28.9 C
Jakarta

Membubarkan ACT, Memutus Mata Rantai Khilafahisme

Artikel Trending

Milenial IslamMembubarkan ACT, Memutus Mata Rantai Khilafahisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Mantan Presiden Aksi Cepat Tanggap (ACT), Ahyudin bolak-balik dipanggil polisi untuk penyelidikan kasus penyelewengan dana umat. Yang menarik sekaligus menjengkelkan adalah, ia sok jadi pahlawan penyelamat umat, yaitu ketika ada wacana membubarkan ACT, ia mengaku bersedia berkorban jadi tersangka asal ACT tak dibubarkan. Jadi setelah bertahun-tahun menilap harta umat untuk memperkaya diri sendiri, ia mencoba bertindak heroik. Ibarat maling yang setelah kepergok mencuri bilang bahwa itu demi ibunya. Palsu.

“Demi Allah ya, saya siap berkorban atau dikorbankan sekalipun asal semoga ACT sebagai lembaga kemanusiaan yang insya Allah lebih besar manfaatnya untuk masyarkat luas tetap bisa hadir, eksis, berkembang, dengan sebaik-baiknya,” kata Ahyudin usai pemeriksaan di lobi Bareskrim Polri, Selasa (12/7) kemarin, seperti dilansir Kompas.

Ada dua hal yang menarik di sini. Pertama, ihwal Ahyudin. Mengapa ia tiba-tiba berlagak pahlawan yang memikirkan dana untuk umat, padahal sebelumnya ia berfoya-foya di atas dana umat tersebut? Untuk meraih simpati dengan membaca peran ACT selama ini? Patutkah ia dipercaya kembali setelah selama ini, secara diam-diam, mengkhianati amanat umat dalam donasi kemanusiaan? Jika misal itu semua hanyalah kedok bela diri, apa ganjaran yang layak untuknya?

Kedua, wacana pembubaran ACT. Kendati surat izinnya telah dicabut, masih kontroversi apakah organisasi filantropi tersebut perlu dibubarkan atau dibiarkan. Koordinator Nasional Forum Solidaritas Kemanusiaan, Sudirman Said mengimbau agar ACT tak dibubarkan karena keberadaannya sangat penting. Sementara itu, Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad mengatakan bahwa nasib ACT bubar atau tidak itu menunggu hasil penyelidikan polisi.

Wacana pembubaran ACT ini terbilang alot. Banyak pihak ikut berkomentar. Ketua Komisi VIII DPR RI, Yandri Susanto mendesak ACT dibubarkan dan mendorong pembentukan Komisi Pengawasan Filantropi demi menjaga dana umat dan mengembalikan kepercayaan masyarakat. Usulan tersebut sangat politis dan justru menguntungkan DPR. Sementara itu, di sebelah, dipersoalkan mengapa ACT perlu dibubarkan padahal penyelewengan dana dilakukan oknum dan bukan lembaga ACT itu sendiri?

Mengapa Lembaganya yang Dibubarkan?

Di antara artikel tajam yang mempersoalkan wacana pembubaran ACT ialah tulisan Darmawan Sepriyossa di Republika berjudul “Ada Apa dengan ACT: Kok yang Dibunuh Pemerintah Lembaganya?”. Sang penulis, untuk diketahui, adalah eks-wartawan Republika yang beberapa tahun lalu terjerat kasus pencemaran nama baik Presiden Jokowi melalui tabloid Obor Rakyat. Jadi arah artikel tersebut mudah ditebak, pasti argumentasinya ialah untuk mempertahankan ACT.

Ini salah satu kutipan langsung artikel tersebut yang narasinya ialah menuduh pemerintah menyudutkan Islam dengan mengambinghitamkan ACT:

Sempat saya berpikir, mungkin cepatnya respons itu juga berkaitan erat dengan citra ACT yang lekat dengan umat Islam. Persoalannya, saya masih belum bisa memastikan apakah faktor kedekatan ACT dengan umat Islam itu lantas mendorong gerak cepat dengan tujuan penyelamatan umat, atau justru citra Islam itu yang membuat ACT harus segera ‘dibereskan’? Pasalnya, respons yang dilakukan pemerintah—dalam hal ini Kementerian Sosial (Kemsos) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)—sepanjang pemantauan saya di media sosial, tampaknya mengejutkan banyak kalangan umat Islam.

BACA JUGA  Ramadan dan Gerilya Radikalisasi, Bagaimana Menanganinya?

Pertanyaan mengapa lembaga ACT perlu dibubarkan sementara yang korupsi hanyalah orangnya pastilah lahir dari orang ACT itu sendiri. Untuk menjawab itu, dua alasan bisa disuguhkan. Pertama, koruptor tetaplah koruptor. Penyelewengan dana oleh petinggi ACT bukan hal baru, hanya saja baru terungkap setelah Ahyudin tidak menjabat sebagai Presiden ACT. Bertahun-tahun korupsi dan mengaku akan berhenti setelah boroknya terkuak? Mustahil. Itu pembelaan belaka. Nanti akan terulang lagi.

Kedua, memberantas ACT bukan sekadar tentang penyelamatan dana umat dalam filantropi yang akan datang, melainkan usaha memutus mata rantai khilafahisme. Semua orang tahu siapa di balik ACT, apa idelogi serta bagaimana agenda panjang mereka. Dengan membubarkan ACT, maka agenda terselubung tersebut otomatis terputus. Itu yang diharapkan. Jika ACT bubar, tak akan lagi ada penyokongan untuk terorisme di dunia: tak ada pelintiran konflik Suriah sebagai jihad dengan mendukung ISIS.

Khilafahisme tidak berasal dari satu organisasi, misalnya ISIS. Semangat menegakkan khilafah adalah prinsip keagamaan yang umum di kalangan Muslim transnasionalis—yang ACT include di dalamnya. ACT yang salama ini main mata untuk memfasilitasi sejumlah gerakan transnasionalisme, dengan demikian, mesti diberantas. Membubarkan ACT artinya memutus mata rantai khilafahisme. Namun, bagaimana solusi terkait pentingnya filantropi dalam Islam?

Solusi untuk Filantropi

Betul. Filantropi itu penting. Namun dengan membubarkan ACT, tidak berarti filantropi ditutup ruangnya. Justru ruangnya harus pindah ke yang tepat, tidak di dalam organisasi penilap dana umat dan atau organisasi yang sarat kepentingan ideologis. Di sini juga tidak hendak memberikan DPR peluang untuk menambah Komisi Pengawasan Filantropi seperti yang mereka usulkan. Tidak. Sejumlah pejabat di DPR juga banyak terjerat korupsi, sehingga usulan tersebut ibarat pindah dari lubang buaya satu ke lubang buaya lainnya.

Solusi yang tepat ialah memanfaatkan filantropi dari organisasi terpercaya. Misalnya, di Muhammadiyah ada LAZIS-MU dan di NU ada LAZIS-NU. Keduanya otoritatif, namun tidak maksimal karena selama ini filantropi umat tersalurkan ke filantropi yang tidak jelas seperti ACT dan kawan-kawannya. Ke depan, setelah ACT dibubarkan dan ilegal, donasi kemanusiaan tidak boleh salah sasaran. Sebab hanya di tangan yang tepatlah, sumbangan akan dikelola dengan profesional.

PR-nya adalah bagaimana menyadarkan umat untuk selektif dalam berdonasi. Para aktivis khilafah punya ratusan lembaga filantropi, baik dari kalangan HTI, Ikhwani, hingga Salafi-Wahhabi. Tetapi semua itu lebih banyak masuk ke kantong pribadi pengelolanya karena tidak ada audit dan donatur tidak mau tahu itu. Kebiasaan buruk dalam berdonasi semacam itu harus dihindari. Filantropi harus dikelola oleh organisasi profesional dengan pengelolaan yang mengedepankan transparansi.

Jangan sampai pentingnya filantropi dimanfaatkan untuk mengeksploitasi filantropi itu sendiri. ACT bukan satu-satunya lembaga filantropi, dan membubarkannya tidak berarti memutus filantropi Islam. Yang ada adalah justru menyelamatkan filantropi Islam dari tangan yang salah menuju tangan yang benar dan organisasi yang terpercaya. ACT itu siapa? Ia adalah kamuflase kelompok berspirit khilafah, sehingga membubarkannya adalah memutus mata rantai khilafahisme. Jelas.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru