26.8 C
Jakarta
Array

Membedah Dakwah Kiai Kampung dan Dakwah Ustadz-Ustadz Populer

Artikel Trending

Membedah Dakwah Kiai Kampung dan Dakwah Ustadz-Ustadz Populer
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Abah saya adalah seorang Kiai kampung orang-orang kerap memanggilnya dengan panggilan Apa Harun. Beliau tak punya nama panjang hanya memakai nama tunggal (mononim). Harun adalah nama dari salah satu Nabi dan rasul (utusan) Allah SWT yg diberi tugas untuk berdakwah mengajak Fira’un dan pengikutnya agar beriman kepada Allah SWT bersama saudaranya yaitu Nabi Musa As.

Mungkin ayah abah saya (Alm.H. Mista) allahumagfirlahu memberi nama Harun agar kelak anaknya bisa mengikuti jejak-jejak dakwah Nabi Harun As. Disamping itu Nabi Muhamad SAW dalam haditsnya menganjurkan kepada umatnya untuk memberi nama anaknya dengan nama-nama para Nabi dan orang-orang sholeh.

Terlepas dari itu, sehari-harinya abah saya menghabiskan waktu dengan mengajar santri di pondok pesantren kecil miliknya sampai melayani warga dengan hajat yg bermacam-macam. Mulai dari diminta untuk memimpin doa dalam acara tasyakuran, tahlilan ataupun mengisi ceramah di setiap acara undanganya.

Abah saya jauh dari media, baik koran, media sosial, apalagi televisi yg syarat akan pecitraan. Pesantren kecilnya pun berada di daerah perdalaman Kabupaten Bogor yang sangat jauh dari hiruk-pikuk perkotaan dan “pusat peradaban”.  Meski begitu, beliau memiliki kearifan yg kadang tak dimiliki para aktivis dakwah sekarang.

Suatu ketika, abah saya diminta untuk mengisi ceramah dalam acara al-walimatu al-ursy (pernikahan) salah satu alumninya. Kebetulan saya ikut mengantar beliau untuk menghadiri acara dengan ditemani oleh salah satu santrinya yang menjadi pengurus di pesantren. Saya dan orang-orang yang menghadiri acara sepertinya sangat menikmati materi ceramah yg abah sampaikan. Sejuk dan teduh sekali. Abah sukses membuat orang-orang yg hadir terhanyut dalam setip nasihat-nasihatnya.

Walaupun abah tak banyak mengerti tentang konsep dakwah, memang beliau setiap ceramah tak pernah memperhatikan konsep. Menurutnya, konsep kadang tak terpakai saat beliau sudah di atas mimbar/panggung. Beliau hanya menggunakan “kitab-kuning” sebagai pegangan materi ceramahnya. Walaupun level ‘Kiai’ beliau selalu menjaga tradisi kesantriannya. Inilah yg saya suka dari abah, it so calssic.

Kitab yg digunakan oleh abah saat ceramah dalam acara pernikahan alumninya ialah ‘uqudulujain’ kitab fiqih pernikahan karangan Imam Nawawi (Banten) yg dulu pernah saya kaji saat di pesantren.

Cukup dengan pegangan kitab kecil itu abah dengan jelas membahas konsep bagaimana membangun rumah tangga yg baik.

Jika ditelisik lebih dalam cara beliau berceramah dengan memakai kitab-kitab klasik mempunyai implikasi penting terhadap pondok pesantren. Secara tidak langsung beliau sedang mengajak para hadirin untuk memperhatikan pondok pesantren dan memasukan anak-anaknya untuk mengenyam pendidikan agama di pesantren. Abah sadar betul urusan agama tak cukup hanya di dapat dari pendidikan formal seperti sekolah-sekolah umum.

Beliau juga seorang manusia yg serakah terhadap ilmu. Saat muda beliau adalah pengembara Ilmu yg gigih dengan berpindah-pindah pesantren. Koleksi dalil Alquran maupun hadits pun cukup banyak untuk di cekokan kepada Jama’ah. Namun hal itu tak beliau lakukan, ia cukup menyampaikan beberapa potong dalil saja.

Selebihnya ia menyampaikan isi cermahnya dengan bahasa kaumnya, bahasa masyarakat Sunda yg lekat dengan syair, dongeng, cerita legenda, dan humor-humor yg tak jarang membuat ketawa. Beliau mampu masuk kedalam jiwa-jiwa jama’ahnya menyelami kesehariannya, masalahnya, pengalaman dan kebutuhan rillnya, tidak melangit. Disitulah terbangun suasana pengajian yg kohesif.

Dakwah Abah saya sebagai Kiai kampung ini kontras sekali dengan beberapa pendakwah generasi muda yang akhir-akhir ini marak disetiap kanal-kanal media. Abah saya tak memiliki kanal youtube jangankan akun sosial media, handphone saja tidak punya! Dengan berbekal terjemahan al-quran versi Depag atau terjemahan hadits yang dijual di toko-toko, mereka mengguyur panggung dengan hujan dalil yang memusingkan.

Tak sedikit yang ceramah dengan emosi tak terkendali, sambil marah sana-sini. Mencaci dan menyesatkan sesama muslim maupun non-muslim dengan segala jenis bahasa hewan diucapkan. Seketika panggung menjadi wahana peluapan emosi. Yang aneh jama’ahnya sama sekali tak pernah risih. Mereka menyambutnya dengan semangat, terkadang sekali-kali mengucapkan kalimat suci.

Coba dimana letak kewajarannya? Jika aktivitas dakwah dibiarkan seperti itu, kapan umat akan belajar mengurusi akhlaknya? Bukan kah Nabi Muhamad diutus tak lain dan tak bukan hanya untuk mengurus akhlak umat? lalu dengan model dakwah seperti itu, para pendakwah baru tersebut menganggap dirinya sebagai pewaris Nabi (warasatul anbiya). Hmmmmmmm, aduh gusti!

Adakah dampak dari pergeseran dakwah sekarang bagi corak pemahaman Keagamaan di Indonesia? banyak sekali dampak yang sekarang mulai dirasakan oleh demokratisasi dan individualisasi arus informasi keIslaman melalui teknologi informasi yang menjadi media dakwah para penceramah generasi baru ini. Saya hanya akan menunjukan dua pokok saja.

Pertama, generasi muda Islam sekarang semakin konservatif dalam pemahaman keagamaannya. Gejala ini dikhawatirkan masuk kedalam jaringan radikalisasi dalam Agama. Pendakwah-pendakwah generasi baru ini banyak diantaranya yang tidak berlatar belakang pendidikan Agama.

Yang saya temukan, bahkan banyak dari kalangan artist yang alih profesi menjadi seorang pendakwah lengkap dengan segala simbol religiusnya. Atau seorang mualaf yang baru masuk Islam meniti karir sebagai pendakwah dengan menjelek-jelekan bekas agamanya.

Kemudian Asef Bayyat cedikiawan yang sekarang mengajar di University of Illinois Urbana-Champagne, hal demikian disebut dengan fenomena “dakwah populer”. Bayat menerangkan Jika selama berabad-abad sebelumnya para pendakwah dan ulama terdahulu mencapai kewenangan dan wibawa mereka dengan mengabdikan hidupnya bertahun-tahun untuk mengaji secara mendalam.

Sedangkan pendakwah generasi baru sekarang yang merupakan figur-figur religuis mentereng malah tidak dihasilkan oleh pendidikan keagamaan formal yang berlangsung selama bertahun-tahun. Kebanyakan mereka tak berlatar belakang pendidikan Agama.

Modal utama mereka adalah kemampuan komunikasi yang hebat, keunggulan berbicara di depan umum dan kemampuan penggunaan media baru. Di mata pendengar mereka pendakwah baru ini memiliki penampilan bak bintang rock.

Mereka menggunakan trend-trend terbaru sebagai media dakwahnya, mereka memuaskan kebutuhan muslim generasi baru terutama masyarakat kelas menengah perkotaan yang telah belajar mengambil jalan instant dalam mencari ilmu atau sedang belajar menjadi murid-murid yang patuh (Ariel Heryanto: 2017).

Dengan dampak dari fenomena “Dakwah populer” ini, Saya saksikan sendiri saat menemukan beberapa orang yang dengan gagahnya menampilkan foto profil sosial media dengan pedang dikedua tangannya, lengkap dengan simbol-simbol keagamaan sambil mengajak-ngajak untuk jihad. Dan yang ironis adalah saat orang-orang tersebut menganggap bahwa hal tersebut adalah jalan menuju dakwah.

Tak pernah terbayangkan jika hal ini terus dibiarkan dakwah apa yang akan djalankan oleh mereka untuk menegakan agama Islam. Sangat ‘horor’ membayangkannya.

Kedua, Pimpinan-pimpinan otoritas keagamaan (Pesantren, Lembaga Keagamaan Islam) yang menempuh jalur-jalur dakwah tradisional selama bertahu-tahun ini terancam integritasnya sebagai penjaga marwah agama dan kredibelitasnya sebagai pengayom masyarakat akan begitu saja lebur luntur oleh ulah-ulah pendakwah yang hanya bermodalkan terjemahan dan pengetahuan Agama dangkal.

Oleh karena itu, KH. Muhtadi Dimyati (Abuya Muhtadi) salah seorang ulama khos asal padeglang, Banten. Dalam kesempatan ceramahnya selalu mengingatkan agar terus waspada terhadap pendakwah-pendakwah generasi baru ini dan melarang masuk dalam lingkungan pondok pesantren. Karena dikhawatirkan para santri ikut terpengaruhi oleh pemahaman keagamaan seperti demikian. karena para santri adalah paku yang akan menyelamatkan keutuhan dan ketrentraman negeri yang terkenal memiliki budi pekerti yang luhur sekali.

Pembaca yang budiman. Jika aset bangsa kita yang sudah diajarkan para pendakwah atau ulama-ulama terdahulu kita tak mau luntur begitu saja dalam budaya interaksi sosial di Indonesia dan tak mau digantikan oleh ajaran moralitas keagamaan yang diajarkan oleh pendakwah-pendakwah generasi baru sekarang ini. Jangan diam! mari kita bergerak melawan pemahaman agama yg merusak ini. Jangan sampai gerakan dan pemahaman keagamaan mereka masuk kedalam lingkungan pondok pesantren dan mempengaruhi anak, saudara, keluarga dan kerabat kita. Wallahu’alam bi showab.

Oleh: Muhamad Reza Fahlevi, Mahasiswa Semester Akhir Jurusan Komunikasi

Penyiaran Islam UIN SGD Bandung.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru