27.7 C
Jakarta
spot_img

Membongkar Ideologi di Balik Bom Bunuh Diri: Mengapa Seseorang Rela Jadi Teroris?

Artikel Trending

KhazanahPerspektifMembongkar Ideologi di Balik Bom Bunuh Diri: Mengapa Seseorang Rela Jadi Teroris?
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Aksi bom bunuh diri (bundir) telah menjadi simbol ekstrem dari terorisme yang menyebar di berbagai belahan dunia. Dengan kemunculannya yang mencolok, bom bundir memunculkan pertanyaan; mengapa seseorang dengan sengaja memilih untuk menamatkan hidupnya dalam suatu aksi yang naif? Apa motivasi di balik keputusan seseorang untuk mengorbankan nyawa mereka demi sesuatu yang dipandang kekejian oleh banyak kalangan?

Pada pandangan awal, aksi bom bundir tampak sebagai tindakan yang tidak rasional, bahkan tidak manusiawi. Namun, jika kita menyelami lebih jauh, kita satu langkah lebih dekat memahami bahwa di balik setiap tindakan, terdapat ideologi yang sangat mendalam yang mendorong seseorang untuk melakukan pengorbanan semacam itu. Ini bukan sekadar permasalahan kebencian atau kekerasan, tetapi keyakinan yang sangat kuat terhadap suatu gagasan tertentu. Sebuah gagasan yang dipahami sebagai kebenaran absolut.

Trajektori Ideologi Radikal

Di balik praktik bom bundir, terdapat ideologi yang menyatukan tujuan dan kepercayaan yang mendorong seseorang mengorbankan dirinya. Salah satu ideologi yang diasosiasikan dengan praktik teror adalah ideologi ekstremis yang menganggap bahwa perjuangan melawan musuh—apakah itu musuh ideologis, politik, atau agama—merupakan perjuangan suci yang harus dimenangkan dengan segala cara. Jihad dijadikan landasan ideologi yang membenarkan penggunaan kekerasan sebagai sarana mencapai tujuan.

Bagi seseorang yang terpapar pemikiran radikal, terorisme dianggap kebenaran yang perlu diperjuangkan tanpa kompromi. Mereka diyakinkan, bahwa dengan mati dalam pertempuran atau melakukan aksi bom bundir, mereka akan mencapai martabat tertinggi dalam eksistensi mereka: menjadi syuhada, pahlawan di jalan Tuhan. Dalam pandangan mereka, itu merupakan pengorbanan yang dihargai dan diyakini akan mengantarkan mereka ke surga, sebuah janji yang sulit disangsikan.

Dalam proses ini, terdapat pengaruh signifikan dari pemikiran dan propaganda yang menyebarkan pandangan sempit dan ekstrem. Ideologi radikal yang dipromosikan oleh kelompok teroris sering kali mengemas narasi kebencian, ketidakadilan, dan penganiayaan yang seolah-olah dialami oleh kelompok mereka, sehingga menciptakan rasa solidaritas yang mendalam. Mereka dipersepsikan sebagai pejuang yang berjuang untuk tujuan yang lebih mulia daripada sekadar hidup itu sendiri.

Manipulasi Psikologis Para Teroris

Seseorang yang terlibat dalam aksi bom bundir berasal dari latar belakang sosial-psikologis rapuh. Banyak dari mereka merasakan keterasingan, baik oleh masyarakat, oleh negara, atau bahkan keluarga mereka sendiri. Perasaan terisolasi dan ketidakberdayaan jadi lahan subur penyebaran ideologi radikal. Ketika seseorang merasa hidupnya tidak berarti, pada saat itulah mereka menjadi lebih rentan untuk terpengaruh narasi yang memberi mereka optimisme.

Penyebaran ideologi teror disertai dengan manipulasi psikologis yang mendalam. Seseorang yang terpapar ideologi ekstremis dibentuk untuk melihat dunia dalam hitam-putih: kita versus mereka, yang benar versus yang salah. Musuh-musuh dilihat sebagai ancaman yang harus dihancurkan, dan satu-satunya jalan untuk mencapai keadilan adalah dengan mengorbankan diri mereka. Kemanusiaan bergeser untuk menjadi alat pembenaran.

BACA JUGA  Anak Muda, Game Online, dan Propaganda Radikal: Melawan Perang Baru di Dunia Maya

Bahkan dalam banyak kasus, mereka yang menjadi pelaku bom bundir diyakinkan bahwa mereka tidak hanya berperang untuk diri mereka sendiri, tetapi keluarga, kelompok, atau bahkan umat manusia. Ada kebanggaan yang muncul dari pemikiran bahwa mereka meneror untuk masa depan yang lebih baik bagi orang lain. Kematian bukan lagi sebuah kehilangan, tetapi langkah heroik yang akan membawa perubahan signifikan bagi dunia.

Kekosongan Eksistensial Pelaku Bom Bundir

Selain manipulasi ideologis-psikologis, faktor lain yang mendorong seseorang melakukan bom bundir adalah kekosongan eksistensial yang dirasakannya. Dalam dunia yang serba cepat ini, banyak orang merasa teralienasi dan terisolasi, tidak memiliki tempat atau tujuan yang jelas. Fenomena itu semakin nyata di kalangan pemuda marginal, baik dalam aspek sosial, ekonomi, maupun politik. Perasaan tidak berarti dalam hidup, serta ketidakmampuan menemukan tempat yang tepat di dunia, mendorong mereka untuk mencari tujuan hidup yang instan.

Ketika seseorang terperangkap dalam perasaan kosong, mereka berusaha mengisinya dengan sesuatu yang signifikan. Bom bundir menjadi jalan untuk menemukan makna hidup. Mereka yang terjebak dalam pemikiran radikal merasa bahwa melalui kematian, mereka akan menemukan tujuan yang lebih besar: untuk agama, bangsa, dan keluarga. Dalam keadaan terdesak, kematian mereka menjadi simbol kemenangan moral dan spiritual, sebuah solusi akhir yang lebih baik daripada hidup dalam kebingungan.

Setiap aksi bom bundir juga dibungkus dengan narasi keadilan yang salah kaprah. Para teroris melihat diri mereka sebagai korban ketidakadilan dunia. Dalam banyak hal, mereka diyakinkan bahwa hidup mereka tidak berharga atau telah dirampas oleh kekuatan yang lebih besar—entah itu negara, sistem sosial, atau bahkan perbedaan ideologi. Karena itu, bom bundir bukan sekadar bentuk balas dendam, tetapi juga upaya untuk membalas ketidakadilan yang mereka rasakan.

Mereka yang mati dalam aksi teror dianggap pejuang yang mengorbankan diri demi keadilan, meskipun keadilan tersebut hanya berlaku dalam kerangka pemahaman yang sangat sempit dan ekstrem. Mereka dipandang sebagai pahlawan, bukan korban, dan kematian mereka dianggap kemenangan moral melawan penindasan. Apa yang mereka sebut sebagai “keadilan” justru merupakan tindakan yang berpotensi menghancurkan banyak nyawa tak bersalah serta merusak kedamaian sosial.

Shofwania Trihastuti
Shofwania Trihastuti
Mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta. Santri Pondok Pesantren Ali Maksum Krapyak, saat ini sedang mengabdi di Pondok Pesantren Bangunjiwo, Kasihan, Bantul, Yogyakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru