32.7 C
Jakarta
Array

Membaca Narasi Terorisme (2-Habis)

Artikel Trending

Membaca Narasi Terorisme (2-Habis)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Dewasa ini warga masyarakat dunia, khususnya Indonesia, sedang dihadapkan pada permasalahan global yang nyaris secara amat masif menyita perhatian dan energi publik. Permasalahan pelik tersebut, tak lain adalah ancaman radikalisme atas nama agama, baik yang dilakukan oleh person  (individu yang teradikalisasi), ataupun inter-person, kelompok-kelompok dan jaringan-jaringan yang berafiliasi dengan organisasi radikal tertentu.

Dalam konteks global, misalnya, dunia internasional dibuat “merinding” dengan aksi-aksi teror dan ekstrem yang dilancarkan oleh kelompok-kelompok (Islam) garis keras, utamanya, Islamic State of Iraq and Syria atau yang dikenal dengan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS).

Pembicaraan isu terorisme ini sebenarnya memiliki momenisasi-momenisasi yang modern, dalam analisis politiknya hari ini, apakah benar-benar ada tindakan dari terorisme ? hal ini ada atau malah diadakan atau memang sudah ada sejak dulu terjadi ? karena isu terorisme di Indonesia adalah isu yang modern, bisa dikatakan sebagai isu reformasi karena mengingat pada masa-masa orde baru dan orde lama masih senyap dan jauh dari pembicaraan.

Terutama pascareformasi, kemunculan terorisme dan kelompok garis keras begitu mencuat ke permukaan, dan nampak menemukan ruang. Dalam catatan Azra, euforia demokrasi, pemberlakuan kebebasan pers, pembebasan tahanan politik dan pencabutan Undang-undang Anti-Subversi oleh Presiden BJ Habibie kala itu, memberikan kesempatan yang sangat luas bagi kelompok Islam (politik) radikal dalam mengekspresikan wacana berikut gerakan ekstrem dan radikal, yang kemudian memungkinkan mereka untuk bebas “beraktivitas” di ruang-ruang publik.

Hal yang unik saat sederet kejadian-kejadian berkaitan aksi terorisme ini, semua pembicaraan mengarah kepada percepatan pengesahan dari RUU Terorisme. Pertanyaannya adalah apa kaitannya dengan pengesahan RUU Terorisme dengan agenda pencegahan, meminimalisir dari tindakan terorisme  ? seharusnya ini menjadi koreksi serta evaluasi terhadap sederetan kejadian aksi teror belakangan dengan sejauh mana kinerja dari BIN, Kapolri, TNI maupun BNPT yang lebih banyak  memiliki wewenang kepada agenda-agenda atau upaya-upaya pencegahan dari tindak terorisme ini.

Namun lagi-lagi pembicaraan instansi-instansi pemangku kewenangan terhadap permasalahan hal ini hilang, bahkan tak tersentuh dari koreksi maupun evaluasi sampai sejauh mana kinerja yang mereka lakukan dalam upaya pencegahan dan meminimalisir tindak pidana terorisme dan apa solusi yang diberikan kapolri maupun presiden adalah sama halnya dengan banyak suara dari masyarakat kita, berbunyi senada yaitu mempercepat pengesahan RUU Terorisme, bukankah itu masih dalam pembahasan ? bukankah itu masih sedang berjalan ? bukankah itu semua teragendakan yang sudah sejak tahun 2016 ?

Jadi untuk apa desakan-desakan yang mengatakan ketika DPR tidak menyegerakan pengesahan RUU Terorisme ini maka presiden akan mengeluarkan Perpu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang). Sudah demikian mendesak sekalikah sampai   perlukannya Perpu ? padahal dalam Undang-Undang Kepolisian, TNI maupun aparat keamanan lainnya sudah ada yang teragendakan memiliki wewenang serta tanggung jawab untuk meredam, meminimalisir dari permasalahan ini.

Maka hal inilah seharusnya dapat dimaksimalkan dan diupayakan secara baik tanpa harus adanya desakan pengesahan RUU Terorisme tersebut. Secara substansi, yang membedakan hanya dalam bagian isi dari peraturan berkaitan tentang terorisme saat ini, tidak bisa menjerat orang yang berencana akan melakukan bom sedangkan dalam RUU Terorisme yang baru, orang yang misalnya memiliki rencana untuk melakukan aksi bom itu bisa dikategorikan sebagai perbuatan tindak pidana terorisme, maka semangat yang ada adalah semangat-semangat untuk meminimalisir kerugian-kerugian materi ataupun non-materi yang ada dari akibat aksi terorisme ini.

Saat semua orang mendesak di sahkannya RUU Terorisme, maka kemudian orang hilang mengkritik atas kinerja dan upaya-upaya yang dilakukan BNPT, contohnya ketika terjadi bencana maka yang disorot pertama kali adalah BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana). Maka dalam hal ini tindak pidana terorisme, seharusnya BNPT lah yang menjadi corong dalam mengurai permasalahan ini.

Mengapa diambil alih oleh Menkopolhukam, Kapolri, TNI ? inikan menjadi hal yang politis. Sebenarnya apa yang sedang terjadi di negara ini ? apakah kepala BNPT itu sudah tidak dianggap ? karena penulis sama sekali tidak melihat adanya kepala BNPT ataupun perwakilannya  keluar memberikan statement perihal aksi teror belakangan yang terjadi di negara yang kita cintai ini.

Ketika semua ini hilang dan seolah-olah BNPT tidak dievaluasi, BIN tidak dievaluasi, POLRI tidak dievaluasi bahkan Densus sekalipun tidak transparan dalam membuka hasil penyidikan maupun penyelidikan yang dari dulu kita kritik bahwasanya densus sekalipun harus di harus diawasi oleh publik, karena tidak ada satupun lembaga publik yang tidak diawasi oleh publik karena itu menggunakan uang publik sesuai dengan amanat UU No. 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Karena tidak ada/tidak boleh orang dihukum tanpa putusan pengadilan, itulah prinsip hukum yang tidak boleh di hilangkan, karena negara kita adalah negara hukum sesuai bunyi pasal 1 ayat 3 UUD 1945. Ketika dilakukannya penangkapan terjadi penembakan yang berakibatkan hilangnya nyawa seseorang tanpa putusan pengadilan tanpa adanya ruang pengadilan maka jelas sudah nasi dari pada pelanggaran hak asasi manusia bukan lagi sebagai negara hukum namun sudah menjadi negara barbar.

Maka jika ruu terorisme disahkan potensinya adalah kepada pelanggaran hak asasi manusia karena salah satu bunyi pasal dari ruu terorisme yang baru yakni adalah dibolehkannya orang yang terindikasi atau terduga teroris atau yang masih akan merencanakan temanmu ataupun memiliki niatan untuk melakukan aksi terorisme bisa ditangkap kapan saja dimana saja dengan semena-mena oleh aparat keamanan negara tentunya disinilah letak dari pelanggaran hak asasi manusia karena beberapa kejadian sebelumnya yang dilakukan densus 88 anti teror menutup ruang publik untuk melihat bagaimana proses penangkapan penyidikan yang sangat sangat tertutup sehingga riskan terjadi pelanggaran hak asasi manusia karena pembelaan terhadap mereka tidak maksimal bisa-bisa akan terjadi isolasi, introgasi berlebihan pada orang-orang yang terindikasi ataupun terduga dari terorisme ini.

Apabila negara tidak lagi menjadi penengah dari stakeholder yang ada maka culaslah hal ini, apabila negara melakukan pembiayaran, apabila negara menjadi aktor maka jelaslah narasinya negara telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Banyak orang yang mengatakan bahwa RUU Terorisme itu sudah memenuhi unsur dari hak asasi manusia, namun penulis melihat bahwa masih adanya potensi-potensi pelanggaran hak asasi manusia dari catatan yang sudah penulis sampaikan di atas.

Maka sebelum kita lebih jauh berbicara perihal pengesahan RUU Terorisme, dengan mendesak dan serba tergesa-gesa maka pembahasan terkait hak asasi manusi juga terabaikan, alangkah lebih baiknya kita merevaluasi diri serta instanti terkait mengapa paham radikalisme masih berkembang dan aksi teror masih terjadi. Perlunya tekad pemerintah untuk terus mengoptimalkan program deradikalisasi demi menangkal paham dan ideologi ekstrem sudah sepatutnya diapresiasi semua kalangan.

Karena itu, dalam hemat penulis, hal penting sekaligus mendesak untuk diprioritaskan saat sekarang, adalah evaluasi menyeluruh terkait implementasi program deradikalisasi yang sudah berjalan. Program deradikalisasi yang selama ini digawangi oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme nampaknya masih berjalan di tempat, sehingga cenderung hanya sebatas mengulang-ulang metode terapi serta kegiatan cetak biru (blue print) deradikalisasi yang nyaris tanpa perubahan (monoton).

Karena itu, mengembalikan makna definitif deradikalisasi sesuai dengan visi awal menjadi keniscayaan yang patut diperhatikan.

Oleh : M. Hariansyah, mahasiswa PPKn Fis Unimed, Alumni Climate Blogger, Bogor 2017 dan Alumni Anti-Corruption Youth Camp, Bandung 2017.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru