32.9 C
Jakarta

Membumikan Neo Toleransi dalam Kehidupan Berbangsa

Artikel Trending

KhazanahOpiniMembumikan Neo Toleransi dalam Kehidupan Berbangsa
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Beberapa hari terakhir kita mendengar berita menarik dari Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN Suka) Yogyakarta. Recana penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa (HC) kepada Grand Syekh Al-Azhar dan Sri Paus Vatikan. Dalam perspektif general, apakah itu bisa disebut neo toleransi?

Dengan berkoordinasi dengan Kementerian Agama dan Menteri Sekretariat Negara, rencana tersebut besar kemungkinan akan terlaksana dalam waktu dekat. Dalam satu perspektif, hal tersebut merupakan lumrah, sebab keduanya memiliki peran di dalam merawat dan mengampanyekan nilai-nilai kemanusian kepada pemeluk agama di seluruh penjuru.

Akan tetapi yang menjadi menarik ialah langkah UIN Suka, yang notabene universitas berbasis agama Islam, berencana untuk memberikan gelar kehormatan kepada Sri Paus Vatikan, pemimpin umat agama Katolik.

Sisi menarik tersebut yang ingin penulis terangkan dalam berbagai persepsi.

Sosial Kemasyarakatan

Sebagaimana masyarakat Indonesia yang majemuk dan terdiri dari berbagai suku dan agama, reaksi mesyarakat terhadap rencana UIN Suka juga akan bermacam-macam. Ada yang menerima dan mendukung langkah tersebut, ada pula yang menolak dan bereaksi lebih terutama dari teman-teman yang terjerumus dalam paham “radikal”.

Terlepas dari pro-kontra tersebut, langkah UIN Suka merupakan salah satu modal yang bagus untuk menyongsong hari teloransi internasional 16 november nanti, dan merupakan harapan baru dari carut-marut kehidupan beragama kita yang koheren dengan isu-isu anti toleransi.

Dengan penganugrahan tersebut, masyarakat akan mengambil pelajaran penting dalam menjalani kehidupan beragama, sehingga lebih bisa untuk menghindari percekcokan dan pertikaian yang banyak dilatarbelakangi oleh perbedaan agama, serta mampu untuk menjunjung tinggi dan mengimplementasikan nilai-nilai neo toleransi.

Sosial Keagamaan

Pada prinsipnya, neo toleransi merupakan produk agama. Kendati toleransi juga digunakan dalam menyikapi setiap perbedaan, entah suku, bahasa atau warna kulit akan tetapi esensi dari toleransi itu sendiri ialah bagian inheren dalam kehidupan sosial keagamaan.

Berbagai kitab suci keagamaan menegaskan urgensi dari implementasi nilai-nilai toleransi dalam kehidupan sosial, seperti di Alkitab diterangkan:

“Jika kamu menjalankan hukum utama sesuai dengan Kitab Suci, yaitu ‘kasihanilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri’, kamu telah melakukan yang benar” [Yakobus 2:8]

Ayat bibel di atas menyeru untuk mengedepankan nilai-nilai toleransi dalam kehidupan sosial, kalimat “manusia” yang merupakan objek dari seruan berbuat kasih tidak dibatasi pada umat agama tertentu, melainkan ditujukan secara universal kepada seluruh manusia.

Artinya, perbuatan baik dan sikap terpuji harus kita lakukan tidak hanya kepada saudara-saudara seiman kita melainkan lebih dari pada itu, juga harus kita tujukan kepada saudara-saudara kita kepada meskipun berbeda keyakinan.

BACA JUGA  Mendidik Anak, Membangun Bangsa: Belajar dari Ibunda Imam Syafi’i

Tidak hanya itu, dalam banyak ayat Al-Qur’an pun diterangkan dan diserukan untuk mejadikan toleransi sebagai asas dalam bersosial.

وَلَا تَسُبُّوا الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ فَيَسُبُّوا اللّٰهَ عَدْوًاۢ بِغَيْرِ عِلْمٍۗ كَذٰلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ اُمَّةٍ عَمَلَهُمْۖ ثُمَّ اِلٰى رَبِّهِمْ مَّرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ

“Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan. Demikianlah, Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan tempat kembali mereka, lalu Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan”.

Al-Qur’an menyuruh kita untuk tidak mengunjing sesembahan saudara kita yang berbeda keyakinan, hal ini tentu karena banyak akibat-akibat negatif yang akan timbul dari perbuatan mengunjing.

Oleh karena itu, langkah UIN Suka yang akan memberikan gelar kehormatan kepada Sri Paus Vatikan, merupakan implementasi nilai-nilai yang ada pada kitab suci masing-masing agama. Langkah tersebut ialah refleksi dari kehidupan beragama yang sangat menjunjung nilai-nilai persamaan, persatuan dan melampaui kegoisan dan ketarkasan.

Tidak terhenti di situ, rencana penganugrahan gelar kehormatan tersebut juga merupakan rule model toleransi yang baru, melampui sekat-sekat yang menjadi masalah memicu pertikaian selama ini. Hal ini menunjukkan bahwa pada tingkat sosial yang tinggi, toleransi sudah menjadi hal yang biasa dilakukan, dengan harapan masyarakat umum secara keseluruhan mampu untuk mengimplementasi nilai-nilai toleransi.

Sosial Kebangsaan

Ketegangan antara agama dan negara merupakan salah satu persoalan klasik yang dampaknya masih kita rasakan sekarang, salah satu produk dari ketegangan tersebut ialah kehidupan masyarakat yang pragmatis dan inheren dengan anti toleransi. Kendati situasi toleransi beragama beberapa tahun terakhir menuju titik yang lebih baik, akan tetapi kondisi sosial yang apatis dan anti toleransi masih dirasakan oleh sebagian masyarakat kita.

Langkah UIN Suka dalam rencana penganugrahan tersebut merupakan upaya melangkah lebih maju dan menjauhi nilai-nilai apatis dan anti toleransi serta bisa menjadi tolok ukur dalam berkembangnya nilai-nilai neo toleransi dalam kehidupan berbangsa serta sedikit demi sedikit bisa menjadi media perekat yang mengatasi masalah ketegangan antar negara dan agama.

Oleh karena itu, secara keseluruhan apa yang sedang diupayakan oleh UIN Suka merupakan teladan yang baik dan semestinya diikuti oleh lembaga pendidikan yang lain, serta diimplementasikan oleh umat agama dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, keagamaan. Dan ini akan menjadi modal yang baik untuk menyambut tahun 2022, yang menurut Jokowi merupakan tahun toleransi.

Ilman Fariz
Ilman Fariz
Alumni TMI Al-Amien Prenduan

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru