27.1 C
Jakarta
Array

Membumikan Pancasila di Kalangan Pelajar

Artikel Trending

Membumikan Pancasila di Kalangan Pelajar
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Jakarta. Memperingati Hari Pahlawan 10 November 2017, Institute of People Development (IPD) bekerjasama dengan Lembaga Kajian Strategis Bangsa (LKSB) dan Forum Bagi Bangsa (FBB) mengadakan Pelatihan Nation and Personal Character Building for Achievement Motivation bagi siswa-siswi SMA Negeri se-DKI Jakarta, Sabtu, (11/11) di Griya Alam, Ciganjur, Jakarta.

Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Bangsa (LKSB), Abdul Ghopur yang juga Intelektual Muda Nahdlatul Ulama, yang membawakan materi Membumikan Pancasila, mengatakan jangan sekali-kali melupakan sejarah.
“Terutama sekali peristiwa atau sejarah perjuangan dan pengorbanan jiwa-raga dari belasan ribu para ulama, kiai, dan santri di Jawa Timur, khususnya di Surabaya dan sekitarnya, yang gugur mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia yang baru seumur jagung yang ingin dijajah kembali oleh Tentara Sekutu (NICA) pada 10 Nopember 1945,” kata Ghopur.
Peristiwa bersejarah itu tak akan muncul atau terjadi apabila tidak ada Resolusi Jihad NU 22 Oktober 1945 untuk melakukan Jihad Syahid mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari rongrongan penjajah imperialis.
“Tak ada Hari Pahlawan tanpa Resolusi Jihad NU,” tegasnya.
Lebih lanjut Ghopur menjelaskan, pentingnya mentransfer knowledge dan sejarah kebangsaan kepada adik-adik siswa-siswi usia SMA, para generasi penerus dan pelurus sejarah pergerakan bangsa untuk memahami, menghayati dan mengilhami pengorbanan harta-benda, darah dan air mata bahkan jiwa dan raga dari para pahlawan bangsa agar dapat  melanjutkan estafet perjuangan para pendiri bangsa sesuai relatau track yang sudah digariskan dan diamanatkan dalam cita-cita Proklamasi ’45 dan Pancasila.
Lebih jauh Ghopur menyatakan, “Generasi saya ini adalah generasi tengah yang mencoba menjembatani antara generasi senior atau pendahulu dengan generasi di bawah saya. Karena memang selama ini saluran komunikasinya terputus. Maka kewajiban generasi saya adalah mentransfer (menjembatani) apa yang menjadi perjuangan dan spirit kepahlawanan para generasi pendahulu, para pahlawan bangsa kepada generasi selanjutnya di bawah saya.”
Dalam kaitannya dengan Membumikan Pancasila, Ghopur menjelaskan,  pasca runtuhnya Orde Baru muncul fobia terhadap Pancasila. Dasar Negara itu seolah ikut tumbang dan larut bagai hilang tanpa bekas. Membincangkan Pancasila menjadi sesuatu yang menjemukan, karena hampir selalu identik dengan rezim Orde Baru. Agaknya ada semacam trauma mendasar terhadap perlakuan eksesif akan Pancasila.”
“Mengapa demikian? Sebab, Dasar Negara itu berubah menjadi ideologi tunggal dan satu-satunya sumber nilai serta kebenaran. Pancasila dijadikan ideologi yang komprehensif yang mengatur semua lini kehidupan masyarakat. Negara (Orde Baru) menjadi maha tau apa yang baik dan apa yang buruk buat masyarakat,” papar pria yang akrab di sapa Bang Ghopur.
Nilai-nilai itu selalu disematkan di benak masyarakat melalui indoktrinasi, yaitu melalui penerapan P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Yaitu ”pemasyarakatan Pancasila” demi menjaga dan menjalankan Pancasila secara murni dan konskuen. Semua warga negara diajar untuk memahami, mengahayati, dan mengamalkan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Sementara di sisi lain, prilaku penguasa Orde Baru pada waktu itu menunjukkan arah yang tidak seirama. Bahkan sebaliknya bertentangan dengan nilai dan semangat yang terkandung di dalam Pancasila.
