26.1 C
Jakarta

Membandingkan Gerakan-Gerakan Teror di Dunia Islam

Artikel Trending

CNRCTMembandingkan Gerakan-Gerakan Teror di Dunia Islam
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Membandingkan Gerakan-Gerakan Teror di Dunia Islam

Oleh Ayik Heriansyah*

Yang membedakan gerakan teror transnasional dengan gerakan teror regional dan lokal adalah tujuan akhir dari gerakan mereka yang mempengaruhi ruang lingkup, medan aksi dan jaringan mereka. Semua gerakan teror transnasional mempunyai tujuan yang sama yaitu mendirikan khilafah global. Mereka adalah Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, al-Qaeda dan Islamic State on Iraq and Syria (ISIS). Oleh sebab itu skala gerakan mereka melintasi batas-batas negara, bangsa dan suku.

Ikhwanul Muslimin dan Hizbut Tahrir masuk kategori gerakan teror karena kedua gerakan membenarkan dan pernah menggunakan kekerasan bersenjata dalam mendirikan khilafah. Teror yang dilakukan oleh Ikhwanul Muslimin dan Hizbut Tahrir bersifat laten, artinya, Ikhwanul Muslimin dan Hizbut Tahrir akan melakukan tindak kekerasan jika situasi dan kondisi memungkinkan dalam rangka mewujudkan tujuan politik mereka.

Ikhwanul Muslimin membentuk milisi-milisi di daerah-daerah konflik di Suriah, Yaman dan Libya. Demikian juga halnya dengan Hizbut Tahrir. Dengan bantuan intelijen Turki, Hizbut Tahrir membentuk milisi-milisi di Suriah yang terlibat upaya penggulingan Presiden Assad.

Sedangkan gerakan teror regional dan lokal mempunyai tujuan untuk mendirikan negara Islam atau keemiran di dalam batas-batas negara bangsa. Mereka tidak memiliki jaringan di luar teritorial daerah perjuangannya. Tujuan mereka bukan ingin mendirikan khilafah global. Mereka hanya mau merdeka dari penjajah negerinya. Terlepas dari apa motif mau membebaskan diri penjajah, penggunaan kekerasan fisik dalam upaya meraih tujuan politik, tetap disebut teror. Seperti gerakan Hamas, Negara Islam Indonesia (NII), Taliban, Moro Islamic Liberation Front (MILF), Milisi Rohingya, Milisi Patani dan sebagainya.

Gerakan-gerakan teror regional dan lokal  muncul akibat proses integrasi bangsa dan konsolidasi negara bangsa yang belum selesai. Bukan disebabkan oleh ajaran-ajaran agama tertentu. Gerakan-gerakan ini wujud dari ketidakpuasan politik dari ketidakadilan yang dilakukan oleh penguasa pusat. Sebab itu, gerakan teror mereka lebih bercorak gerakan separatisme ketimbang gerakan radikalisme agama.

Adapun gerakan-gerakan teror transnasional sebenarnya memiliki perbedaan pemahaman tentang konsep khilafah dan metode mendirikannya walaupun Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, al-Qaeda dan ISIS sama-sama membayangkan khilafah adalah kepemimpinan tunggal umat Islam di seluruh dunia yang dipimpin oleh seorang khalifah dengan slogan “satu umat satu negara.”

Hizbut Tahrir dan ISIS berpendapat bentuk negara khilafah adalah kesatuan (integrasi), sedangkan al-Qaeda dan Ikhwanul Muslimin berpendapat bentuk negara khilafah adalah negara federasi. Tapi mereka semua sepakat puncak pimpinan harus dipegang oleh satu orang berdasarkan hadits “jika dibai’at dua orang khalifah, bunuh yang terakhir.”

Al-Qaeda berpandangan, khilafah adalah suatu negara muslim yang memperoleh kedaulatan secara sempurna (tamkin taam) yang bebas dari segala potensi ancaman negara lain baik dari dalam maupun luar. Karena alasan itu mereka menolak khilafah ISIS. Khilafah ISIS belum berdaulat penuh secara sempurna karena wilayah-wilayah udara ISIS masih bisa dimasuki pesawat-pesawat asing. ISIS menjawab penolakan Al-Qaeda tersebut dengan mengatakan, yang penting secara faktual warga negara khilafah bisa dilindungi dan aktivitas kenegaraan bisa berlangsung meski dengan segala keterbatasan.

Amir Hizbut Tahrir satu setelah deklarasi khilafah ISIS pada Ahad (29/6/2014), mempublikasi pernyataan menolak khilafah ISIS dengan alasan khilafah tersebut buatan Amerika Serikat. Ternyata empat bulan kemudian Amerika Serikat beserta sekutunya membombardir khilafah ISIS. Amir Hizbut Tahrir juga menolak khilafah ISIS karena metode pendiriannya tidak yang syar’i. Cara yang syar’i maksudnya tidak melalui thalabun nushrah (kudeta) sebagaimana yang diyakini Hizbut Tahrir sebagai metode kenabian dalam mendirikan khilafah.  Bertolak belakang dengan pendapat ISIS bahwa metode syar’i dalam mendirikan khilafah dengan jihad (perang).

Ikhwanul Muslimin punya pandangan lebih umum. Mereka lebih suka menggunakan istilah ustadziyatul a’lam ketimbang khilafah. Maknanya hampir sama, namun Ikhwanul Muslimin lebih fleksibel, mereka tidak mensyaratkan satu daulah untuk satu secara ketat. Metode Ikhwanul Muslimin dalam mendirikan khilafah dimulai dari memperbaiki pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Baru selanjutnya khilafah berdiri. Bagi mereka adanya wadah asosiasi atau paguyuban negara-negara muslim sudah memenuhi syarat untuk disebut khilafah yang syar’i.

Sedangkan Hizbut Tahrir mendefinisikan khilafah yang mereka perjuangkan sebagai sebuah negara yang dipimpin oleh orang yang sebelumnya Amir Hizbut Tahrir yang menerapkan Undang-undang Dasar yang disusun oleh Amir Hizbut Tahrir, diawali dengan proses penyerahan kekuasaan dari penguasa de facto kepada Hizbut Tahrir.

DAFTAR PUSTAKA

Heriansyah, Ayik. (2020). Mengenal HTI Melalui Rasa Hati. Harakatuna: Jakarta.

Heriansyah, Ayik. (2020). Dosakah Menjadi Indonesia. Sang Khalifah: Jakarta.

Muhsin, Husein bin Ali Jabir. (1991). Membentuk Jama’atul Muslimin. Gema Insani: Jakarta.

Said, As’ad Ali. (2014). Al-Qaeda: Tinjauan Sosial Politik. LP3ES: Jakarta.

WAMY (2006). Gerakan Keagamaan dan  Pemikiran: (Akar Ideologis Dan Penyebarannya). Penerjemah A. Najiyulloh. Pustaka Al-I’tisham: Jakarta.

Ayik Heriansyah
Ayik Heriansyah
Mahasiswa Kajian Terorisme SKSG UI, dan Direktur Eksekutif CNRCT

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru