Harakatuna.com – Intoleransi, radikalisme, dan ekstremisme merupakan fenomena paradoks di institusi pendidikan. Institusi yang dipercaya sebagai tempat menumbuhkan toleransi, inklusi, dan nilai-nilai kemanusiaan justru mungkin melahirkan sikap-sikap yang membahayakan nilai-nilai pendidikan.
Namun demikian, sebagai pepeling, upaya deradikalisasi di sekolah penting diedukasikan kepada pelajar oleh para guru dan institusi pendidikan. Sebab, tak ada jawaban lain kecuali menguatkan edukasi deradikalisasi di sekolah. Institusi pendidikan harus terus mengampanyekan secara intensif dan efektif untuk mencegah timbulnya masalah yang tidak diinginkan.
Lembaga pendidikan, alih-alih sebagai ruang generasi muda mengenal berbagai ilmu pengetahuan, ajaran, dan wawasan yang beragam, justru menjadi peluang besar produksi wacana kekerasan dan radikalisme bagi pelajar. Banyak jalan kelompok radikal menyusupkan ideologinya kepada para pelajar. Misal saja, radikalisme bisa saja timbul dari kalangan pelajar saat mereka merasa di titik jenuh dalam proses belajar. Perasaan jenuh ini dipakai kelompok radikal untuk mendoktrin pelajar, menjejali motivasi, edukasi, ataupun janji-janji penghargaan untuk tidak meninggalkan kajian yang diterima dari kelompok radikal.
Belum lagi, praktik buruk di sekolah yang seakan menormalisasi kekerasan. Misal, adanya praktik kekerasan di lembaga pendidikan alih-alih yang mereka anggap sebagai hukuman normatif memberikan efek jera kepada anak didik. Lalu ada pula perkembangan paham sektarianisme, anti keberagaman di sekolah, maupun pemaksaan dan penyeragaman atribut para pelajar.
Aturan konservatif tersebut justru akan mewujudkan praktik eksklusif yang tidak memberi ruang aman bagi para pelajar. Belum lagi paparan konten media sosial, seperti motivasi, edukasi agama dan kebangsaan, yang hanya menyuguhkan narasi sepotong-sepotong yang sangat mudah mengaburkan pemahaman mereka.
Transformasi Materi Kurikulum
Betapa pentingnya pemahaman nasionalisme dan keagamaan, sangat penting pula untuk mengontekstualisasikan antara materi dan praktik yang diajarkan. Pendekatan konservatif harus segera ditinggalkan dengan memulai kesadaran maju pada pendekatan transformatif pengajaran guru kepada pelajar.
Sebagaimana Paulo Freire dalam buku Pendidikan Kaum Tertindas, pendekatan konservatif yang tercermin pada orientasi belajar yang didasarkan pada stabilitas, rasa hormat terhadap gagasan yang mapan, guru sebagai pusat intelektual dan moral, sedang murid adalah obyek yang pasif. Pendekatan konservatif ini bisa jadi menjadi lahan subur bagi intoleransi dan ekstremisme, sedangkan pendekatan transformatif akan lebih berorientasi pada tradisi berpikir kritis dan inovatif.
Artinya, ketika pendekatan transformatif digunakan pada kurikulum materi dan praktik, setidaknya pelajar bisa memilah dan memahami dulu konten edukasi yang tersebar sehingga penyebaran ekstremisme tidak begitu mudahnya terbius. Pendekatan transformatif sifatnya harus dialog, tidak lagi indoktrinatif. Termasuk melalui pendekatan yang humanis, soul approach, dan menyentuh akar rumput.
Hal-hal yang lain, guru juga bisa memaparkan kepada pelajar kesalahan-kesalahan kaum radikal, ekstremis, bahkan teroris, dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam yang ditujukan kepada khalayak luas. Misal saja, kelompok radikal yang menentang nasionalisme dan sistem pemerintahan di Indonesia, dan menggantinya dengan sistem khilafah, praktik bom bunuh diri sebagai mati syahid, ataupun kajian keagamaan yang mengaburkan konteks.
Dengan demikian, pemahaman keagamaan yang moderat, humanis, dan menghormati kebhinekaan penting dikenalkan kepada pelajar. Begitu pula materi wawasan kebangsaan dengan konten edukasi yang pro-keadilan sosial dan menjunjung kesetaraan maupun penghormatan kepada kehidupan dari kelompok sosial yang berbeda dan perbedaan latar etnik, agama, dan ras.
Beragam materi tersebut juga dibekali dengan praktik toleransi di sekolah serta kebutuhan pengawasan maupun pendampingan intensif di sektor kebijakan sekolah. Dengan demikian, muncul kesadaran terhadap bahaya radikalisasi dan intoleransi keberagamaan.
Terlebih, pembelajaran agama Islam yang kritis dan kontekstual harus diupayakan tercapai. Supaya mereka dalam memahami ajaran Islam tidak dogmatis-doktriner semata. Pemahaman Islam Rahmat yang bervisi perdamaian mampu menangkal penyebaran ekstremisme masuk. Selain itu, pemahaman keagamaan dan kebangsaan perlu digambarkan secara nyata dalam konteks kehidupan sehari-hari.
Guru dan Stakeholder
Sebuah telak, selain pemahaman materi dari kurikulum, guru juga mendapat kemungkinan menjadi penyebar radikalisme karena ia bisa lebih dulu terkontaminasi. Sebagai pusat intelektual, terlebih dahulu guru harus memiliki pemahaman radikalisme, ekstremisme, serta pencegahan-penanggulangannya. Sebab, sungguh mengenaskan jika penyebab radikalisme itu justru datang dari guru yang akhirnya berdampak negatif kepada warga sekolah.
Adanya pembinaan terhadap guru dirasa menjadi program kebijakan yang penting. Begitu pula kesadaran akan pentingnya memahami persoalan ekstremisme dan intoleransi. Sebab, kunci keberhasilan adalah terletak pada pembelajaran aktif dan kritis yang diterapkan oleh guru-guru pendidikan agama Islam. Keterbukaan informasi oleh guru berfungsi untuk memetakan dan mencegah informasi pemahaman siswa soal radikalisme di sekolah.
Guru pun tak bisa berupaya sendiri. Sekolah sebagai institusi pendidikan harus memiliki pandangan dan kebijakan inklusif mencegah penyebaran ideologi radikalisme dan ekstremisme menjarah warga di sekolah. Pelibatan dari para guru dan stakeholder menjadi tonggak penguatan toleransi dan impelementasi penguatan Pancasila di lembaga pendidikan. Kelompok komunitas, organisasi sosial, dan pemerintah perlu berambisi untuk memiliki komitmen melakukan kampanye dan sosialisasi.
Deradikalisasi digerakkan untuk kepentingan penyadaran pada publik dan lembaga pendidikan, bukan hanya berkutat pada individualistis. Komunitas pro-toleransi dan keberagaman harus menyasar pada sekolah yang secara langsung bekerja sama dengan pemerintah. Pada praktiknya, membangun narasi keagamaan yang moderat dan kontra-radikalisme di media sosial bersama pelajar menjadi satu dari banyak praktik yang bisa dilakukan. Seperti melakukan kampanye melalui video yang disebarkan pada platform media sosial sehingga dapat menjangkau publik lebih luas.
Dalam pengawasan deradikalisasi, pelajar juga harus diarahkan saat memilih bergabung halaqah kajian keagamaan dan halaqah organisasi sebagai ruang aman mereka agar tak mudah dicekoki narasi ekstrem yang kemudian nyemplung pada lubang radikalisme.