31.7 C
Jakarta

Membantah Klaim Khilafahers; Kata Siapa Negara Pancasila Tidak Islami?

Artikel Trending

KhazanahOpiniMembantah Klaim Khilafahers; Kata Siapa Negara Pancasila Tidak Islami?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Sebagai rujukan primer, al-Qur’an dan Hadits tidak banyak mengatur bagaimana sistem pemerintahan dalam Islam. Justru hal yang paling banyak dibicarakan permasalahan hukum-hukum dalam Islam, ritual keagamaan, dan hal-hal yang bersangkutan dengan moralitas kehidupan. Jika dilihat secara teks, keduanya tidak mengatur secara terperinci persoalan ekonomi, politik, mawaris, hubungan sosial dan hal lain yang sifatnya duniawi.

Namun, pada dasarnya prinsip-prinsip yang ditekankan dalam Islam yaitu menyangkut kejujuran, keadilan, tanggungjawab, kemaslahatan dan persamaan. Bisa kita lihat dalam konteks historis, bahwa al-Qur’an dan Hadits  tidak menyebutkan secara terperinci perihal negara dan pemerintah, namun isu pertama seusai kepemimpinan masa Nabi Muhammad Saw, yaitu bagaimana cara menentukan pengganti kepemimpinan Nabi dan pemerintahan, kemudian bagaimana mengatur hubungan antara pemimpin kepada rakyatnya, serta berapa lama batas masa jabatan/kekuasan pemimpin negara.

Rasulullah saw sendiri tidaklah pernah berfatwa tentang wajibnya mendirikan suatu negara, akan tetapi hal tersebut begitu dibutuhkan. Demikian menandakan bahwa dalam dunia Islam sejak awal telah berijtihad tentang bagaimana menerapkan konsep pemerintahan dan bernegara.

Arti kata negara dalam kosakata bahasa Arab memunculkan beberapa derivasi, seperti halnya penyebutan baldah, dawlah, wathan, dan mamlakah. Mamlakah sendiri merupakan sebutan lain dari baldah, dan wathan yang begitu jarang digunakan ketika menyinggung permasalhan negara dan agama, namun keduanya bermakna senada, yakni negeri. Istilah yang kerap digunakan dalam pembahasan tersebut yaitu dawlah. Secara garis besar, kata dawlah merupakan persamaan daripada konsep nation dan state.

Meski secara teks tidak dijelaskan secara jelas bagaimana hubungan Islam dan negara, namun ada salah satu dalil yang menjadi dasar mengapa pentingnya kewajiban untuk mendirikan negara. Terdapat dalam ushul fiqh sebagai berikut: ma la yatimmu al-wajib ill bihi fahuwa wajib (sesuatu di mana kewajiban agama itu tidak bisa terwujud terkecuali dengan keberadaannya, maka hal tersebut menjadikannya wajib).

Dalil tersebut dapat dianalogikan sepertihalnya shalat yang merupakan salah satu perintah agama dan sifatnya wajib, sedangkan wudhu sifatnya sunnah. Akan tetapi, jika akan mendirikan sholat tapi tidak wudhu maka hukumnya tidak sah. Dengan begitu, wudhu merupakan hal yang wajib ketika hendak mendirikan sholat, karena berposisi sebagai sarana dalam menunaikan hal yang  wajib.

Oleh karenanya, jika dianalogikan dalam konteks hubungan Islam dan negara, maka merealisasikan ketetapan-ketetapan Allah SWT merupakan hal yang wajib, sedangkan sarana dalam menerapkan ketetapan Allah tersebut adalah mendirikan negara. Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa wajib hukumnya mendirikan negara.

Politik Sebagai Ilmu Tata Negara

Istilah politik merupakan ilmu siyasah/ilmu pemerintahan, yaitu ilmu tentang tata negara. Dari segi konsep dan pengertian politik dalam Islam memiliki sisi perbedaan dengan politik non-Islam. Politik dalam ajaran Islam lebih mengarah pada suatu kegiatan umat dalam usaha melaksanakan dan mendukung aturan-aturan (syariat) dengan sistem pemerintahan dan kenegaraan. Hal demikian adalah sistem peradaban yang memadukan dua unsur secara bersamaan, yaitu mencakup negara dan agama: negara islami.

Bahkan dalam konteks sejarah berkembangnya Islam sendiri tidak lepas dari suatu implementasi strategi matang politik ala Rasulullah yang beliau rancang. Bukti dari adanya politik di dalamnya yaitu bagaimana Rasul hijrah ke Madinah dalam menyebarkan Islam, hingga masuk pada puncak penyebarannya ketika Fathu Makkah.

Dikabarkannya Rasulullah dan Sahabat hijrah ke Madinah, sebenarnya bukan lari dari desakan dan intimidasi dari kaum kafir Quraisy, akan tetapi Rasulullah membangun konsolidasi politik dalam rangka membangun kekuatan dakwah Islam. Dimulai dari membangun kekuatan internal politik dari Islam sendiri, hingga berkoalisi dengan kaum Nasrani dan Yahudi yang menjadi cikal bakal terbentuknya Piagam Madinah (Shahifatul Madinah).

BACA JUGA  Harmoni Ramadhan: Antara Saleh Ritual dan Saleh Sosial

Rasulullah Saw berpendapat bahwa politik merupakan upaya atau hal dalam memikirkan persoalan-persoalan umat baik dari sisi eksternal ataupun internal. Sisi internal yang dimaksud di sini yaitu mengatur jalannya sistem pemerintahan, menjalankan kewajiban tugas yang telah diamanahi, merinci hak-hak hingga kewajibannya. Lebih dari itu, juga turut melakukan pengawasan kepada penguasa yang diamanahi sebagai peminpin untuk dipatuhi jikalau mengamalkan kebajikan, meluruskan, mengingatkan, dan dikritik jika suatu saat terjadi penyimpangan dari norma-norma agama.

Sedangkan sisi eksternal dalam politik yang dimaksud adalah upaya menjaga kemerdekaan dan kebebasan bangsa, menanamkan kewibawaan, kepercayaan diri, dan menempuh jalan-jalan menuju tujuan yang mulia sehingga memiliki kedudukan bersama negara lainnya.

Bahkan terjadi perdebatan antar muslim sendiri dalam menyikapi bagaimana arus kemajuan zaman, dengan menghadirkan pikiran yang lebih rasional, mengakar dan longgar terlebih dalam urusan agama dan dunia. Dari perjalanan panjang mpencarian rasionalisasi Islam dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan beragama, menghasilkan suatu fakta bahwasanya hukum buatan manusia “wad’i” atau hukum posistif, dan hukum Tuhan “samawi”, keduanya dapat diimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Ruang kerja rasionalitas Islam tersebut pun dipertanyakan bagaimana proses interaksinya dengan negara. Padahal dalam faktanya, dalam Islam sendiri telah melahirkan disiplin ilmu yang kerap dikenal fikih politik (fiqh al-siyash), yang kemudian pada akhirnya memunculkan fatwa-fatwa menyangkut politik.

Indonesia Sebagai Bentuk Negara Islami

Sangat jauh berbeda jika menyamakan istilah negara Islami dan negara Islam. banyak daripada kalangan Islam ekstrem-radikal di Indonesia mengklaim bahwa bangsa ini thogut, tidak sesuai dengan syariat bernegara Islam (khilafah), kafir, dan wajib diperangi. Maka pendapat tersebut dapat dibantah dengan konteks kewajiban mendirikan negara dalam menunjang kehidupan beragama sebagaimana ketika membaca konteks sejarah sebelumnya.

Indonesia dengan ideologinya yang berlandaskan Pancasila, di dalamnya juga terdapat prinsip-prinsip nilai kaislaman yang begitu lekat. Mulai dari prinsip berkeyakinan (ber-Tuhan), kemanusiaan, keadilan, persatuan, dan musyawarah, semua terkandung dalam ajaran Islam. Dijuluki sebagai negara yang Islami karena di dalam tubuhnya terdapat nilai-nilai Islam yang menjadi landasan dasar dalam bernegara.

Lebih daripada itu, hubungan agama (Islam) dan negara (Indonesia) tidak dapat dipisahkan. Keduanya berjalan selaras seperti roda kereta. Negara membutuhkan agama sebagai pengontrol laju para nahkoda dalam memimpin rakyat, atau bahkan sebagai pengontrol moral setiap warga negaranya. Sedangkan agama membutuhkan negara sebagai wadah dalam menunjang aktivitas kehidupan, baik sifatnya amaliah ibadah, roda perekonomian, pendidikan, pembangunan dan sosial budaya, dan lain sebagainya.

Ali Mursyid Azisi, M.Ag
Ali Mursyid Azisi, M.Ag
Peneliti di Centre for Research and Islamic Studies (CRIS) Foundation), Researcher di Nursyam Centre Indonesia & Pengurus Asosiasi Peneliti-Penulis Islam Nusantara se-Indonesia (ASPIRASI).

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru