26.3 C
Jakarta
Array

Membubarkan Partai Pembebasan HTI

Artikel Trending

Membubarkan Partai Pembebasan HTI
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Membubarkan Partai Pembebasan HTI

Oleh: Henny Mono*

Melalui Menko Polhukam Wiranto, pemerintah Indonesia berkehendak membubarkan Perkumpulan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Organisasi berbadan hukum yang telah sah sesuai Keputusan Menteri Hukum dan HAM No. AHU-00282.60.10.2014, tertanggal 02 Juli 2014, dinilai membahayakan eksistensi Pancasila dan NKRI. Sesuai Undang-undang No. 17/2013 tentang Ormas, pasal 68, Pemerintah memang memiliki wewenang mencabut status badan hukum suatu organisasi kemasyarakatan.

Tahapan sebagai tindak lanjut atas kebijakan politik itu akan dilakukan oleh  Kementerian Hukum dan HAM serta Kemendagri, dengan cara mengajukan upaya hukum untuk membubarkan HTI melalui Kejaksaan Agung. Kejaksaan Agung kemudian mengajukan gugatan ke pengadilan. Bila gugatan itu dikabulkan, maka Indonesia merupakan negara yang ke-19 di dunia, setelah gerakan partai pembebasan Hizbut Tahrir ini juga dilarang di Bangladesh, Mesir, Kazakhstan, Pakistan, Tajikistan, Kirgizstan, Malaysia, Suriah, Arab Saudi, Tunisia, Yordania, Turki, Tiongkok, Rusia, Prancis, Spanyol, Jerman, dan Negara Bagian New South Wales, Australia.

Secara hukum, dalam kedudukannya sebagai badan hukum, HTI sudah dapat disebut sebagai subyek hukum mandiri, atau disebut pula  sebagai rechtspersoon atau person in law, atau disebut juga sebagai artificial person. Dan, dalam kedudukannya sebagai subyek hukum, maka HTI  memiliki hak dan kewajiban sebagaimana layaknya orang pribadi. Pembubarannya hanya dapat dilakukan melalui pencabutan status badan hukum.

Khalayak sudah mahfum, pada saat ini HTI tengah menjadi sorotan publik. Dalam berbagai kesempatan, gerakan ini berulang kali menyerukan jargon politiknya, Khilafah Kewajiban Syar’i Jalan Kebangkitan Umat.

Pernyataan seperti itu menurut Wiranto, mengindikasikan HTI tidak melaksanakan peran positif dalam proses pembangunan guna mencapai tujuan nasional. Di samping itu, kegiatan yang dilaksanakan HTI terindikasi kuat telah bertentangan dengan tujuan, asas, dan ciri yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, serta nyata-nyata dapat membahayakan keutuhan NKRI.

Jurgen Haberman dalam teori politiknya merumuskan adanya tiga modus perubahan sosial yang bergerak secara bertahap. Dimulai dari lahirnya konflik, kemudian adanya upaya dialog, dan yang terakhir pembentukan badan. Pendapat ini menolak pola pikir lama yang dikembangkan Hegel. Menurut Hegel, Setiap tindak kejahatan adalah ekspresi keterasingan sebuah ikatan-ikatan sosial.

Menurut Saifur Rohman, dialog antara Habermas dan Hegel itu memberikan pelajaran bahwa radikalisme di tengah-tengah masyarakat bukan lagi sebuah pembangkangan terhadap norma sosial, tetapi telah menentukan arah perubahan sosial menuju tata nilai dunia baru. Maka, apabila arahnya adalah pembentukan tata nilai baru, kita tidak sedang membicarakan dua kemungkinan.

Pertama, adanya strategi utama yang melibatkan jutaan orang di dunia yang mengarah pada eksklusivisme sebuah budaya. Strategi ini dilakukan oleh kelompok dominan secara politik dan kultural dalam konteks global. Bagaimana pun, apa yang dikatakan sebagai hak asasi, universalisme, demokrasi, bahkan kebenaran itu sendiri harus dipahami dalam konteks lokal.  Ini adalah universalisme. Kedua, jika kemungkinan pertama keliru, pastilah kejadian-kejadian itu harus dilihat secara proporsional sebagai bagian dari kekejaman yang terjadi dalam perjalanan sejarah manusia  (Saifur Rohman, Kompas 2-8-2010).

Dari hasil penyelidikan Pusat Kajian Strategi Mabes TNI, Juli 2010, terungkap bahwa  HTI adalah bagian (cabang) dari organisasi HT yang lebih besar. HT itu sendiri didirikan oleh Syeikh Taqiyyuddin An-Nabhani, seorang ahli hukum Islam Palestina pada tahun 1953 dengan tujuan menghidupkan kembali kekhalifahan Islam. Hizb-ut-Tahrir dibentuk dengan tujuan kebangkitan Dunia Islam dari persepsi penurunan yang tengah berjalan saat ini, kepada pembebasan umat Islam dari pemikiran, sistem dan hukum-hukum orang kafir, dan restorasi khalifah.

Dalam sebuah tulisannya, Ketua PBNU KH. Said Aqil Siroj mengatakan, fakta sejarah keagamaan Nusantara berada pada suatu kontinum persilangan budaya. Wajah keagamaan di Indonesia menemui kematangannya justru karena telah bersalin rupa dalam paras Nusantara. Islam Nusantara adalah wujud kematangan dan kedewasaan universal. Secara empiris, ia terbukti bisa bertahan dalam sekian banyak bidaya non-Arab. Bahkan ia ikut menciptakan ruang-ruang kebudayaan yang sampai hari ini ikut dihuni oleh mereka yang non-Muslim sekalipun. Pandangan radikal melihat Islam Nusantara sebagai Islam yang menyeleweng dari doktrinernya –sesuatu yang juga menghinggapi peneliti Barat– seperti Clifford Geertz.

Masih menurut, Said Aqil Siroj, kematangan Islam Nusantara memungkinkannya menyumbang begitu banyak khazanah budaya karena dilandasi keyakinan keagamaan yang utuh. Timbullah apa yang disebut semangat keragaman (ruh al-ta’addudiyyah), semangat keagamaan (ruh al-taddayun), semangat nasionalisme (ruh al-wathoniyyah), dan semangat kemanusiaan (ruh al-insaniyyah). Hal inilah dalam sejarah panjang Nahdlatul Ulama menjadi garis kesadaran sejarah yang bisa dengan jelas dilihat dalam kiprah NKRI.

*Penulis adalah pengurus PERADI Malang, tinggal di Malang

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru