27.5 C
Jakarta

Membangun Toleransi dan Meruntuhkan Radikalisme Masyarakat Modern

Artikel Trending

KhazanahOpiniMembangun Toleransi dan Meruntuhkan Radikalisme Masyarakat Modern
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Nilai agama yang semula terkikis dan terasingkan oleh sekularisme dan modernisasi mengalami kebangkitan baru dalam memasuki abad modernisme dan sekularisasi. Nilai agama yang ada pada Katolik, Protestan, Islam, Yahudi, Hindu, Buddha, dan agama serta kepercayaan lainnya mengalami kebangkitan yang dilandasi oleh meningkatnya fenomena masyarakat beriman sebagai born again atau lahirnya kembali neo-konservatisme Muslim atau ortodoksi Islam.

Namun, kembalinya kebangkitan nilai agama di tengah modernisasi lebih condong mengarah pada gerakan radikal-ekstrem. Oleh karenanya, sangatlah diperlukan suatu konsep sebagai upaya dalam memberantas dan mencoba menghilangkan gerakan radikalisme baru, salah satunya dengan memperkuat toleransi.

Dengan memperkuat toleransi, konflik agama dan radikalisme dapat dibendung gerakannya, mengingat dalam praktik konflik agama biasanya ditandai dengan sikap merasa paling benar dan menganggap bahwa kebenaran yang lain itu salah. Karena jika masyarakat modern sangat minim akan sikap toleransi, maka perlu dipikirkan dan disusun sebuah paradigma pemikiran baru tentang bagaimana hubungan umat beragama dengan lingkungan multikultur agar tercipta sebuah kerukunan dalam suatu masyarakat tersebut.

Secara historis, masyarakat modern lahir ketika runtuhnya dark age atau abad kegelapan sekitar abad ke-17 hingga abad ke-18, yang mana dogmatisasi agama saat itu sangat mendikte kehidupan masyarakat dan bersifat sentimental, sehingga tidak ada kebebasan berpikir dalam masyarakat karena terbelenggu dalam abad  yang dipelihara oleh dogma agama.

Namun, ketika memasuki abad ke-19 sekularisme menunjukkan pandangan tentang agama yang bukan hanya sebagai urusan spiritual individu masyarakat, melainkan dianggap juga sebagai musuh negara. Sekularisme yang ekstrem ini merujuk kepada pemikiran beberapa filsuf, seperti Ludwig Feuerbach dengan pemikirannya tentang ateis praktis dalam negara, Karl Marx dengan pemikirannya tentang paham materialisme, historis, ateis, dan memandang bahwa agama hanya candu bagi masyarakat, dan Leninisme dengan pemikirannya yang berusaha menghancurkan agama dan menggantinya dengan bolshevisme.

Memasuki abad ke-20, filsafat sebagai corak pemikiran yang kritis mulai meniadakan kemungkinan untuk mengetahui sesuatu yang menyangkut persoalan tentang Tuhan. Sementara itu, dalam masyarakat modern persoalan tentang ketuhanan mulai terasingkan oleh budaya konsumeristik, sehingga membentuk masyarakat modern menjadi skeptis terhadap persoalan yang menyangkut Tuhan ketika mereka tidak menyangkalnya sebagai sebuah mitos.

Kehadiran modernisasi mengakibatkan timbulnya interpretasi baru tentang agama, sehingga membuat banyak desakralisasi dan berkurangnya totalitas terhadap nilai yang ada pada agama. Pemikiran kritis yang terkandung dalam filsafat, yang seharusnya filsafat dapat membantu agama dalam hal menginterpretasikan teks suci secara objektif, memberikan metode pemikiran bagi para teolog, membantu agama dalam menghadapi problematika tantangan zaman, atau membantu agama menghadapi tantangan ideologi baru.

Akan tetapi, hal tersebut terpaksa hilang karena maraknya persoalan intoleransi dalam masyarakat modern. Toleransi dan sekularisasi dalam masyarakat modern mempunyai sekat dan terdapat semacam dinding penghalang atas pertimbangan toleransi dalam agama dan sekularisasi modern.

Hubungan antara keduanya bersifat semu semata dalam masyarakat modern. Sekularisasi dan toleransi dalam agama merupakan suatu hal yang kontradiktif. Namun, tidak bisa ditampik bahwa keduanya dapat berjalan sendiri, sebab sekularisasi tanpa adanya toleransi dalam agama akan menimbulkan sikap amoral, sedangkan toleransi dalam agama tanpa adanya sekularisasi hanya akan menciptakan peradaban yang konstan

BACA JUGA  Rekonsiliasi Pasca-Pemilu: Jalan Menjaga Solidaritas Kebangsaan

Agama dalam konteks toleransi sudah seharusnya dapat mengembangkan bentuk potensialnya dalam memperkuat solidaritas masyarakat plural kontemporer di era modern yang tidak lagi dipandang sebagai pemicu lahirnya konflik, seperti sektarianisme, intoleransi, dan fundamentalisme.

Toleransi menjadi sebuah pandangan yang tidak merusak kehidupan masyarakat modern yang sudah banyak bersikap sekuler, karena ajaran dari toleransi sendiri merupakan norma kolektif yang lahir menjadi solusi atas sejarah konflik agama dan keyakinan masyarakat sekuler.

Sementara itu, sekularisasi perlu mewujudkan toleransi di dalamnya agar tercipta proses saling mengerti dan belajar antara agama dan pola pikir sekuler di era modern. Paham sekuler tidak boleh menjadi hakim atas kebenaran agama, namun harus bersedia untuk menerima klaim agama agar dapat dipahami oleh ruang publik yang plural, agama juga perlu menerjemahkan doktrin dari agamanya ke dalam ruang publik agar tidak ada lagi sikap fundamentalisme yang acap kali mengarah kepada intoleransi. Sehingga, nantinya terdapat timbal balik antar keduanya, yang mana masyarakat sekuler mempunyai tanggung jawab juga untuk menghargai posisi agama.

Sejalan dengan hal itu, di era modern toleransi berada pada titik krisisnya karena sifatnya yang dianggap destruktif oleh beberapa agamawan, sehingga perkembangan pola pikir dan kemajuannya berjalan dalam rute yang stagnan.

Seharusnya, perlu ditinjau bahwa toleransi merupakan perumusan kembali tatanan masyarakat di era modern yang sekuler sesuai dengan formula yang telah ada dibangun oleh agama, yakni tentang persaudaraan, keadilan, dan memaafkan. Ketiganya menjadi prinsip kuat untuk membangun masyarakat modern yang tidak lagi membicarakan salah benar, namun membangun persaudaraan, keadilan, dan memaafkan, sehingga nantinya tercipta perdamaian dan kerukunan antar umat manusia yang diharapkan oleh agama.

Jika toleransi merupakan suatu sikap saling menghormati dalam perbedaan keyakinan agama yang menjadi sangat penting di era modern, karena terkadang rasa kurang menghormati perbedaan dapat memicu konflik kekerasan dan intoleransi. Masyarakat yang berkeyakinan teguh pada agama jika kurang menghormati perbedaan pemahaman masyarakat sekuler di era modern ini akan mengakibatkan masalah yang tidak dapat disinergikan, padahal agama dan sekularisasi jika dilihat secara proporsional dan dalam kaca mata objektif dapat melahirkan produktivitas dan kreativitas hidup manusia yang beragama.

Di Barat sekularisasi ditempatkan pada usaha menempatkan potensi yang ada dalam diri manusia yang dibarengi dengan kemajuan ilmu pengetahuan tanpa harus terhalang pada doktrin agama, sehingga sekularisasi berjalan dengan aman.

Sedangkan di Timur sekularisasi selalu diidentikkan dengan kontradiktif yang ada dalam agama, sehingga menempatkan peradabannya hanya pada rute stagnan dan terbelakang akibat tradisi yang telah lama mengakar.

Padahal sekularisasi sendiri merupakan bentuk dari pembebasan manusia atas agama yang sifatnya duniawi bukan sakral, sedangkan toleransi menjadi sebuah pandangan yang tidak merusak kehidupan masyarakat modern yang sudah banyak bersikap sekuler, karena ajaran dari toleransi sendiri merupakan norma kolektif yang lahir menjadi solusi atas sejarah konflik agama dan keyakinan masyarakat sekuler.

Sementara itu, sekularisasi juga perlu mewujudkan toleransi di dalamnya agar tercipta proses saling mengerti dan belajar antara agama dan pola pikir sekuler di era modern. Oleh karena itu, toleransi dan sekularisasi dapat menjembatani kerukunan serta kedamaian dalam masyarakat modern.

Hery Prasetyo Laoli
Hery Prasetyo Laoli
Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru