31.4 C
Jakarta
Array

Membebaskan Bangsa Melalui Pemikiran Farid Esack

Artikel Trending

Membebaskan Bangsa Melalui Pemikiran Farid Esack
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Sebagai Negara dengan kekayaan suku, ras budaya dan agama, Indonesia memiliki satu tanggung jawab besar yakni mempertahankan keutuhan, persatuan dan kesatuan bangsanya. Salah satunya dengan menciptakan kerukunan umat beragama sebagai modal dasar bagi terciptanya stabilitas bangsa dan Negara.

Hal tersebut dapat tercipta apabila masyarakat beragama hidup berdasarkan prinsip toleransi, saling menghormati, menghargai kesetaraan serta saling kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Upaya untuk menciptakan dan memelihara kerukunan umat beragama bukanlah semata-mata menjadi tanggung jawab pemerintah saja tetapi juga menjadi tanggung jawab masing-masing individu umat beragama itu sendiri. Dalam tradisi pemikiran Islam kontemporer, hadir seorang tokoh yang menawarkan sebuah gagasan tentang pembebasan dan kerukunan. Ia adalah Farid Esack. Seorang wargan Negara Afrika Selatan yang menjadi figur penting dalam pengguliran rezim apherteid di Afrika Selatan.

Semangat perjuangannya terinspirasi dari kisah Nabi Muhammad saw melawan ketidakadilan yang membudaya di kalangan kaum Quraisy yang terdokumentasikan dalam Al Quran. Bagi Esack Al Quran adalah teks pembebasan yang paling tepat untuk mengahadapi realitias yang ada di Afrika Selatan pada saat itu.

Asumsi yang dibangun oleh Farid Esack adalah asumsi ‘pluralitas’, yaitu bahwa pemahaman dan penafsiran setiap orang bersifat plural. Hal ini karena dalam segala aspek kehidupannya manusia bersifat plural. Dari penggalian gagasan hermeneutika kerukunan yang dibangun Farid Esack, paling tidak ada empat tujuan pokok gagasan yang yang ia tawarkan yaitu:

Pertama, Farid Esack bermaksud menunjukkan kemungkinan yang besar untuk hidup dalam keimanan pada Al Quran sekaligus hidup bersama-sama dalam perbedaan agama. Kedua, mengedepankan gagasan hermeneutikanya bagi pengembangan pluralisme teologi dalam Islam. Ketiga, Esack mengajak kita untuk mengkaji ulang bagaiman Al Quran mendefinisikan “golongan kita” dan “golongan mereka” untuk dapat memberi ruang kebenaran dan keadilan bagi orang lain demi terciptanya kerukunan. Keempat, menggali hubungan antara eklusivisme keagamaan dan konservatisme politik.

Berdasarkan asumsi dasar tersebut, dapat dikatakan bahwa konflik dan berbagai pertikaian yang berujung perpecahan belakangan ini merupakan sesuatu yang naif. Setiap orang ingin dianggap agama atau kelompoknyalah yang paling benar, sementara yang lain yang berbeda dengannya dianggap salah, dan karenanya harus dipaksa untuk menerima kebenarannya. Jika sikap seperti ini terus dipelihara oleh bangsa kita, maka dapat dipastikan akan selalu terjadi benturan hingga berujung perpecahan bagi Negara kita.

Sejatinya, apa yang ingin disampaikan Farid Esack melalui gagasan hermeneutika pembebasan miliknya adalah untuk memperlihatkan bahwa Al Quran tidak mencegah kaum muslim untuk bekerja sama dengan orang lain demi menegakkan keadilan. Menurutnya Al Quran sangat mendukung pluralitas dan kebebasan. Ia juga ingin memperlihatkan bahwa Al Quran dan teladan Nabi mendukung kerjasama dan solidaritas antar iman untuk persatuan.

Pluralitas agama, suku dan golongan adalah sunnatullah sebagaimana terdokumentasikan dalam QS al-Hujurat: 13. Pluralisme agama menurut Esack bukan sekedar toleransi saja, tapi lebih dari itu adalah pengakuan dan penerimaan atas keberadaan dan keberagaman, baik di antara sesama maupun pada penganut agama lain, ia juga mengakui dan menerima apa pun yang ada dalam diri setiap manusia. Untuk itu sebagai warga Negara sekaligus umat beragama sudah seyogyanya kita menciptakan kerukunan hidup yang dilingkupi atmosphere toleransi.

Melihat fenomena yang belakangan terjadi, Indonesia sedang mengalami tingkat sensitifitas tinggi. Pertikaian dan saling serang banyak kita jumpai khususnya di dunia maya. Dua kelompok saling menyerang kemudian diadu domba oleh kelompok lain. Padahal adanya perbedaan pendapat, ide, aspirasi serta pilihan adalah sesuatu yang lumrah yang justru dapat memperkaya gagasan yang dapat dikembangkan kearah kemajuan. Hal-hal tersebut adalah sumber inspirasi dan wujud kekayaan bangsa kita. Maka semestinya kita mengelola kekayan tersebut dengan baik agar tidak membawa kita kepada hal-hal negatif seperti pertikaian dan perpecahan yang disebabkan hanya karena suatu perbedaan.

Kondisi ini diperparah dengan menjamurnya hoax yang dapat semakin memecahkan persatuan bangsa. Melihat fakta tersebut, Gagasan hermeneutika Esack ini kiranya patut untuk diperhatikan dan dijadikan bahan kajian untuk mengembangkan konsep kerukunan umat beragama di Indonesia yang masih rawan terjadinya konflik dan benturan. Jika setiap individu kita menyadari akan pluralitas dan pentingnya toleransi berbagai macam konflik dapat diminimalisir.

Dalam konteks inilah kita bisa belajar dari konsep hermeneutika Farid Esack tentang pluralisme dan inklusivisme, mengingat adanya kemiripan konteks antara Afrika Selatan (daerah asal Esack) dan Indonesia yang sama-sama multikultural dan multi agama. Melalui semangat pembebasan yang dibawa Farid Asack kita dapat menerapkannya dalam upaya pembebasan Bangsa Indonesia guna membebaskan masyarakat dari belenggu kesukuan dan sikap ekslusifisme kelompok.

Dengan melakukan open mind serta merekonstruksi pemahaman kebenaran sepihak Bangsa Indonesia niscaya terbebas dari konflik antar kelompok sehingga kerukunan dan persatuan dapat terwujud dan terjaga.

[zombify_post]

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru