30 C
Jakarta

Membangun Generasi Toleran-Inklusif di Fase Golden Age Anak

Artikel Trending

KhazanahOpiniMembangun Generasi Toleran-Inklusif di Fase Golden Age Anak
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Usia dini, atau fase golden age alias periode kemasan yakni umur 0-5 tahun merupakan masa terpenting dalam perkembangan anak. Di fase itu, anak belajar hal baru. Ia mencercap ribuan informasi. Ia juga menginternalisasi prinsip, cara pandang, dan perilaku kehidupan yang ia lihat di sekelilingnya.

Anak usia dini ibarat spons yang mudah menyerap air. Sayangnya, mereka tidak memiliki filter untuk membedakan mana hal baik dan tidak baik. Maka, baik buruknya anak usia dini sangat bergantung dari bagaimana orang tua, keluarga, dan lingkungan sekitar dalam memberikan asupan informasi dan menstimulasi otaknya.

Ada empat unsur pokok dalam perkembangan anak usia dini. Pertama, physical development yakni perkembangan anak secara fisik meliputi tinggi badan, berat badan, kemampuan motorik kasar dan halus serta kemampuan yang mengandalkan kekuatan fisik lainnya.

Kedua, intellectual development yakni perkembangan kecerdasan anak dalam menyerap dan memahami informasi baru. Secara teoretis kecerdasan intelektual ini dipengaruhi oleh dua hal penting. Yakni keturunan dan rangsangan atau stimulasi. Keturunan artinya, orang tua (terutama ibu) yang cerdas akan melahirkan anak-anak yang juga memiliki tingkat kecerdasan tinggi. Sedangkan rangsangan berarti bahwa kecerdasan anak bisa dibentuk dengan cara memberikan stimulasi sejak dini sesering mungkin.

Ketiga, language development alias perkembangan bahasa dan wicara. Usia dini merupakan fase pembentukan keterampilan berbahasa dan berbicara yang akan sangat berpengaruh pada kepribadianya ketika dewasa. Anak yang komunikatif cenderung akan menjadi pribadi yang terbuka (ekstrovert) dan percaya diri.

Keempat, social-emosional development yakni perkembangan dalam hal kecerdasan sosial dan emosional. Kecerdasan emosional meliputi kemampuan dia dalam berinteraksi dan bersosialiasi dengan orang lain dan lingkungannya. Hal ini mewujud pada sikap percaya diri, terbuka, merasa aman dan mudah beradaptasi dengan lingkungan baru.

Sikap Toleran dan Inklusif

Sedangkan kecerdasan emosional mencakup kemampuan dalam mengenal sekaligus mengelola emosi. Anak yang cerdas secara emosi akan bisa mengenali dan mengendalikan perasaan-perasaan seperti senang, sedih, kecewa, dan sejenisnya agar tidak bereskalasi menjadi tindakan yang agresif.

Dari keempat unsur pokok itu, kecerdasan sosial-emosional kerap disebut sebagai variabel paling penting namun paling susah untuk diwujudkan. Kegagalan mengembangkan kecerdasan sosial dan emosional akan berdampak pada perilaku anak yang tidak stabil secara psikologis, berlebihan dalam menyikapi keadaan sampai bertindak agresif dan destruktif.

Salah satu upaya mewujudkan kecerdasan sosial dan emosional itu ialah dengan menanamkan prinsip toleran dan inklusif. Mengapa hal ini penting? Tantangan kehidupan zaman modern ini kian kompleks. Problem kemanusiaan hari ini tidak lagi hanya dilatari motif ekonomi, namun juga sosial-budaya.

BACA JUGA  Menjaga Toleransi: Refleksi Keberagaman di Bulan Ramadan

Banyak konflik horisontal antar-kelompok masyarakat yang justru dilatari oleh isu perbedaan identitas. Seperti kita lihat di Indonesia dimana isu-isu identitas agama, suku, ras, etnis, dan sejenisnya kerap dieksploitasi untuk mengadu-domba masyarakat.

Belum lagi fenomena radikaliasi keagamaan yang menjadikan kekuatan agama sebagai alat untuk menjustifikasi tindakan kekerasan dan teror. Maka, menanamkan prinsip toleransi dan inklusivisme sejak anak ada di fase golden age ialah sebuah keharusan mutlak.

Peran Vital Orang Tua

Usia golden age ialah masa ketika anak menghabiskan sebagian besar waktunya bersama orang tua dan keluarga. Artinya, pengetahuan dan informasi pertama yang didapat anak mayoritas berasal dari orang tua dan keluarganya. Di dalam Islam pun disebutkan bahwa ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya.

Orang tua memiliki peran vital dalam membangun karakter sang anak. Mereka harus mampu menjadi role model bagi anak-anaknya. Rumah dan keluarga harus menjadi tempat paling aman dan nyaman bagi anak-anak. Dengan begitu, anak akan tumbuh menjadi pribadi yang berpikiran positif, tidak mudah curiga dan berprasangka buruk pada orang lain.

Salah satu metode sederhana namun penting dalam membentuk karakter inklusif dan toleran ialah membiasakan anak melihat dan mengalami sendiri indahnya perbedaan. Melibatkan anak dalam sebuah kegiatan yang di dalamnya terdapat bermacam-macam orang dari latar belakang berbeda akan memberikan impresi pada anak. Anak akan belajar bahwa perbedaan bukanlah ancaman melainkan anugerah.

Orang tua juga perlu selektif dalam memilih PAUD atau TK. Sekolah yang berkarakter homogen; hanya berisi anak didik yang seagama bahkan sealiran cenderung kurang baik untuk mengembangkan prinsip toleransi dan inklusivisme. Sekali lagi perlu ditekankan bahwa toleransi dan sikap inklusif tidak cukup dipelajari melakui teori. Toleransi dan sikap inklusif harus dihayati dengan merasakan pengalaman secara langsung bersentuhan dengan perbedaan.

Orang tua harus jeli memilihkan PAUD atau TK untuk anak-anaknya. PAUD dan TK yang bagus tidak hanya mampu memfasilitasi tumbuh kembang anak sesuai potensinya. Namun, juga mampu menginternalisasikan sikap toleran dan inklusif pada perbedaan. PAUD dan TK yang baik tidak berorientasi semata pada pencapaian akademik, seperti keterampilan membaca dan berhitung.

Sebaliknya, PAUD dan TK yang baik akan lebih berfokus pada pembentukan karakter anak agar menjadi pribadi yang toleran dan terbuka pada perbedaan. Di tangan lembaga pendidikan dan guru yang memiliki visi toleran dan inklusif, anak-anak akan dibimbing menjadi pribadi-pribadi yang humanis, yakni menilai orang dari sisi kemanusiaan bukan dari identitas dan golongan.

Desi Ratriyanti
Desi Ratriyanti
Lulusan FISIP Universitas Diponegoro, bergiat di Indonesia Muslim Youth Forum.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru