31.7 C
Jakarta

Memperkuat Identitas Nasional, Mencegah Politik Identitas

Artikel Trending

KhazanahOpiniMemperkuat Identitas Nasional, Mencegah Politik Identitas
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Dalam perspekstif sosiologi, politik identitas akan menjadi narasi topik yang akan selalu muncul ketika mendekati event pergantian presiden. Sebut saja beberapa tahun belakangan bagaimana 2014 dan 2019 menjadi tahun yang menghantui kestabilan nasional.

Panorama lain, Pilkada DKI 2017 merupakan potret yang menunjukkan politik identitas yang cenderung mengarah ke isu suku, agama dan ras. Fenomena tersebut menjadi pelajaran bagaimana peranan suku, agama dan ras berperan sangat kuat bahkan terkristalisasi sedemikian rupa sehingga memberikan tekanan psikologis kepada masyarakat.

Mengapa hal tersebut kerap terjadi berulang-ulang? Hal ini tidak bisa lepas dari karakter masyarakat yang belum bisa lepas dari primordialisme dan sektarianisme yang masih kuat mengakar meskipun saat ini sudah di era demokrasi dan modern.

Masyarakat akan menghadapi transformasi politik 2024 yang sudah di depan mata. Segala bentuk persiapan hingga bakal calon presiden sudah ramai dibicarakan di media hingga seluruh kalangan.

Akan tetapi banyak yang terjebak dalam polarisasi kotak-kotak ras, agama dan suku yang membuat masyarakat mudah di benturkan dan berujung isu radikalisme. Jika masyarakat sudah pada tahap demikian maka stabilitas nasional akan mengalami gejolak kerusuhan dan naiknya intoleransi antar masyarakat.

Timbul pertanyaan apakah makna dari identitas nasional hingga politik identitas itu sendiri? Identitas nasional merupakan identitas yang diakui oleh sebagian besar masyarakat suatu negara sebagai ciri khas dari kelompok mereka. Identitas nasional dapat terdiri dari berbagai elemen, seperti sejarah, budaya, bahasa, adat istiadat, dan nilai-nilai yang dipegang bersama.

Namun, dalam beberapa tahun terakhir, muncul fenomena politik identitas yang mengedepankan identitas kelompok tertentu, seperti etnis, agama, atau gender, sebagai dasar untuk memperoleh dukungan politik atau mengambil keputusan politik.  Istilah politik identitas ini dikonstruksi oleh elit politik tertentu sebagai instrumen wacana yang menggambarkan kebencian, rasa takut dan menyudutkan pihak tertentu.

Contohnya seperti yang dijelaskan dalam buku Buya Syafii Maarif yang berjudul Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Indonesia menyatakan bahwa politik identitas di Indonesia lebih terkait dengan masalah etnisitas, agama, dan kepentingan-kepentingan lokal yang diwakili pada umumnya oleh para elite dengan artikulasinya masing-masing.

Politik identitas yang mengatasnamakan agama (Islam) seperti MMI (Majelis Mujahidin Indonesia), FPI (Front Pembela Islam), HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), dan PKS (Partai Keadilan Sosial) ini membahayakan posisi nasionalisme dan Indonesia.

Untuk mencegah politik identitas, salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah memperkuat identitas nasional. Memperkuat identitas nasional dapat dilakukan melalui beberapa cara. Misalnya, meningkatkan pemahaman dan rasa bangga terhadap sejarah dan budaya nasional, dan mengajarkan nilai-nilai kebangsaan yang bersifat inklusif dan menghormati keragaman.

Selain itu, juga mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan nasional dan kehidupan politik, dan memperkuat lembaga-lembaga negara dan kebijakan yang bersifat inklusif dan memperhatikan kepentingan seluruh rakyat, tanpa diskriminasi.

BACA JUGA  Apakah Dakwah Harus Mengislamkan non-Muslim?

Meningkatkan pemahaman dan rasa bangga terhadap sejarah dan budaya nasional dapat dilakukan dengan mengajarkan sejarah nasional dan kebudayaan secara mendalam kepada masyarakat. Dalam hal ini, para pelajar dapat mempelajari sejarah dan kebudayaan nasional dengan baik, sehingga dapat menumbuhkan rasa bangga terhadap negara mereka. Selain itu, perayaan hari-hari nasional dan kegiatan budaya dapat menjadi sarana untuk memperkuat identitas nasional.

Mengajarkan nilai-nilai kebangsaan yang bersifat inklusif dan menghormati keragaman dapat dilakukan dengan menekankan bahwa setiap individu memiliki hak yang sama dan menghargai perbedaan yang ada. Melalui pendidikan dan kampanye, masyarakat dapat dipersiapkan untuk menerima keragaman dan menghargainya. Dalam hal ini, setiap individu diharapkan dapat menjadi bagian dari kesatuan bangsa dan bekerja sama untuk kemajuan negara.

Mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan nasional dan kehidupan politik juga dapat menjadi sarana untuk memperkuat identitas nasional. Melalui partisipasi aktif, masyarakat dapat merasakan bahwa mereka memiliki tanggung jawab dalam mengembangkan negara dan dapat merasa memiliki keterlibatan dalam kehidupan politik negara. Hal ini dapat meningkatkan rasa memiliki terhadap negara dan menumbuhkan solidaritas di antara masyarakat.

Peran Mahasiswa

Apa yang ada dipikiran masyarakat ketika mendengar kata mahasiswa? Ya tentunya masyarakat menganggap bahwa mahasiswa adalah kaum muda intelektual yang digadang-gadang menjadi ujung tombak perubahan peradaban. Mahasiswa dengan segudang keilmuannya diharapkan menjadi agent of change dan dapat memberikan kontribusi nyata dalam menghadapi persoalan merawat kerukunan bangsa.

Peran mahasiswa dalam menghadapi politik identitas sangat penting dalam membangun masyarakat yang inklusif dan menghargai keberagaman. Mahasiswa memiliki peran strategis dalam membentuk opini dan menjaga kestabilan pada kalangan muda. Mahasiswa sebagai pemilih dan golongan yang tidak terikat dengan elit politik tertentu diharapkan menjadi kontrol sosial dalam mencegah polarisasi dan politik identitas.

Dengan demikian, mahasiswa menghadapi arus transformasi dan pesta politik dapat memperjuangkan hak-hak minoritas melalui pengembangan program-program pendidikan dan pengajaran yang mengintegrasikan isu-isu identitas dan keberagaman dalam kurikulum. Hal ini dapat meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang pentingnya menghargai perbedaan dan memperjuangkan hak-hak minoritas.

Sebagai anggota masyarakat, mahasiswa juga dapat memperjuangkan hak-hak minoritas melalui partisipasi dalam proses politik, seperti memberikan suara dalam pemilihan umum dan memilih pemimpin yang memperjuangkan hak-hak minoritas.

Hal ini penting mengingat bahaya dari politik identitas yang berlebihan adalah berujungnya pada fasisme, bahkan lebih buruk lagi yaitu separatisme dan masyarakat yang sudah terasimilasi berdasarkan identitas tertentu, dapat dengan mudah dimobilisasi oleh kelompok yang ingin mencapai agenda politiknya.

Yusup Nurohman
Yusup Nurohman
Santri di Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak, Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru