31.8 C
Jakarta

‘Membumikan’ Kembali Pemikiran Gus Dur di Tengah Kuatnya Formalisasi Syariat

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahIslam dan Kebangsaan'Membumikan' Kembali Pemikiran Gus Dur di Tengah Kuatnya Formalisasi Syariat
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Saya rasa penting untuk selalu membumikan ajaran Gus Dur, mengingat isu-isu seputar intoleransi, cara pandang yang skriptualis, hingga isu seputar keinginan kuat untuk melakukan formalisasi syariat Islam masih menghiasi ruang publik maupun realitas yang berkembang di sekitar kita. Oleh sebab itu, di tengah situasi yang demikian, pemikiran Gus Dur akan selalu menemukan relevansinya untuk menjadi semacam counter narasi dan bahan refleksi.

Berdasarkan catatan Greg Barton dalam bukunya, yakni “Biografi Gus Dur The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid” (2017), Gus Dur diperkirakan lahir pada 7 September 1940. Gus Dur sendiri lahir di Denayar, dekat kota Jombang, Jawa Timur, di rumah pesantren milik kakek dari pihak ibunya, Kiai Bisri Syansuri. Penting juga untuk dicatat, bahwa kedua kakek Gus Dur, yakni Kiai Bisri Syansuri dan Kiai Hasyim Asyari sangat dihormati di kalangan NU, baik karena peran mereka dalam mendirikan NU maupun karena posisi mereka sebagai ulama. Kedua kakek Gus Dur ini, dikenang juga sebagai pahlawan nasional.

Ayah Gus Dur sendiri, yakni Wahid Hasyim, dikenal sebagai seorang ulama juga. Dengan demikian, dapat disimpulkan Gus Dur merupakan keturunan ulama-ulama besar, Gus Dur sendiri kemudian menjadi ulama yang disegani dan salah satu pemikir pembaharu Islam di Indonesia. Selain berlatar belakang pesantren, Gus Dur pun mengenyam pendidikan di Mesir dan juga Baghdad, Irak. Oleh sebab itu, tidak diragukan lagi, bagaimana latar belakang keagamaan sosok Gus Dur ini.

Dalam buku “Islamku, Islam Anda, Islam Kita”(2006), Gus Dur menulis bahwa yang dimaksud “Islamku” adalah Islam yang khas, dalam arti bahwa pandangan-pandangan tentang Islam yang dipahaminya, berangkat dari pengalaman dan pengembaraannya, dan dalam konteks tersebut Gus Dur menyadari bahwa tiap orang mempunyai pengalaman yang berbeda, yang bahkan sangat memungkinan untuk menghasilkan kesimpulan (tentang Islam) yang berbeda-beda pula.

Gus Dur mengatakan “Islam yang dipikirkan dan dialaminya adalah sesuatu yang khas, yang dapat disebutkan sebagai ‘Islamku’, hingga karenanya watak perorangan seperti itu patut dipahami sebagai pengalaman pribadi, yang patut diketahui orang lain tanpa memiliki kekuataan pemaksa”. Gus Dur mencontohkan, misalnya saja apakah selama pengembaraan tersebut berakhir pada elektisme yang berwatak kosmopolitan, sedangkan pada orang lain membawa pada hasil sebaliknya, itu tidak menjadi soal baginya, karena ia menyadari bahwa tiap orang mempunyai pengalamannya masing-masing.

Berdasarkan uraian sederhana tersebut, sangat menunjukkan keterbukaan pemikiran dari sosok Gus Dur ini. Itu bisa terlihat juga, meskipun menurut Gus Dur kita memang harus merasa bangga dengan pandangan kita yang berbeda dengan orang lain, akan tetapi kalau sebuah pandangan tersebut dipaksakan, akan terjadi dislokasi pada diri orang lain, yang justru akan membunuh keindahan semula dari pandangannya sendiri.

Sementara itu, yang dimaksud sebagai ‘Islam anda’ oleh Gus Dur, adalah sebuah klaim kebenaran yang berangkat dari keyakinan, dan bukan dari pengalaman, yang kadar penghormatan terhadapnya ditentukan oleh banyaknya orang yang melakukannya sebagai keharusan dan kebenaran. Lalu, apa yang disebut sebagai ‘Islam kita’? Gus Dur mengartikan ‘Islam kita’, yakni pikiran-pikiran tentang masa depan Islam. ‘Islam kita’ dirumuskan berdasarkan keprihatinan-keprihatinan dengan masa depan agama tersebut, sehingga keprihatinan itu mengacu kepada kepentingan bersama kaum muslimin.

BACA JUGA  Benarkah Politik Sebatas Menang-Kalah, Bukan Benar-Salah?

Suatu kesimpulan dalam ‘Islam kita’ ini mencakup ‘Islamku’ dan ‘Islam Anda’, karena ia berwatak umum dan menyangkut nasib kaum muslimin seluruhnya. Akan tetapi, yang menyebabkan kita kesulitan dalam merumuskan ‘Islam kita’, yakni ketika ada kelompok-kelompok tertentu yang berusaha memaksakan tafsirannya sendiri untuk ‘Islam kita’. Saya berpandangan, bahwa ajaran-ajaran Gus Dur tersebut, mestinya mampu menyadarkan bahwa praktik-praktik intoleransi, yang salah satunya baru-baru ini terjadi di Solo, jusru bisa merusak proyeksi kita untuk ‘Islam kita’.

Dalam buku Islamku, Islam Anda, Islam Kita (2006) yang disusun berdasarkan artikel-artikel yang ditulis oleh Gus Dur dan dieditori oleh M. Syafii Anwar, maka kita pun akan menemukan bagaimana sikap jelas Gus Dur yang secara terbuka menolak apa yang disebut sebagai ‘formalisasi syariat Islam’. Sederhanya, formalisasi syariat Islam artinya menjadikan syariat Islam berlaku dalam konteks (sistem) ketatanegaraan.

Bagi Gus Dur, kejayaan Islam justru terletak pada kemampuan agama ini untuk berkembang secara kultural. Gus Dur sendiri menafsirkan kata ‘al Silmi’ dalam ayat” udhkuluu fi al Silmi Kaffah”, sebagai ‘perdamaian’, tentu itu berbeda (menafsirkan kata ‘al Silmi’) dengan pendukung Islam formalis yang mengartikan kata tersebut secara literal, yakni ‘Islami’.

Menurut perspektif Gus Dur, konsekuensi dari kedua penafsiran tersebut memiliki implikasi yang luas. Mereka yang menginginkan formalisasi syariat Islam, akan terikat pada upaya-upaya untuk mewujudkan sistem Islami yang secara fundamental dengan mengabaikan pluralitas masyarakat.

Akibatnya, pemahaman semacam itu, akan menjadikan warga non-muslim sebagai warga kelas dua. Dalam pandangan Gus Dur, untuk menjadi seorang Muslim yang baik, seorang muslim perlu kiranya untuk menerima prinsip-prinsip keimanan, menjalankan ajaran (rukun) Islam secara utuh, menolong mereka yang memerlukan pertolongan, menjungjung profesionalisme, bersikap sabar ketika menghadapi ujian dan cobaan.

Dengan kata lain, formalisasi syariat Islam tidaklah menjadi syarat bagi seseorang untuk menjadi muslim yang taat. Dalam penjelasan tersebut, tentu dapat menggambarkan posisi Gus Dur yang menolak untuk mendirikan negara Islam. Gus Dur pun mengemukakan, Islam sebagai jalan hidup (syariat) tidak memiliki konsep yang jelas tentang negara, salah satu contohnya, berkait dengan pergantian kepemimpinan, itu bisa dibuktikan dengan mekanisme pergantian kepemimpinan pada masa ‘khulafaur rasyidin’ saja sudah berbeda-beda, dan alasan-alasan lainnya.

Akan tetapi, yang paling mengagumkan dari Sosok Gus Dur ini, sebagaimanapun Gus Dur tidak setuju terhadap suatu pemikiran, Gus Dur tetap akan menghormatinya, yang Gus Dur tentang habis-habisan, manakala untuk mewujudkan pemikiran (cita-cita) tersebut menggunakan cara-cara kekerasaan ataupun ada kecondongan untuk memaksakan kehendak.

Sebagai penutup, bagi saya, apa yang dipraktikan Gus Dur tersebut patut menjadi teladan, bahwa meskipun semangat yang dibawa oleh Gus Dur bersumber dari identitas primordial (Islam), tetapi Gus Dur berusaha menafsirkan Islam tidak hanya untuk kepentingan ekslusif umat Islam semata, tetapi untuk kepentingan yang lebih luas lagi dan berkesesuaian dengan nilai universil hak asasi, seperti kesetaraan dan sebagainya. Gus Dur mempraktikan apa yang disebut oleh Jurgen Habermas sebagai ‘patriotisme konstitusional’.

Cusdiawan
Cusdiawan
Alumnus Ilmu Sejarah Universitas Padjadjaran. Saat ini tercatat sebagai mahasiswa Program Magister Ilmu Politik Universitas Padjadjaran.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru