Harakatuna.com – Beberapa argumen yang tersebar di media, menyebutkan bahwa radikal-terorisme lahir dari penindasan yang dilakukan negara terhadap suatu kelompok. Hal itu dapat terlihat dalam teori partisipasi politik yang termaktub dalam buku dasar dasar ilmu politik karya Miriam Budiardjo yang menyebutkan bahwa teror atau pemberontakan merupakan bentuk partisipasi politik dengan kekerasan yang terjadi karena adanya penindasan terhadap kelompok tersebut.
Hal tersebut lantas menjadi pertanyaan, apakah kelompok radikal fundamentalis merupakan kelompok yang hadir karena adanya ketidakadilan dan penindasan terhadap kelompoknya? Apabila demikian apa perbedaannya dengan pejuang kemerdekaan?
Sebelum membahas lebih mendalam terkait penyebab radikal-terorisme, perlu dibedakan antara seorang teroris dengan seorang pembebas (freedom fighter). Hal itu penting sebab ketika kita membahas dan melakukan kontra-narasi terorisme, kaum radikal selalu menggunakan perbandingan pada zaman Belanda yang selalu menyebut pergerakan Indonesia adalah suatu bentuk teror, lantas apa yang menjadi perbedaan seorang teroris dengan pembebas, atau apakah diksi teroris adalah diksi politik yang dapat digunakan sesuai dengan kepentingan?
Sebenarnya dalam literatur yang ditulis Boaz Ganor berjudul Defining Terrorism: Is One Man’s Terrorist another Man’s Freedom Fighter? dijelaskan bahwa perbedaan mendasar antara terorisme dengan pejuang kemerdekaan adalah, seorang pejuang kemerdekaan memfokuskan perlawanannya pada kelompok bersenjata yang lain, sehingga apabila mengambil contoh pejuang pejuang Indonesia di masa lalu tidak dapat dikatakan sebuah gerakan teror sebab entitas yang dilawan adalah entitas kemiliteran.
Begitu pun juga Palestina yang berjuang dengan melawan tentara IDF yang memiliki senjata. Sedangkan kelompok radikal-teror dalam berbagai aksinya terutama yang berkaitan dengan bom bunuh diri dilakukan dengan mengincar warga sipil. Sebagai contoh Bom Bali menargetkan diskotik atau klub malam yang paling banyak turis asingnya.
Selain itu Bom Gereja Surabaya juga menargetkan warga sipil dengan latar belakang tertentu yang hadir karena kebencian yang berlebihan. Berdasarkan hal tersebut Boaz Ganor mendefinisikan dan membedakan teroris dengan pejuang kemerdekaan sebagai berikut:
- Freedom fighters biasanya menargetkan pasukan militer atau simbol kekuasaan, sedangkan teroris secara sengaja menargetkan warga sipil untuk menciptakan ketakutan dan mencapai tujuan politik.
- Freedom fighters dianggap sebagai pejuang kemerdekaan yang berjuang melawan penindasan, sedangkan teroris dipandang sebagai pelaku kekerasan yang tidak memiliki legitimasi moral karena menyerang orang yang tidak bersalah.
- Meskipun tujuan akhir dari keduanya mungkin sama, yaitu untuk mencapai kebebasan atau perubahan politik, cara mereka mencapainya sangat berbeda. Terorisme tidak dapat dibenarkan dengan alasan tujuan yang dianggap sah, karena metode yang digunakan melanggar norma-norma internasional.
Konsep psikologi politik dapat didefinisikan sebagai kajian yang mengeksplorasi interaksi antara struktur politik pada tingkat makro dengan faktor tingkat mikro, seperti proses pengambilan keputusan, motivasi, dan persepsi. Faktor mikro berperan penting dalam pembentukan seseorang sebagai teroris, yang kemudian didukung oleh organisasi radikal-terorisme terstruktur sebagai artikulator ideologi politik mereka.
Karena itu, aspek yang akan ditinjau adalah bagaimana faktor mikro seseorang memengaruhi keputusan mereka untuk bergabung dengan organisasi radikal-teror serta bagaimana organisasi terorisme secara terstruktur mengartikulasikan ideologi politiknya.
Beberapa argumen menyebutkan bahwa radikal-terorisme atau kemunculan para teroris dipicu oleh permasalahan ekonomi serta berbagai bentuk ketidakadilan atau marginalisasi terhadap kelompok tertentu. Namun, literatur yang menelaah sisi psikologis seorang teroris menunjukkan bahwa mayoritas orang menjadi teroris bukan karena ketidakadilan yang mereka alami, melainkan karena mereka termakan doktrin yang diberikan.
Dalam buku The Social Psychological Makings of a Terrorist karya David Webber dan Arie Kruglanski, dijelaskan bahwa terdapat beberapa faktor utama yang mendorong seseorang menjadi teroris, yaitu faktor ideologi, faktor validasi, dan faktor indoktrinasi. Buku ini juga menguraikan tahapan seseorang dalam menjalani proses radikalisasi hingga melakukan tindakan teror.
Tahap pertama adalah ketidakpuasan seseorang terhadap dirinya sendiri, yang berkaitan dengan teori kebutuhan manusia dari Abraham Maslow, khususnya dalam aspek aktualisasi diri. Selanjutnya, seseorang mulai mendapatkan informasi terkait ideologi radikal-terorisme, suatu proses yang berlangsung cukup lama karena melibatkan internalisasi nilai-nilai radikal.
Tahap terakhir adalah koneksi dengan kelompok radikal-teror, yang memperkuat keterlibatan seseorang dalam jaringan teror. Dengan demikian, faktor utama yang mendorong seseorang menjadi teroris adalah pengalaman pribadi yang membuat seseorang merasa hampa, tidak berharga, serta membutuhkan validasi atau aktualisasi diri—sesuatu yang secara kodrati sangat mendasar bagi manusia.
Di Indonesia, tindakan teror bukan lagi soal kepentingan kolektif, tetapi lebih banyak berakar pada arogansi ideologi yang ditularkan melalui indoktrinasi secara pengecut. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, secara psikologis, pelaku teror umumnya adalah orang yang belum menemukan makna dan aktualisasi diri, sehingga mereka mencari validasi melalui aksi-aksi teror.
Dalam konteks itu, sebenarnya tidak ada urgensi dari tindakan radikal-terorisme. Gagasan utopis mengenai negara Islam sebagaimana yang diharapkan oleh kelompok seperti ISIS dan Al-Qaeda tidak akan pernah mampu menandingi stabilitas negara seperti Indonesia saat ini. Karena itu, merupakan kesalahan besar jika menyamakan gerakan kelompok teroris dengan perjuangan pahlawan Indonesia dalam melawan penjajah, atau dengan perjuangan bangsa Palestina melawan Israel, karena yang terakhir benar-benar berjuang melawan penindasan nyata dan perampasan hak secara riil.
Sebaliknya, gerakan terorisme—baik di tingkat lokal maupun global—tidak memiliki urgensi yang jelas. Kelompok seperti ISIS dan Al-Qaeda tidak bisa dikategorikan sebagai gerakan pembebasan, karena sebagaimana dijelaskan sebelumnya, gerakan kemerdekaan yang sejati tidak akan melakukan tindakan kekerasan yang menyasar masyarakat sipil secara sengaja hanya demi menciptakan ketakutan.
Kesimpulannya, radikal-terorisme di Indonesia kerap tidak muncul karena permasalahan kolektif, melainkan berakar dari persoalan orang yang mengalami kekosongan makna dan membutuhkan validasi atau aktualisasi diri. Kekosongan tersebut membuka peluang bagi ideologi radikal untuk menginfiltrasi pemikiran seseorang.
Sebagai upaya pencegahan, pemikiran yang perlu dikembangkan adalah bahwa validasi atau aktualisasi diri tidak harus dicapai melalui tindakan radikal. Sebaliknya, “ketika seseorang bermanfaat bagi orang lain, maka secara tidak langsung hal tersebut telah mengaktualisasi dirinya sendiri.”