Atas perlakuan semacam itu, Pancasila mau tidak mau senantiasa berbenturan dengan nilai-nilai/norma maupun ideologi yang hidup di tengah masyarakat seperti adat-istiadat, aliran kepercayaan, agama bahkan paham-paham ideologi dunia seperti sosialisme, komunisme, liberalisme dan kapitalisme. Benturan tersebut tidak hanya terjadi di levelan ide, bahkan melebar menjadi gesekan sosial politik yang tak jarang berujung pada pertumpahan darah.
Trauma itu sampai sekarang belum lenyap. Ketika reformasi bergulir, diskursus ideologi merosot cukup dalam. Masalah itu seolah tidak relevan untuk dibicarakan. Masalahnya boleh jadi karena kita ‘capek’ dengan ideologisasi Pancasila semasa Orde Baru yang praktis dimonopoli negara. Pancasila hanya menjadi hafalan rutin setiap Senin pagi di sekolah-sekolah, kantor-kantor pegawai negeri, dan lain lain. Pancasila menjadi hanya sebatas bukan komunisme dan kapitalisme atau diingatkan akan bahaya ekstrim kanan maupun kiri.
Namun demikian, lanjut Ghpur, diskursus tentang ideologi tidak bisa diabaikan begitu saja. Ketika bangsa ini tertatih-tatih dalam proses demokratisasi, konflik dan kekerasan yang muncul sewaktu-waktu, restorasi Indonesia dari krisis yang tak kunjung menemui titik cerah, sulit (limbo) merumuskan masa depan, dan segunung masalah lainnya, kita kemudian menengok kembali pentingnya sebuah ideologi yang kokoh serta akomodatif. Yang menjadi pertanyaannya kemudian, ideologi seperti apa dan bagaimana?
“Di sinilah kita bersama mencoba menjawab secara komprehensif seluruh persoalan tersebut di atas. Kita ingin menjelaskan betapa pentingnya Pancasila menjadi kompas dalam perjalanan berbangsa dan bernegara yang kian mengalami dekadensi moral dan distorsi. Kita ingin menjelaskan begitu pentingnya Pancasila dihadirkan kembali dalam ruang publik yang sarat kontaminasi oleh kepentingan kelompok, nilai, maupun idelogi-ideologi privat,” katanya.
Menurut Ghopur, selama ini domain sistem nilai ataupun ideologi yang bersifat privat seperti agama, adat-istiadat maupun paham ideologi asing yang hidup di tengah masyarakat kini telah salah ”tempat”. Nilai serta norma atau pun ideologi privat itu telah memasuki ruang publik. Misalnya, pro-kontra pelaksanaan Perda Syariah di kota Tangerang dan tuntutan Perda Injil di Papua beberapa tahun silam. Nilai atau norma agama tersebut merupakan nilai yang dipercayai dan dimiliki oleh komunitas-komunitas tertentu dalam sebuah entitas yang bernama Indonesia. Nilai itu belum tentu dipercayai dan dimiliki oleh komunitas lain yang memiliki kepercayaan lain, yang menjadi bagian integral dari entitas bangsa Indonesia.”
Ghopur menggugah khalayak bahwa Pancasila masih sangat membutuhkan penyegaran pemahaman. Alasannya cukup jelas, perjalanan bangsa selama era Reformasi kerap mengalami disorientasi ketika dihadapkan dengan berbagai pilihan dan persoalan. Para pengambil kebijakan lebih memilih pertimbangan pragmatis jangka pendek ketimbang bersusah payah mematangkan visi bangsa yang telah dimiliki.
Selain itu, harus disadari pula, bahwa pertarungan ideologi dunia masih belum berakhir. Paling tidak, faktor itu ikut memengaruhi pola pikir kita dalam merekonstruksi masa depan pembangunan bangsa. Misalnya, bagaimana proyeksi pembangunan ekonomi Indonesia ke depan. Coba perhatikan perdebatan sengit oleh sejumlah akademisi mengenai amandemen pasal 33 UUD 1945. Perdebatan yang tidak menghasilkan kesimpulan konklusif ini akhirnya menyisakan dua kutub gagasan; mereka yang pro-ekonomi pasar dan mereka yang mendukung gagasan ekonomi kerakyatan. Sayangnya, perdebatan tersebut tidak banyak bergaung dan menjadi perhatian serius publik. Perhatian sebagian besar publik dari berbagai kalangan lebih banyak tertumpah misalnya, pada isu pemilihan presiden secara langsung ataupun perdebatan hubungan antara negara dan agama.”
“Lantas, bagaimana menyegarkan pemahaman kita terhadap Pancasila? Di sinilah  kita bersama wajib memberikan sketsa gagasan bagaimana seharusnya norma-norma Pancasila dan konstitusi diterjemahkan. Bagaimana Pancasila diletakkan. Bercermin pada sejarah awal saat dirumuskannya, ideologi bangsa itu harus dipahami sebagai konsensus dasar atau kontrak sosial (gentlemen agreement) antara berbagai komunitas untuk mengikat diri menjadi satu bangsa, Indonesia,” Ghopur bersolusi.
Pancasila membutuhkan kerangka kerja yang lebih lengkap untuk mengoperasionalisasikannya dalam kehidupan nyata. Pancasila harus menjadi referensi utama praksis negara, yang harus bisa membaca berbagai perubahan fenomenal yang dialami bangsa. Pancasila harus melakukan reverifikasi atas peran monolitiknya, sebagai instrumen persuasif bangsa. Dengan cara itu kita dapat mengontekstualisasikan Pancasila sesuai semangat zaman. Jika tidak demikian, Pancasila akan hanya menjadi illiterate-ideolgy/ideologi buta huruf, atau sekadar blind-rhetoric.
Pemahaman terhadap Pancasila pada level infrastruktur politik juga harus mendalam. Artinya, kehidupan masyarakat keIndonesiaan harus terus-menerus didorong untuk memperkuat nilai-nilai Pancasila sebagai perekat bangsa. Untuk itu ada sebuah agenda penting, yakni bagaimana menumbuhkan semangat multikulturalisme yang bertumpu pada ketergantungan sebuah komunitas dengan komunitas lain. Kesadaran bahwa suatu komunitas tidak bisa hidup tanpa komunitas lainnya. Interdependensi itu mutlak dikembangkan agar tidak muncul superioritas kebudayaan satu dengan kebudayaan lain.
Ketidak-arifan dalam memaknai dan meletakkan Pancasila dalam kadar proporsinya hanya akan membuat Pancasila menjadi kehilangan arti. Tetapi, sebaliknya usaha kita meyakinkan akan pentingnya bahkan semakin pentingnya Pancasila dewasa ini. Itulah pentingnya memahami secara komprehensif Pancasila dari awal dirumuskannya hingga perjalanannya melalui Demokrasi Terpimpin-nya Bung Karno, Orde Barunya Soeharto, sampai dengan era Reformasi saat ini. Tugas generasi hari ini dan mendatang adalah berusaha keras menjelasjabarkan pengertian Pancasila tidak hanya sebagai ideologi dan Dasar Negara, tetapi juga menjelaskan kaitan di antara Pancasila dengan agama, dan lain-lainnya.
“Yang terpenting adalah upaya mengembalikan ”citra” Pancasila dan  berusaha membuktikan pentingnya pembumian Pancasila bagi kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini maupun di masa yang akan datang,” pungkas Ghopur.
Sementara secara singkat Direktur Eksekutif Institute of People Development (IPD), Antonius Robinson Manurung, mengatakan, perjuangan para pahlawan bangsa untuk negeri ini tidak hanya untuk dikenang, tetapi juga harus diteruskan ke generasi muda bangsa.
“Melalui pelatihan ini diharapkan akan mampu meningkatkan kesadaran yang tinggi tentang nilai-nilai kehidupan (moral dan etika), khususnya terkait dengan karakter personal dan bangsa,” ungkapnya. (Red: Kendi Setiawan)
Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru