25.4 C
Jakarta

Membaca Nasionalisme-Religius Soekarno

Artikel Trending

KhazanahOpiniMembaca Nasionalisme-Religius Soekarno
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Indonesia dan Soekarno tidak bisa dipisahkan satu sama lainya. Sebab, jasa Soekarno sesungguhnya telah diakui oleh lebih banyak pihak. Bahkan lawan-lawan politiknya pun mengakui bahwa Soekarno memiliki banyak jasa amat besar bagi negara-bangsa Indonesia. Kekurangan-kekurangan Soekarno sebagai manusia biasa hanya ibarat sekuku hitam saja dibanding jasa-jasa besarnya.

Soekarno memang telah dikenal luas. Namun, masih lebih banyak yang belum memahami dengan baik dan tepat gagasan-gagasannya. Salah satu gagasan fundamental Soekarno yang banyak disalahpahami adalah konsepsi nasionalisme. Kesalahpahaman ini disebabkan oleh sudut pandang yang menempatkan nasionalisme Indonesia sebagai sebuah konsep yang sama persis dengan yang ada di Eropa.

Padahal Soekarno telah memodifikasinya sedemikian rupa, sehingga nasionalisme Indonesia sesungguhnya sangat berbeda dengan nasionalisme Eropa di awal kelahirannya. Kesalahpahaman itu menyebabkan Soekarno lebih dikenal sebagai sosok yang berparadigma sekuler. Bahkan Soekarno sering dianggap identik dengan abangan, bukan santri.

Nasionalisme di Eropa memang berkarakter sekuler. Ini tidak bisa dilepaskan dari konteks nasionalisme sebagai sebuah konsepsi tentang konstruksi negara berdasarkan bangsa (nation) sebagai pengganti konstruksi negara berdasarkan agama (Katolik). Penggantian dasar negara tersebut disebabkan kejadian-kejadian yang dianggap sebagai bentuk penyimpangan yang disebabkan oleh konsepsi integralistik dalam konteks relasi antaraagama dengan negara. Dalam konsepsi ini, antara agama dengan negara disatukan.

Dalam konteks Eropa saat itu, konsepsinya disebut dengan religio-integralisme Katolik. Karena konsepsi ini, negara menjadi alat untuk menghukum orang-orang yang tidak sependapat dengan interpretasi agama yang dikembangkan oleh gereja. Sebaliknya, agama dijadikan sebagai alat untuk menghukum orang-orang yang sesungguhnya merupakan lawan politik dengan alasan telah menyimpang dari doktrin agama.

Karena penyelewengan kekuasaan tersebut, maka muncul kalangan reformis yang menginginkan agar negara tidak didasarkan kepada agama, melainkan kepada bangsa. Masyarakat Eropa mendasarkan kebangsaan kepada kesamaan etnis dan bahasa. Mereka adalah masyarakat yang homogen, yakni masyarakat kulit putih dengan agama yang hampir semuanya Kristen.

Sedangkan nasionalisme di Indonesia sama sekali berbeda dengan nasionalisme di Eropa. Bennedict Anderson menyebut bahwa nasionalisme di Indonesia dibangun berdasarkan “imajinasi” sebagai satu bangsa, karena faktanya banyak sekali entitas yang berbeda di Indonesia. Masyarakat Indonesia jelas-jelas adalah masyarakat dengan tingkat keberagaman SARA yang sangat tinggi.

Namun, mereka kemudian merasa sebagai satu bangsa, karena perasaan senasib sebagai sama-sama entitas masyarakat yang dijajah oleh Belanda. Itulah yang menyebabkan daerah jajahan Belanda menjadi wilayah administratif Indonesia dan yang dijajah oleh Inggris menjadi Malaysia dengan mengecualikan Bengkulu. Sebab, Bengkulu adalah daerah jajahan Inggris, tetapi kemudian ditukar guling dengan wilayah Singapura yang sebelumnya adalah bagian dari Malaysia.

BACA JUGA  Bahaya Besar Jika Gen Z Defisit Religiositas

Karena realitas tersebut, Soekarno menganggap bahwa konstruksi negara yang cocok bagi Indonesia adalah nation-state (negara nasional), bukan Islamic state (negara-Islam) sebagaimana diperdebatkan dengan sangat tajam pada sidang-sidang dalam BPUPKI. Letak persoalannya di sini.

Soekarno menjadi terlihat atau dipandang anti-Islam, karena ia–dan sesungguhnya juga Hatta–menjadi pelopor gagasan atau konsepsi nasionalisme dalam konsteks konstruksi Indonesia merdeka sebagai negara-nasional dengan dasar Pancasila. Sementara kalangan oposisi, gagasannya adalah kalangan Islam yang memperjuangkan konsepsi “negara-Islam” yang kemudian menurunkannya menjadi “Islam sebagai dasar negara”, lalu menurunkannya lagi menjadi “Piagam Jakarta”.

Soekarno juga yang melakukan lobi kepada kalangan Islam, terutama Ki Bagus Hadikusumo, yang saat itu pemimpin puncak Muhammadiyah agar menerima dulu Pancasila sebagai dasar negara. Soekarno meyakinkan kepada Ki Bagus agar untuk sementara kalangan Islam menerima Pancasila sebagai dasar negara. Yang penting Indonesia merdeka terlebih dahulu.

Soekarno menjanjikan, setelah Indonesia merdeka dan keadaan telah kondusif, masalah dasar negara bisa dibicarakan kembali. Janji tersebut dipenuhi dalam Dewan Konstituante. Perdebatan-perdebatan pada sidang-sidang di Dewan Konstituante tampak sangat dinamis dengan dominasi argumentasi dari kalangan Islamis yang menginginkan Indonesia dikonstruksi sebagai negara-Islam dan kalangan nasionalis yang menginginkan Indonesia dikonstruksi sebagai negara nasional sebagaimana terjadi dalam sidang-sidang di BPUPKI. Namun, sidang-sidang Dewan Konstituante kemudian berujung deadlock.

Meski Soekarno mengajukan gagasan negara-nasional, tetapi Soekarno tidak hendak memisahkan antara agama dengan negara. Inilah perbedaan konsepsi nasionalisme Soekarno dengan konsepsi nasiolisme di Eropa. Itu tampak dari salah satu sila dalam Pancasila yang diajukannya memasukkan hal ketuhanan. Artinya, hal fundamental dalam agama telah dimasukkan sebagai salah satu prinsip dalam dasar negara.

Hanya saja, agama yang dimaksudkan di sini bukanlah satu agama saja, melainkan seluruh agama yang diakui oleh negara. Dari sini, sangat jelas, bahwa nasionalisme Soekarno bukanlah nasionalisme sekuler, melainkan nasionalisme-religius. Dan disebabkan di Indonesia terdapat banyak agama, maka religiusitas pada nasionalisme untuk Indonesia tidak diambil dari satu agama saja, melainkan dari semua agama dalam arti prinsip-prinsip moralnya. Gagasan ini sangat realistis mengingat semua agama mengajarkan kebaikan. Menurut Soekarno, dalam konteks bernegara, kebaikan substansial itulah yang harus dikedepankan, bukan formalitas agama.

Nanang Nanang Islam
Nanang Nanang Islamhttps://www.www.harakatuna.com
Dosen Fakultas Sains dan Teknologi UIN Walisongo Semarang

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru