30.4 C
Jakarta

Membongkar Surga Palsu dalam Janji-janji Kaum Radikal-Teror

Artikel Trending

KhazanahPerspektifMembongkar Surga Palsu dalam Janji-janji Kaum Radikal-Teror
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Radikalisme, seperti kilauan logam yang menggoda, menarik jiwa-jiwa muda yang masih dalam pencarian makna. Generasi yang lahir di era digital berada dalam paradoks: terkoneksi secara global, tetapi teralienasi di dunia nyata. Ketika teknologi melesat jauh, nilai-nilai kemanusiaan justru tertinggal di belakang.

Banyak anak muda yang berjuang menemukan tempat mereka di dunia. Namun, tidak sedikit yang terjebak dalam arus radikalisme. Bukan karena mereka lemah, tetapi karena mereka haus akan kepastian di tengah derasnya arus informasi yang disruptif. Kelompok radikal hadir dengan jawaban yang tampaknya mutlak: “Inilah jalan kebenaran.” Mereka menawarkan narasi yang memikat, lengkap dengan janji-janji kehidupan penuh makna dan tujuan.

Di titik itu, iman yang murni dirusak. Pemahaman agama yang seharusnya menjadi penuntun hidup berubah menjadi alat manipulasi. Ayat-ayat suci diambil keluar dari konteksnya, menyesatkan mereka yang ikhlas ingin takarub kepada Tuhan. Ironisnya, mereka tidak sadar bahwa jalan yang mereka pilih justru membawa mereka menjauh dari nilai-nilai hakiki Islam.

Radikalisme tidak saja menawarkan ideologi, tetapi juga menyediakan ruang yang memenuhi kebutuhan emosional. Rasa diterima, dihargai, dan dianggap penting adalah kebutuhan dasar setiap manusia, terutama bagi anak muda. Kelompok radikal memanfaatkan celah itu, menciptakan komunitas yang memberikan ilusi solidaritas dan kebersamaan.

Tetapi, solidaritas tersebut jebakan. Ia mengurung seseorang dalam lingkaran sempit pemikiran, menggantikan keberagaman dengan homogenitas, dan menukar empati dengan kebencian. Generasi muda yang tertarik tidak menyadari bahwa mereka sedang kehilangan sesuatu yang jauh lebih berharga: kebebasan untuk berpikir, bertanya, dan berkembang.

Media Sosial: Kompas Menyesatkan

Seperti dua sisi mata uang, media sosial bisa menjadi anugerah sekaligus bencana. Di satu sisi, ia membuka akses ke ilmu pengetahuan dan wawasan baru. Di sisi lainnya, ia menjadi lahan subur penyebaran radikalisme. Algoritma yang dirancang untuk meningkatkan keterlibatan justru menciptakan echo chamber yang memperkuat keyakinan sempit.

Bayangkan seorang anak muda yang sedang mencari makna spiritual di YouTube. Setelah menonton satu video ceramah provokatif, rekomendasi video berikutnya adalah ceramah serupa, hanya lebih ekstrem. Begitu seterusnya, hingga algoritma mengunci mereka dalam lingkaran konten radikal. Akhirnya, mereka percaya bahwa jalan itulah satu-satunya kebenaran.

Pertanyaannya, apakah benar radikalisme adalah solusi atas krisis identitas, ataukah ia hanya menawarkan jalan pintas yang berujung pada kehancuran? Anak muda perlu diberi kesempatan untuk mempertanyakan itu, untuk kembali pada inti ajaran Islam moderat.

Di era ini, media sosial adalah panggung utama kehidupan generasi muda. Mereka bisa menampilkan potret diri, merangkai mimpi, hingga mencari makna. Namun, di balik kemilaunya, media sosial juga menyimpan sisi gelap: ia adalah laboratorium tempat ideologi radikal dikembangbiakkan, lalu disebarkan secara masif.

BACA JUGA  Menelisik Islam di Mata Media Barat: Meretas Bias, Menyemai Harapan

Kelompok radikal paham betul cara bermain di arena daring. Mereka tidak sekadar berteriak lantang soal “kebenaran” tetapi juga menyajikannya dalam bentuk yang menggugah: video dengan narasi heroik, kutipan ayat yang bernuansa keras, hingga gambar yang membakar semangat. Setiap konten dirancang untuk menyentuh sisi emosional, membangkitkan rasa percaya diri yang sering hilang di tengah kegamangan anak muda.

Namun, media sosial tidak hanya mempermudah akses informasi. Algoritmanya menciptakan perangkap tersendiri. Seseorang yang tanpa sadar menyukai satu konten bernuansa radikal akan segera dibanjiri dengan konten serupa. Algoritma tidak peduli pada niat atau konsekuensi, hanya pada pola perilaku. Akibatnya, ruang eksplorasi menjadi sempit, pandangan menjadi bias, dan pemikiran kritis perlahan-lahan terkikis.

Jalan Menuju Surga Palsu

Bagi mereka yang telah terjebak, radikalisme tampak seperti jalan lurus menuju surga. Tetapi, benarkah demikian? Jika kita menengok ajaran Islam yang sejati, jalan menuju surga bukanlah sekadar langkah cepat yang dibalut semangat perjuangan, apalagi melalui kekerasan. Rasulullah bersabda, “Seorang Muslim adalah orang yang orang lain selamat dari gangguan lisan dan tangannya.” Dalam hadis ini, kita melihat esensi Islam yang sesungguhnya: kedamaian, kasih sayang, dan penghormatan terhadap hak hidup orang lain.

Radikalisme, di sisi lain, adalah kebalikan dari nilai-nilai tersebut. Ia menjadikan agama sebagai senjata, melukai bukan hanya individu, tetapi juga citra Islam secara keseluruhan. Islam yang seharusnya menjadi rahmat bagi semesta, diubah menjadi ajaran yang hanya melayani hasrat kelompok tertentu.

Menghadapi radikalisme adalah tugas bersama, dan benteng pertama harus dibangun di rumah. Sebuah keluarga yang hangat dan terbuka terhadap dialog adalah tameng paling efektif. Anak muda yang merasa didengar dan diterima di rumah mereka tidak akan mudah terjebak dalam narasi yang keliru.

Namun, benteng tersebut tak cukup. Pendidikan harus menjadi pilar utama. Bukan sekadar pendidikan formal, tetapi pendidikan yang mendorong pemikiran kritis dan pemahaman agama yang mendalam. Anak muda harus diajak untuk bertanya, berdiskusi, dan merenungkan nilai-nilai yang mereka anut. Di luar rumah dan sekolah, masyarakat juga harus berperan. Masing-masing tidak boleh diabaikan.

Generasi muda adalah harapan bangsa. Melindungi mereka dari pengaruh radikalisme berarti menjaga masa depan. Jalan menuju surga tidak pernah melalui cara yang melukai orang lain. Surga tidak bisa dicapai melalui kebencian. Generasi muda, dengan segala kegelisahan dan potensinya, harus terus diyakinkan bahwa Islam bukanlah senjata untuk melukai, apalagi demi surga yang palsu ala kaum radikal.

Iman Wahyudi
Iman Wahyudi
Peneliti dan Pengajar di MIN 3 Bantul Yogyakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru