Santri PPM Hasyim Asy’ari Yogyakarta, Aktif di Lingkaran Kajian Culture, Humanity and Religion di Lesehan KUTUB Yogyakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru