27.3 C
Jakarta

Membaca Pos-Islamisme di Turki

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuMembaca Pos-Islamisme di Turki
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Judul Buku: Pos-Islamisme: Melihat Turki dalam Persimpangan Agama dan Politik, Penulis: Firmanda Taufiq, Penerbit: Penerbit Forum, Tahun: 2020, Tebal : xiv + 118.

Setelah nyaris seabad Turki senyap dari percatuan politik global sejak keruntuhan Dinasti Turki Utsmani, kini ia menampakkan kembali pengaruhnya di panggung dunia. Turki kembali hadir dalam berbagai prosesi perubahan penting politik global, khususnya di kawasan Timur Tengah.

Selain itu, Turki juga berperan menjadi jembatan penghubung komunikasi antara dunia Islam dan Arab dengan dunia Barat. Sebab, Turki secara kebudayaan sangat dekat dengan Islam dan Arab, sedangkan di sisi lain ia secara geografis dekat dengan Barat yang mana ia menjadi bagian anggota dari Uni Eropa, meskipun belum menjadi anggota penuhnya.

Di Indonesia sendiri, popularitas Turki kian hari semakin menanjak. Hal ini tampak dari cukup banyaknya generasi muda-mudi muslim kita yang mengagumi Presiden Recep Tayyip Erdoğan sebagai role model pemimpin Islam yang dinilai berpihak kepada kepentingan kaum Muslim (misal, kasus Uighur di mana Erdoğan cukup vokal). Terlebih lagi, melalui beasiswa besar-besaran yang diberikan pemerintah Turki kepada mahasiswa luar negeri (termasuk Indonesia) untuk kuliah di sana, menjadikan berbagai seluk beluk tentang Turki menjadi semakin menarik hati berbagai generasi muslim kita.

Berbagai citra permukaan Turki yang cukup gemilang di pentas global tersebut, hanya dapat dipahami jika kita menelisik proses yang sedang terjadi di internal negeri tersebut. Saat ini, Turki sedang mengalami dinamisasi hubungan antara negara dan agama yang dulu sempat mengeras sejak kebijakan sekulerisme ekstrem Mustafa Kemal Atatürk yang melarang segala simbol Islam di Turki pada tahun 1924.

Rezim Atatürk yang mengimajinasikan Turki menjadi negeri modern sebagaimana Barat yang sekuler, kemudian melakukan berbagai kebijakan politik yang alih-alih meniru kemajuan modernisasi Barat, justru malah melarang berbagai bentuk simbolisasi dan praktik keislaman yang bukan hanya pada tataran publik, namun juga dalam level privat.

Kebijakan represif sekularisme Atatürk yang keras terhadap Islam, menimbulkan perlawanan yang keras pula. Generasi aktivis Islam politik awal di Turki mengusung aspirasi yang ekstrem, yakni hendak mengislamkan Turki secara politik –sebagai sebuah anti-tesis dari sekulerisme. Dalam terminologi teoritisnya, aspirasi generasi aktivis Islam politik awal tersebut disebut sebagai “Islamisme”, sebuah aspirasi politik untuk menjadikan Islam sebagai konstitusi negara dengan melalui jalan non demokratis.

Pos-Islamisme dan Partai AKP

Namun, dinamika pertentangan antara agama dan negara tersebut mengalami pergeseran ketika Partai Adalet ve Kalkinma Partisi (AKP) memenangi pemilihan umum Turki pada tahun 2002. AKP dan Presiden Erdoğan (sebagi nakhodanya), dalam kredo politiknya mendaku mengusung Islam moderat dan tidak lagi sebagaimana kaum aktivis Muslim generasi awal di Turki yang mempertentangkan antara negara dan Islam. AKP berbeda, ia menunjukkan bahwa Islam mempu mengakomodasi dan masuk ke dalam struktur pemerintahan secara demokratis melalui pemilu dan berkolaborasi dengan kubu lain [hlm. 47].

Dinamika pergeseran-pergeseran aspirasi politik dari aktivis Islam politik Turki generasi awal yang berorientasi kepada islamisasi negara menuju penerimaan konsep-konsep demokrasi politik ini secara teoritis di sebut oleh penulis buku ini, Firmanda Taufiq, sebagai bentuk Pos-Islamisme di Turki. Firmanda melihat bahwa AKP dalam sepak terjang politik dan kebijakan-kebijakannya mencerminkan ekspresi Pos-Islamisme.

BACA JUGA  Menelaah Isu Khilafah dari Kacamata Sosial-Politik Indonesia

Pos-Islamisme mencoba menyinergikan antara Islam dengan berbagai pilihan dan kebebasan individu, demokrasi dan modernitas yang terus berkembang. Pos-Islamisme juga tak hanya terjadi pada tataran politik saja, namun ia juga sebuah fenomena dan ekspresi sosial, ekonomi dan kebudayaan. Terjadi pergeseran-pergeseran praktik sosial, ekonomi dan kebudayaan di dalam masyarakat muslim yang mengakomodasi budaya konsumsi industrial yang menampakkan dinamisasi dan fleksibilitas dalam menerima modernitas [hlm. 13].

Pengaruh Kelas Menengah Anatolia

Mengingat Pos-Islamisme tidak hanya terkait dengan politik saja, namun juga merupakan fenomena sosial, ekonomi dan budaya. Maka, perkembangan Pos-Islamisme di Turki yang terjadi saat ini erat kaitannya dengan berbagai ekspresi masyarakat muslim di sana dalam sektor sosial, ekonomi dan budaya juga.

Perkembangan Pos-Islamisme di sana sangat didukung oleh apa yang disebut sebagai kelas menengah Anatolia. Kelas menengah muslim Turki ini memiliki peran besar yang mendukung laju pesatnya arus konsumsi produk-produk industri. Besarnya ceruk pasar-pasar baru, seperti konsumsi film, fesyen, kosmetik dan lain sebagainya, sangat berpengaruh dalam pertumbuan ekonomi Turki yang beberapa waktu yang lalu sempat melesat dan mencapai rekor tertinggi selama negara tersebut didirikan.

AKP sebagai partai berkuasa yang mengusung Islam moderat tersebut memiliki haluan ekonomi mengikuti sebagaimana garis ekonomi pasar (market economic) yang dipraktikkan oleh negeri-negeri Barat. Melalui kebijakan politiknya yang pro pasar tersebut, banyak ceruk pasar dari konsumsi kaum muslim berkembang di Turki. Kemudian, hal itu diperkuat lagi dengan munculnya banyak pengusaha Muslim Turki yang semakin memperkokoh ekosistem bisnis di sana dapat bertumbuh dengan baik.

Dari berbagai praktik kebijakan AKP dan pengaruh kaum kelas menengah muslim Anantolia di Turki yang berhasil menumbuhkan iklim ekonomi pasar tersebut telah menunjukkan hasil adanya tren kemakmuran pada masyarakat di sana. Dari sanalah kemudian yang memengaruhi kebijakan luar negeri Turki saat ini yang lebih aktif sebagaimana disebut di awal tadi.

Walaupun terjadi berbagai kemajuan Pos-Islamisme dalam berbagai ranah yang terjadi di Turki, namun proses perkembangan tersebut masih menyisihkan berbagai pekerjaan rumah. Sebagaimana pendapat dari Keyman dan Onis dalam bukunya Turkish Politics and Changing World (2007), yang juga dikutip oleh Firmanda dalam buku ini bahwa Turki masih memiliki beberapa catatan perihal belum tercapainya sebuah modernitas yang multikultural dan penyelenggaraan kewarganegaraan yang berdasarkan hak dan kebebasan [hlm. 90].

Catatan-catatan tersebut seperti tampak dari beberapa kebijakan yang masih bernuansa sangat memihak kaum Muslim. Misalnya, kebijakan pelarangan minuman keras dan kewajiban penggunaan jilbab bagi Muslimah. Meskipun kebijakan tersebut dibuat dengan argumentasi demi tujuan kesehatan dan pendidikan. Namun, nuansa diskriminatifnya masih sangat kentara sekali.

Berlatar dari berapa cataran kritis dari perkembangan Islam dan demokrasi di Turki tersebut, Firmanda secara cermat menilai bahwa Pos-Islamisme di Turki bukanlah sebuah “produk” final, namun masih on going. Artinya, kondisi dan situasi dapat berubah sesuai dengan faktor-faktor yang melingkupinya.

Demikianlah dinamika perkembangan Pos-Islamisme yang sedang berlangsung di Turki. Perihal beberapa catatan apakah Erdoğan, AKP dan kelas menengah Anatolia di sana dapat berhasil membentuk tatanan politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan Islam yang benar-benar dinamis dan akomodatif dengan demokrasi, modernitas dan ekonomi pasar. Demikian itulah perlu kita tunggu-tunggu dan amati perkembangan selanjutnya.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru