27.8 C
Jakarta

Membasmi Paham Ekstremis: Bisakah Belajar dari China-Komunis?

Artikel Trending

KhazanahOpiniMembasmi Paham Ekstremis: Bisakah Belajar dari China-Komunis?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Kebencian akan komunis maupun negara yang berjuang di garis pertahanan melawan aliansi Barat benar-benar sudah menipudayakan. Ada sebuah cerita unik, yaitu ketika seorang mahasiswa berusaha untuk memahami kondisi seperti ini.

Waktu itu dia memulai petualangan dari penolakan proposal oleh sejumlah dosen, dia jadi kecewa berat. Di titik tersebut, dia bahkan merasa gelar sarjananya nanti tidak akan berarti, sebab konteks proposal dan lanjutan skripsi yang ditulis nyatanya mesti dibalik seratus delapan puluh derajat.

Tentunya ini atas saran dosennya, berbeda jauh dari data yang dia dapat dan ingin buktikan dari awal. Sudah proposal ditolak, mesti diganti total, dia pun ternyata harus berlapang dada mendapat julukan baru saat itu: ”corong komunis”, alhasil sempat bersikukuh adu data dengan sejumlah dosennya. Alhamdulillah. Tepuk tangan.

Saat itu, beberapa temannya ada yang mendukung, ada juga yang bersikap netral. Bahkan ada yang menjauhi, menyebutnya salah kaprah karena telah ”mendukung sistem”.

Sore yang hujan, dia pun memutuskan pulang dengan mengendarai motor, menumpahkan dua mata air di jalan – terutama setelah ingat buku IIDC (Islam, Indonesia dan China); sebuah buku fenomenal karya mahasiswa/i Indonesia yang berkuliah di Negeri Panda, yang ia perjuangkan habis-habisan demi mendapatkannya – mesti dibanting.

Dibanting? Iya. Alasannya? Hanya karena terdapat kata sambutan KH Said Aqil Siraj yang merupakan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Hadiah tak terkira, demampun menghampirinya mulai malam hingga pagi.

Berdasarkan cerita ini tentu jelas mengajari banyak hal, terutama untuk bersabar dan terus memperbaiki diri. Saya sendiri juga paham, bahwa virus kebencian terhadap China memang telah berakar sejak beratus tahun lamanya, didongengkan secara turun-temurun.

Apalagi China yang identik dengan label komunis, diasosiasikan dengan tragedi kelam bangsa kita sendiri, G30-S/PKI. Media mainstream yang sering menggambarkan China sebagai negara haus kekuasaan juga menjadi bahan bakarnya, termasuk isu pengiriman pekerja China yang disebut akan mengambil ladang pekerjaan masyarakat Indonesia.

Selain itu, isu presiden Jokowi komunis, ikut pula Uighur, yang padahal bagaimana bisa pemerintah China membantai etnis Uighur?, kalau di China saja banyak suku bermayoritas muslim lainnya hidup dalam damai, ribuan masjid didirikan.

Xinjiang sebagai provinsi dimana suku Uighur tinggal yang katanya dibantai itu bahkan memiliki Muslim terkenal, seperti Guli Nazha dan Dilraba Dilmurat. Sebaliknya, pemikiran ekstremis Uighur-lah yang sedang dideradikalisasi oleh pemerintah China, alhasil mereka bergabung bersama teroris di Timur Tengah.

Tolong, jangan kita lupakan perang kaum ekstremis di Suriah, Libya, dan Irak, di mana petempur Uighur terlibat di dalamnya. Bahkan, tidakkah sepintas kita meneliti konflik ekstremis pada terorisme Poso di negeri sendiri juga melibatkan Uighur, ingat?

Di akhir tahun 2019 kemarin, negara kita memang dikejutkan dengan konflik di Laut Natuna, hingga tampak hal tersebut menjadi pemantik api tambahan bagi kebencian terhadap China meningkat. Tidak ketinggalan COVID-19 yang acap diyakini peranakan dari Wuhan.

Hal ini tampaknya semakin membuat masyarakat internasional termasuk di tanah air yakin, bahwa China harus jadi salah satu negara yang mesti terima bila dicaci-maki. Bahkan, tidak jarang di permulaan tahun lalu ketika isu COVID-19 mulai merebak, beredarlah ragam informasi pandir bahwa penyebaran virus ini tidak lain azab Tuhan kepada China karena membantai Muslim Uighur.

Sungguh, bolehkah kita malu dengan rendahnya literasi di negeri sendiri? Sebab, bagaimana bisa sebuah negara yang berpenduduk muslim sebaganyak 30-an juta jiwa dari total penduduk 1,4 miliarnya mesti membantai Uighur?

Sedang Uighur sendiri baru satu dari sekian banyak kelompok minoritas muslim di sana. Selain Uighur, masih ada kelompok Muslim lain seperti: Hui Ningxia, Kazakh, Dongxiang, Kyrgyz, Salar, Tajik, Uzbeks, Bonan, dan Tatar.

Lebih jauh, faktanya, China telah diguncang kelompok ekstremis sejak tahun 2009. Namun di akhir tahun 2013, serta di tahun 2014-lah aksi kebrutalan ini semakin menemui titik kulminasinya.

BACA JUGA  Etika Politik Berbasis Religi sebagai Kontra-Polarisasi Pemilu 2024

Contohnya saja tragedi Tian’anmen Square pada 28 Oktober 2013, di mana sebuah mobil menyasar kerumunan pejalan kaki, hingga menyebabkan 3 orang meningal, dan 39 lainnya luka. Begitu juga yang terparah adalah di kereta api Kunming. Sekelompok teroris menyerang orang-orang yang ada di stasiun kereta api dengan parang panjang.

Kejadian ini terjadi di provinsi Yunan pada 1-2 Maret 2014, membuat 31 orang meninggal dengan darah bersimbah dimana-mana, stasiun jadi acak-acakan, serta membuat 141 orang terluka.

Sama juga dengan yang terjadi di Daerah Otonomi Khusus Xinjiang sendiri, yakni Luntai County, pada 21 September 2014 membuat 40 teroris mati, 6 rakyat sipil tewas, dan belasan lainnya terluka. Adapun sejak tahun 2014, serangan brutal teroris mengalami peningkatan, tepatnya sebesar 13,3% dibanding tahun-tahun sebelumnya, hingga hal itu yang membuat pemerintah China harus mengambil langkah tegas (crackdown).

Begitu besar tanggung jawab pemerintah China, begitu pula yang terjadi di benak masyarakatnya. Ya, bahkan rakyat China sendiri turut mengutarakan simpatinya, sebagian besar disebar oleh para pengguna (user) aplikasi Weibo dan WeChat. Tidak ketinggalan mereka yang rela berantre panjang hingga lebih dari 10 meter, demi mendonorkan darah kepada korban tragedi serangan teroris tersebut.

Kembali ke Uighur. Siapa yang menyangka isu ini mendapat momentum besar di Indonesia. Desember tahun 2018, isu ini berhasil dipakai dan dijadikan ladang memungut donasi bagi kelompok – yang kita tahu gemar berdemo berlandaskan ’pengajian’ medsos dan propaganda media Barat. Mereka semua menampik pendirian kamp vokasi oleh pemerintah China ditujukan untuk deradikalisasi. Sebaliknya, mereka percaya bahwa genosida telah terjadi di Negeri Tirai Bambu tersebut.

Lebih jauh, sudah sering dipaparkan bahwa ekstremis Uighur ini ikut ’berjihad’ dan masih tersebar di sejumlah konflik di Timur Tengah, sebagian besarnya bahkan kebingungan untuk pulang dan bertempat tinggal.

Sebenarnya, pemerintah China sendiri berkenan untuk menerima mereka kembali, asal mereka juga mau masuk ke kamp pengajaran dahulu guna mendapat ideologi nasionalisme plus educative skills set yang tentunya bermanfaat bagi hidup mereka juga. Namun, tampaknya belum semua petempur Uighur berkenan menghilangkan fantasi surganya.

Berkenaan dengan kondisi yang dialami China, nyatanya hingga tahun ini, dan baru-baru ini pun melalui presiden Joe Biden ikut ’mengekori’ kebijakan presiden sebelumnya – menghardik China telah membantai muslim Uighur.

Hingga karena itu, Januari kemarin Washington memutuskan untuk melarang impor kapas dan produk tomat dari Xinjiang. Mereka menuduh semua produk itu merupakan hasil dari kerja paksa. Tidakkah geli mendengar aktor yang membela Muslim, namun di saat yang bersamaan justru membunuh jutaan rakyat sipil di Timur Tengah?

Benar. Amerika Serikat bersama aliansi Barat lainnya yakni Jerman, Inggris, Australia, Kanada, juga telah merencanakan acara yang mereka sebut bertujuan untuk membahas bagaimana sistem PBB, negara anggota dan masyarakat sipil dapat mendukung dan mengadvokasi HAM bagi anggota komunitas etnis Turki di Xinjiang.

Sebaliknya, China mendesak PBB untuk tidak berpartisipasi dalam acara yang tentunya bermuatan politik tersebut, bahkan berpotensi mengganggu urusan dalam negeri China, menciptakan perpecahan.

Akhirnya, kita tahu bahwa sepak terjang setiap negara dalam menghancurkan sel terorisme sangat terjal dan menantang. Tuduhan seperti pelanggaran HAM sudah jadi ’makanan sehari-hari’ yang harus ditelan.

Dan sering sekali, selain hard approach dan soft approach, program deradikalisasi masih saja terasa kurang di negeri sendiri. Sebab, aspek rendahnya pemahaman literasi dan kesenjangan ekonomi masih jadi taruhan yang memperuncing segalanya, baik itu sebelum dan ketika proses perekrutan ideologi radikalis berjalan, maupun setelah masa deradikalisasi berakhir nanti.

Konsistensi, pengejawantahan aksi yang peduli terhadap kesejahteraan ekonomi, termasuk kekokohan merawat ideologi bangsa dari cengkeraman kaum ekstremis, harus berani satu per satu diaktualisasi.

Lalu, menurut pembaca yang budiman, kapan negeri kita dapat sedikit lebih berani?

Dyah Purbo Arum Larasati
Dyah Purbo Arum Larasati
Sarjana Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau, Pendiri @noheroescape, sebuah ruang berbagi di Instagram yang berfokus pada isu terorisme, radikalisme, ekstremisme dan studi demokrasi.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru