31.8 C
Jakarta

Memberantas Radikalisme ala Pesantren

Artikel Trending

KhazanahOpiniMemberantas Radikalisme ala Pesantren
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Membaca beberapa tulisan tentang radikalisme dan pesantren dari beberapa platfrom media sepertinya masih belum ada makna radikalisme yang berakar dari “radikal”, yang menjadi titik temu yang pas antara kalangan akademisi pesantren dengan akademisi perguruan tinggi—mungkin ada yang pernah mondok juga. Terbukti dengan beberapa tulisan yang menuduh pesantren mengajarkan paham radikal kepada para santri, semisal tulisan yang ditulis saudara Khalilullah Rabu (13/1) lalu yang diterbitkan Harakatuna dengan judul “Pesantren dan Radikalisme: Catatan Kritis Untuk Kita Semua”.

Ia menyebutkan pesantren adalah institusi yang mudah dirasuki oleh paham radikal, terlebih mereka yang santrinya memiliki kepatuhan tinggi terhadap ustaz dan kiai. Kerena santri seperti itu akan menganggap setiap yang disampaikan oleh kiai dan ustaz sebagai kebenaran mutlak. Ia juga menyebutkan bahaya fanatisme adalah ketika kiai dan ustaz terjebak propaganda radikalisme akan menggiring santri ke paham tersebut.

Kesimpulan-kesimpulan semacam itu merupakan paham tanpa dasar sebab kepatuhan terhadap guru merupakan adab yang telah diajarkan oleh para ulama salaf dan terus mengakar dalam tradisi kepesantrenan. Anggapan kiai dan ustaz terpapar propaganda radikalisme adalah bentuk anggapan bahwa keduanya adalah bagian dari manusia awam tanpa dasar keilmuan yang kokoh.

Padahal, dalam catatan sejarah, pesantren telah memulai pemberantasan radikalisme sejak awal Islam tumbuh di Nusantara. Banyak cerita tentang tokoh pesantren yang berhasil membuat kawanan perampok dan preman yang berbuat ekstrim dan radikal di tengah-tengah masyarakat insaf dan berhenti dari keonaran yang dibuatnya bahkan tidak sedikit dari mereka menjadi santri dan ikut serta menyebarkan Islam yang damai.

Syeh Siti Jenar dan Sunan Kalijaga contohnya. Lantas kenapa sekarang ada yang mempertanyakan pesantren, tentang peran dan materi yang diberikan kepada santri? Apakah sudah kontra-radikal atau tidak?. Bahkan ada yang berani menuduh pesantren biang dari paham radikal.

Jawabannya karena tentu belum ada titik temu antara akademisi pesantren dan mereka yang bertanya dan menuduh. Kebanyakan dari mereka meminta akademisi pesantren untuk berpikir terbuka dan objektif, dan untuk dapat berpikir pesantren akademisi pesantren diharuskan melepaskan diri terlebih dahulu dari Islam dan pesantren. Khususnya ketika berbicara tentang radikalisme. Permintaan semacam ini sering diungkapkan sahabat-sahabat dari akademisi perguruan tinggi Islam. Permintaan ini mirip dengan saran Dr. David Tomas kepada Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi ketika ia sedang menulis tesis di Birmingham.

BACA JUGA  Mengaktualisasi Idulfitri dalam Konteks Persatuan dan Kesatuan

Dr. Hamid menjawab saran itu pada pertemuan berikutnya dengan jawaban “If I get out of Islamic framework I will be, epistemologically, not Muslim”. Singkatnya pemisahan antara objek dan subjek secara paksa merupakan cara pandang yang dikotomis, agar dapat berpikir objektif harus melepaskan Islam dan pesantren. Sedangkan mereka sendiri tidak memisahkan dirinya dari jati diri mereka. Banyak akademisi yang kebingungan bahkan tersesat karena salah dalam memilih framework atau metode (manhaj) berpikir.

Metode berpikir dalam Islam pertama-tama berkaitan dengan proses mencari, mencerna dan mengamalkan ilmu. Kualitas ilmu, bagaimana dan di mana sumber ilmu didapat, bagaimana penalaran yang betul dan apa manfaat yang jelas dari ilmu adalah sebagian dari framework dalam tradisi keilmuan Islam. Ilmu adalah cahaya yang haqq, seperti kata Waqi’ kepada muridnya, Imam Syafi’i. Sehingga haruslah ahli zikir dan irama zikir harus sejalan dengan kerja pikir.

Karena cahaya itu dari Tuhan, maka alam pikiran manusia Muslim merupakan refleksi ilmu Ilahi. Alam pikiran Muslim membentuk miniatur alam semesta yang terstruktur—microcosmos.

Terakhir mari kita memulai membangun kesepahaman dengan memperbanyak dialog dan diskusi sebagaimana diajarkan oleh Nabi dan para ulama terdahulu, kita cari titik temu yang pas akan makna radikalisme.

Sementara ini menurut pemahaman penulis sebagai akademisi yang murni lahir dari pesantren, memahami bahwa radikalisme adalah paham yang kelewat batas baik dalam berpikir, berbicara dan bertindak sebagaimana makna akar katanya radikal yang berarri mengakar. Sehingga yang disebut radikal menurut penulis adalah Muslim yang melewati batas baik batas-batas norma hukum Islam, adat dan hukum negara. Jika tetap tidak menemukan titik temu maka sudah selaiknya saling menghormati sebagaimana telah diajarkan oleh para cendekiawan Muslim terdahulu semisal Imam Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal. Wallahu A’lam bi as-Shawab.

Muhammad Izul Ridho
Muhammad Izul Ridho
Alumni Pascasarjana UIN Khas Jember, Pengajar di PP. Mahfilud Duror II Suger Kidul Jember.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru