Harakatuna.com – Berbagai persoalan seakan-akan tidak ada hentinya menghinggapi negara ini. Hari demi hari, bisa kita lihat bersama bagaimana kondisi negara ini dengan beragam persoalannya, mulai sektor ekonomi, pendidikan, budaya, kesehatan, hukum, hingga tindak pidana korupsi yang semakin merajalela. Belum lagi berbicara kebijakan pemerintah yang lahir dari kesewenang-wenangan, penindasan, dan yang lainnya.
Apa yang terjadi, tagar #IndonesiaGelap dan aksi demo besar-besaran oleh kalangan aktivis dan mahasiswa terjadi di mana-mana. Semuanya turun ke jalan untuk memberikan sejumlah kritik beserta aspirasinya bagi pemerintah demi tercapainya perubahan yang jauh lebih baik. Aksi ini menunjukkan betapa sebetulnya masyarakat peduli terhadap kondisi negara Indonesia dan turut andil untuk mewujudkan tatanan negara dan demokrasi yang sebenarnya.
Namun di balik alasan semua itu, selalu ada saja kelompok yang menganggap kondisi Indonesia hari ini di luar yang sebenarnya terjadi. Kelompok ini tidak lain adalah aktivis khilafah dengan segala khayalannya. Kelompok ini akan selalu melihat semua persoalan yang terjadi di Indonesia sebagai kesalahan sistem pemerintahan sekuler yang dianutnya. Akibatnya, kelompok ini tidak akan pernah objektif dan selamanya akan tersandera oleh sesat pikirnya memahami khilafah.
Salah satu website aktivis khilafah, Muslimah News, merilis artikel tanpa menampilkan nama penulisnya, berjudul “Jurus Mabuk” Efisiensi Anggaran, Lagi-Lagi Rakyat yang Jadi Korban (19/2) dan Indonesia Gelap, Terangi dengan Dakwah Islam (25/2). Dua artikel ini layak dibedah untuk melihat kesalahan aktivis khilafah memahami kondisi negara Indonesia hari ini. Secara umum, dua artikel ini menyorot buruknya sistem demokrasi dengan watak kepemimpinannya yang sekuler dan menekankan hanya kepemimpinan Islam (syariat Islam) yang menjadi jalan keluar satu-satunya.
“Segala yang terjadi saat ini sejatinya makin menegaskan soal buruknya watak sistem kepemimpinan sekuler kapitalistik yang dipertahankan dari rezim ke rezim. Alih-alih mengurus rakyat dan menyolusi problem masyarakat dengan solusi tuntas yang menyejahterakan, para penguasa malah kerap sibuk melanggengkan kursi kekuasaan.”
“Sesuai namanya, sistem kepemimpinan sekuler kapitalisme memang tidak mengenal aturan agama, termasuk soal amanah dan tanggung jawab besar yang dikaitkan dengan pertanggungjawaban di kekekalan kelak. Sistem ini menempatkan negara atau kekuasaan hanya sebagai alat meraih kepentingan, terutama kepentingan segelintir orang dari kalangan para pemilik kapital.”
Mispersepsi dan Cacat Pandang Aktivis Khilafah
Di tengah gelombang persoalan yang mencekam negara ini, sangat tidak masuk akal rasanya jika harus menyalahkan sistem pemerintahannya hingga seakan mempertanyakan peran agama sebagaimana kritik yang diuraikan aktivis khilafah di atas. Padahal jika dilihat secara objektif, segala persoalan yang dihadapi negara ini—korupsi dan kasus lainnya misalnya—bukanlah kesalahan sistem pemerintahannya, tetapi lebih pada tidak adanya kesadaran nilai pada sebagian pemegang kekuasaan.
Tidak adanya kesadaran ini menandakan betapa pemerintah kita yang bermasalah belum benar-benar memahami nilai-nilai yang menjadi dasar dan cita-cita negara ini, apalagi melakukan internalisasi nilai itu ke dalam penghayatan sehingga kemudian diejawantahkan dalam perilaku yang disertai komitmen dan tanggung jawab. Sayangnya, para pejabat kita masih minus dalam hal tersebut.
Lantas, benarkah sistem kepemimpinan seperti ini tidak mengenal aturan agama? Nyatanya, semua pejabat kita yang bermasalah bisa dipastikan semuanya beragama. Mereka bukan tidak tahu bahwa agama melarang dirinya untuk berbuat zalim dalam bentuk apap un, apalagi untuk perbuatan yang jelas merugikan negara dan orang banyak. Mereka bukan tidak paham bahwa kezaliman yang diperbuatnya akan dimintai pertanggungjawabannya kelak di akhirat.
Fenomena di atas dalam bahasa KH. Salahuddin Wahid (2016) disebut sebagai religio tanpa religiositas, spiritual tanpa spiritualitas. Fenomena di mana agama sekadar berlaku pada ranah status dan simbolik semata, tapi tidak menyentuh ranah substansi dan pengejawantahan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari. Fenomena inilah yang banyak ditemukan di sebagian pejabat pemerintah yang bermasalah hari-hari ini.
Tentu ini bukanlah fakta kemarin sore, di mana posisi agama di mata manusia seakan masih tampak abu-abu. Sejauh kita merawat ingatan, barangkali belum ada yang lupa tindak pidana korupsi yang terjadi di jajaran Kementerian Agama beberapa tahun lalu. Tak segan, dana pengadaan kitab suci Al-Qur’an sekalipun, dikorupsi oleh kalangan yang kita anggap paham agama. Apakah fenomena ini adalah bentuk kesalahan negara dan agama? Tentu tidak. Kesalahan dalam orientasi bernegara dan beragama? Sudah pasti iya.
