Perang argumen dimana-mana, benturan informasi dari kedua belah pihak yang menolak untuk disalahkan. Rasanya jika kita menempatkan sebagai pembaca, media kita masih menyajikan informasi yang stagnan, berupa penjelasan dari pihak FPI selaku kelompok Muslim yang merasa dibantai lalu menyajikan informasi dari polisi selaku oknum yang merasa sudah mengupayakan yang terbaik. Hanya sebatas pada informasi tersebut, ditambah dengan informasi hoaks dimana-mana.
Pun kondisi hari ini kita masih tetap sama, berada dalam kegamangan informasi yang sangat sulit sekali diprediksi sebuah kebenarannya. Dalam bahasa yang dikemukakan oleh Yasraf Amir Piliang, kita sedang mengalami obesitas informasi, terlalu banyak informasi yang tersebar. Hingga kita tidak bisa membedakan kebenaran dan kesalahan, tidak bisa membedakan antara fakta dengan hoaks.
Topik HRS menjadi topik yang tidak akan mati untuk dibicarakan, keberadaan dirinya selalu dikaitkan dengan isu agama, intoleran, perpecahan, kritikus aktif pemerintah dengan ceramahanya yang seksis, gerakan yang masif, hingga gerakan revolusi akhlak yang tidak henti dikampanyekan. Ini baik, bagi HRS dan pengikutnya, sayangnya hal tersebut menimbulkan kegaduhan luar biasa, kegaduhan yang berkepanjangan ditengah berbagai masalah kenegaraan, hingga sampai pada titik permasalahan baru yakni terbunuhnya 6 laskar FPI oleh pihak polisi.
FPI Biang Kegaduhannya
Sejak awal kemunculan FPI dengan berbagai kegiatan yang dilakukan, penulis sampai pada kesimpulan bahwa gerakan FPI menjadi biang kegaduhan sosial. Dilansir dari berbagai media. Gerakan yang dilakukan oleh FPI selalu menimbulkan kegaduhan yang amat panjang. Mulai dari penjemputan Imam Besar HRS di tengah Covid-19, kegiatan pesta pernikahan yang bertepatan dengan Maulid Nabi Muhammad Saw diserta ceramah cacian dan makian, ceramah seksis hingga hinaan pun menjadi konten yang asik dibicarakan bersama pengikutnya.
Hal tersebut jelas-jelas sangat tidak menggambarkan ajaran Islam yang dibawa oleh Rosulullah, sama sekali tidak menciptakan kedamaian, justru menimbulkan keresahan, ketakutan di tengah-tengah masyarakat.
Sayangnya setelah kegaduhan terjadi, banyak hal yang dihindari oleh Imam Besar HRS, termasuk penegasian diri dalam pemeriksaan terkait kasus pengumpulan massa yang dilakukan di tengah pandemi, dan jelas-jelas dilarang oleh negara. Namun, bukan HRS namanya jika masih belum menimbulkan masalah baru, faktanya dari berbagai upaya pemanggilan yang dilakukan oleh kepolisian, justru HRS dikawal oleh laskar FPI dengan alasan agar tidak diserang oleh berbagai oknum (kompas.com).
Seharusnya, sebagai Imam Besar, justru pemanggilan dirinya oleh pihak kepolisian harus dilaksanakan, segera diselesaikan. Apalagi sebagai orang yang kritis terhadap pemerintah, taat pada aturan itu wajib, selaras dengan kritik yang selalu digerakkan selama ini.
Dosakan Membuhuh Sesama Muslim?
Terbunuhnya 6 laskar FPI menjadi babak baru topik perjalanan Imam Besar HRS beserta para pengikutnya. Meningkatnya narasi kesyahidan yang dibawa oleh Imam Besar Habib Rizieq beserta pengikutnya atas kematin 6 laskar FPI membuat kita harus benar-benar memahami kronologi kejadian pembunuhan yang dilakukan oleh pihak kepolisian.
Pihak kepolisian, menjelaskan bahwa laskar FPI membawa senjata tajam dengan kronologi terjadi penyerangan antar yang satu dengan yang lain berikut bukti-bukti senjata tajam yang di. Keterangan tersebut dibantah oleh pihak FPI bahwa pihaknya tidak pernah membawa senjata tajam (kompas.com).
Justru narasi “tidak pernah membawa senjata tajam” sangat tidak masuk akal, jika melihat dari berbagai kejadian yang melibatkan para simpatisan FPI. Sebab selama ini, para simpatisan FPI tidak pernah lepas dari kepemilikan senjata tajam. Mulai dari demo tolak Ahok yang membawa samurai (merdeka.com), membawa senjata saat kerusuhan 22 Mei (tempo.co), ditahan atas kepemilikan senjata tajam (liputan6.co), dan membawa senjata tajam lalu dinggap preman (kompas.com).
Berdasarkan fakta di atas, kiranya ini menjadi catatan untuk kita pahami bahwa membunuh sesama Muslim diharamkan oleh agama. Pun hal tersebut disampaikan juga oleh Ustadz Abdus Somad, bahwa “Membunuh satu orang maka dia sama seperti membuh semua orang” (viva.com).
Meski demikian, kita tidak bisa menegasikan hal-hal yang menjadi alasan diperbolehkannya seorang Muslim membunuh sesama Muslim. Khalid Basalamah, dalam ceramahnya mengungkapnya bahwa ada 3 aspek yang menjadi alasan seseorang boleh dibunuh, yakni, pertama, diserang tiba-tiba untuk membela diri, terjadi perkelahian, pintu terbuka untuk membela diri, kedua, dihukum mati karena memang hukum syar’i, dan ketiga, jihad di jalan Allah.
Penjelasan di atas barangkali menjadi catatan penting bagi kita semua bahwa kategori kesyahidan yang dibawa oleh para 6 laskar FPI, benar-benar syahid atau hanya membawa label “syahid”? Wallahu a’lam.