Atas dasar itu, argumen dan kritik yang dilayangkan aktivis khilafah salah dalam melihat persoalan negara ini sebagai kesalahan sistem pemerintahan demokrasi. Aktivis khilafah tidak bisa melihat persoalan secara objektif jika yang ditilik justru aspek sistem ketatanegaraan yang sebetulnya masih sejalan dan senafas dengan Islam. Bukankah yang seharusnya disalahkan adalah para pejabat yang bermasalah, bukan pada sistem tata negaranya?
Pancasila, Islam, dan Perumusan Dasar Negara
Pada hakikatnya, tidak ada alasan kuat dan mendasar di balik ambisi besar aktivis khilafah dalam penegakan syariat dan mendirikan negara Islam. Hal ini bisa dibuktikan dari kesalahan memahami dalil khilafah, misalnya, sebagaimana disinggung karib saya, Ghufronullah, dalam tulisannya beberapa waktu lalu. Namun yang pasti, ada satu hal yang perlu kita semua tahu bahwa aktivis khilafah adalah kelompok yang sebetulnya tidak paham sejarah dinamika bangsa dan negara ini.
Penting diketahui, bahwa fenomena kelompok Islam yang bersikukuh ingin menjadikan Islam sebagai dasar negara telah bermula sejak perumusan dasar negara ini dibuat pada tahun 1945, tepatnya ketika sidang BPUPKI diselenggarakan. Tokoh-tokoh Islam yang terlibat dalam sidang kala itu berdebat dengan tokoh-tokoh nasionalis untuk mengupayakan agar Islam menjadi dasar negara.
Usaha ini dilakukan karena melihat sikap Bung Karno pada akhir 1920-an yang banyak mengemukakan pikirannya tentang Islam. Bahkan, BK sering memuji kepemimpinan Kemal Ataturk yang oleh tokoh Islam kala itu dianggap menghambat dakwah dan anti Islam. Karena itu, para tokoh Islam menganggap BK ingin menjadikan Indonesia negara sekuler seperti Turki. Para tokoh Islam menganggap Pancasila yang digagas BK juga berorientasi sekuler yang anti agama, terlebih ketika Pancasila yang diajukan BK dalam “Pidato 1 Juni 1945” menempatkan ketuhanan pada sila kelima.
Singkat cerita, usaha tersebut tidak membuahkan hasil dan pada 18 Agustus 1945 diresmikan UUD 1945 yang mengambil dasar negara Pancasila dengan sila pertamanya yang mengalami revisi menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Selain itu, berdirinya Kementerian Agama pada Januari 1946 juga cukup meyakinkan tokoh-tokoh Islam kala itu bahwa Pancasila tidak sekuler dan sejalan dengan nilai-nilai Islam.
Hingga pada akhirnya, keraguan terhadap nilai dasar negara ini yang masih lama mengganjal di antara banyak kalangan Islam menemukan jawabannya. Di mana kala itu saat pemerintah mengharuskan ormas dan orpol menggunakan Pancasila sebagai asas, PBNU membentuk kajian hubungan Pancasila dengan Islam. Munas Ulama NU pada 1983 menerima dokumen Hubungan Islam dan Pancasila yang diperkuat dengan keputusan Muktamar NU 1984, yang intinya menerima Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Langkah ini lalu diikuti oleh hampir semua ormas Islam lainnya, kecuali kelompok yang masih tersandera oleh pemahamannya tentang khilafah.
Indonesia Hari Ini: Perpaduan Keindonesiaan dan Keislaman
Sampai di sini, kita sepakat bahwa sebanyak apa pun amuk gelombang persoalan yang dihadapi negara ini, solusi untuk mendirikan negara Islam berbasis penerepan syariat adalah sesuatu yang konyol. Di samping itu menandakan ketidakakuratan mengidentifikasi masalah, juga tidak ada jaminan sebetulnya Khilafah Islamiyah akan mampu secara langsung mewujudkan tatanan negara dan birokrasi pemerintah dengan baik.
Karena pada dasarnya, argumen yang dibangun dalam cita-cita penerapan syariat juga secara otomatis terpatahkan ketika dihadapkan pada fakta lapangan. Di mana dalam konteks Indonesia, penerapan dan ketentuan syariat Islam telah terealisasikan dalam bentuk UU. Lihatlah pada 1974 lahirlah UU Perkawinan yang menjadi UU pertama yang memuat dan memberi kesempatan diterimanya ketentuan syariat Islam ke dalam sistem hukum nasional negara ini.
Dengan berlakunya UU Perkawinan tersebut, hampir semua tokoh Islam kala itu menyadari bahwa tanpa Islam menjadi dasar negara pun, syariat Islam bisa direalisasikan dalam bentuk UU resmi dan diakui. Setelah UU Perkawinan, lahirlah UU Peradilan Agama pada 1989. UU tersebut bahkan dilengkapi dengan Inpres pada 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
Menyusul kemudian UU yang lainnya, seperti Perbankan Syariah, Zakat, Haji, Wakaf, hingga UU Jaminan Produk Halal yang bisa dipastikan semuanya menjadi muara penerapan dan ketentuan syariat Islam.
Bukankah UU ini merupakan manifestasi konkret betapa Islam menjadi entitas atau ajaran agama yang tidak bisa dipisahkan dari Indonesia? Inilah realitas negara Indonesia, negara yang tidak ada hentinya dikatakan sebagai negara yang sekuler dan zalim oleh aktivis-aktivis khilafah.