33.2 C
Jakarta
Array

Membaca Narasi Terorisme (1)

Artikel Trending

Membaca Narasi Terorisme (1)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Hari ini nomenklatur terorisme masih menjadi perdebatan, karena memang saat ini belum ada secara eksplisit menyebutkan perihal pengertian dari terorisme tersebut bahkan perserikatan bangsa-bangsa hari ini juga masih belum menyebutkan secara gamblang pengertian dari terorisme ini. Namun secara sederhana banyak diartikan oleh sebagian kalangan baik masyarakat kita, baik datang dari kalangan akademis, aktivis, maupun praktisi menyebutkan bahwa terorisme adalah perbuatan yang mengganggu kestabilan keamanan dan kenyamanan suatu masyarakat di dalamnya.

Jika dianalisis seperti itu maka apa sih yang menjadi indikator bahwa seseorang dikatakan sebagai seorang teroris atau perbuatan apa yang dilakukan seseorang sehingga perbuatannya itu tergolong dalam kategori terorisme. Selanjutnya yang menjadi pertanyaan kita adalah selain daripada indikator-indikator yang melatarbelakangi seseorang dapat dikatakan sebagai teroris adalah bagaimana hari ini negara berpandangan dan memperlakukan serta sejauh mana hukum kita mengatur dan memperlakukan orang-orang yang sebelumnya dapat dikategorikan sebagai teroris atau terduga teroris.

Kalau dari hasil diskusi penulis dengan beberapa aktivis hak asasi manusia dan aktivis kemanusiaan, maka mereka hari ini juga masih terbelah dua melihat kacamata dari perbuatan yang dilakukan oleh teroris atau masih menjadi terduga teroris. Apakah tindakan tersebut dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa dan pantas untuk dihukum berat ?

Beberapa aktivis hak asasi manusia menyetujui tindakan-tindakan densus yang melakukan tindakan-tindakan preventif (pencegahan) terhadap orang-orang yang diduga teroris. di sisi lain ada beberapa yang berpandangan bahwa terduga terorisme ini adalah orang yang masih diduga melakukan tindak pidana terorisme walaupun secara kasat mata dia melakukan perbuatan yang merugikan orang lain. Nah pertanyaannya adalah ketika dia melakukan itu dan merugikan orang lain, lalu dia meninggal apakah masih bisa dilanjutkan proses hukumnya ? kebanyakan aksi teror yang terjadi itu merupakan bom bunuh diri bagaimana hukum kita mengatur hal tersebut apakah hilang perbuatan tindak pidana tersebut.

Karena dia masih dalam nomenklatur tindak pidana, maka harus ada yang dirugikan dan ada yang merasa dirugikan, baik dalam kerugian fisik maupun nonfisik, nyawa ataupun materi lainnya. Apabila dalam tindak pidana terorisme ini, pelaku yang melakukan meninggal dunia, maka hilanglah tindak pidananya karena orang yang melakukan tindak pidana harus terdapat adanya objek serta subjeknya.

Apabila  orang yang melakukan suatu perbuatan kejahatan itu sudah meninggal dunia maka tumpullah hukum ini, karena orang yang sudah tiada bagaimana menghukumnya ? makan dalam hal ini hukumannya ditiadakan walaupun ia terbukti melakukan tindak pidana tersebut. Namun dalam hal untuk mengembangkan perkara prosesnya akan terus berjalan untuk menemukan rantai dari aksi teror tersebut, siapa aja yang terlibat dalam hal ini, siapa yang merencancakannya, siapa yang mendanainya dan hal yang berkaitan lainnya.

Sebenarnya yang perlu dilakukan adalah meminimalisir dan mencegahnya, bagaimana negara melakukan dan bertanggung jawab kepada masyarakat untuk melakukan upaya-upaya serta tugas-tugas aparat kita untuk menciptakan dan menjaga keamanan dan kenyamanan masyarakat. Maka jika hanya demikian proses penyidikan akan terus dilanjutkan demi untuk pengembangan dari suatu tindakan terorisme, siapa orang-orang yang berhubungan langsung dengan terduga teroris, siapa yang merencanakan, siapa yang mendanai dan siapa yang bertanggung jawab.

Disitulah proses hukum tetap berjalan, bagaimana mengukur tolak ukur garis dari bahwa seseorang itu telah disuruh, dihasut, dan telah dicekoki untuk melakukan aksi pengeboman atau aksi terorisme yang dalam rekaman cctv dan kita sebagai yang melihat rekaman tersebut berpandangan oleh masyarakat ia melakukan hal tersebut dengan kemauan dan atas kesadaran diri untuk melakukannya.

Bagaimana hal yang demikian, bagaimana cara mengukurnya, sama halnya dengan kita hendak mengukur suatu keyakinan ataupun keimanan dari seseorang. Muaranya ke sana tidak ada pelaku terorisme yang dalam  adalah “orang gila” dan orang yang tidak dalam keadaan sadar untuk melakukan aksi pengeboman yang berakibat akan menghilangkan nyawa orang banyak. Maka disinilah letak pergulatan dan perdebatan kita dalam menganalisis tindak pidana terorisme ini, lalu bagaimana negara harus berbuat, apakah negara harus memaksimalkan aparat-aparat nya untuk menghabisi semua orang-orang yang terindikasi terorisme ?

Akan melakukan aksi teror apakah negara harus mengkonter dari gerakan-gerakan dan paham-paham dari radikalisme yang berkembang di kelompok-kelompok kajian keagamaan. Inilah yang disebut sebagai deradikalisasi, itulah sebenarnya fungsi dan tugas dari BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme), maka ketika kita membicarakan isu terorisme ini, maka seolah-olah BNPT menghilang bak ditelan bumi.

BNPT seakan hilang dari pembicaraan dan pemberitaan di media-media, yang ada hanya MENKOPOLHUKAM (Menteri Koordinasi Politik, Hukum dan Hak Asasi Manusia), kepala BIN (Badan Intelejen Negara), KAPOLRI, TNI dan Presiden. Lalu BNPT ke mana ? yang sejauh ini menggaungkan tindakan deradikalisasi, pencegahan dini serta meluruskan pemahaman-pemahaman radikalisme yang berkembang di kelompok-kelompok kemasyarakatan, keagamaan dan lainnya.

Sehingga jauh sebelum terjadinya aksi teror, negara dapat berperan mencegah dari berlangsungnya aksi terorisme ini. Maka saat kita sedang membicarakan isu terorisme, maka hal yang sepatutnya dilakukan oleh negara dalam hal untuk mencegah dan meminimalisirkan tindakan tersebut adalah melakukan upaya-upaya preventif (pencegahan).

Jadi orang-orang yang terindikasi, terlibat maupun berkecimpung bisa dilakukan rehabilitasi terhadapnya diberikan pemahaman-pemahaman yang mungkin sudah tertanam dan terstigma di pikirannya, bahwa dalam kajian-kajiannya salah satunya menjurus adalah kepada perbuatan jihad ataupun mati syahid. Yang itu semua diabadikan sebagai perbuatan ibadah yang dijamin oleh agama akan masuk surga.

Pemikiran pemikiran hal demikianlah yang harus diluruskan selain dari paham paham radikalisme yang berkembang, ada banyak juga pemahaman pemahaman keagamaan yang disalahartikan ataupun kurang dipahami oleh masyarakat terlebih kepada orang-orang yang terlibat ataupun masih terindikasi terduga dari tindak pidana terorisme tersebut.

Karena ihwalnya, kalau kita bicara jihad dan sebagainya tidak serta-merta dikatakan bahwa melakukan aksi terorisme itu adalah bagian dari jihad, karena kalau diartikan jihad memiliki pengertian untuk “berfikir sampai ke akar-akarnya”. Dalam kehidupan dewasa ini yang terkonteks dalam era globalisasi, era digitalisasi dimana penuh dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Maka “belajar dengan sungguh-sungguh” dan “berfikir dengan sungguh-sungguh” mencari solusi dari akar permasalahan yang ada dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa maupun bernegara secara sederhana dapat dikatakan sebagian dari jihad.

Karena memiliki kebermanfaatan bagi diri kita sendiri bagi khalayak ramai yang itu semua akan menjadi pundi-pundi ladang pahala kita nantinya dengan mengharapkan ridho dari Tuhan Yang Maha Esa.

Fakta-fakta di atas semakin meneguhkan pentingnya memikirkan bagaimana pendekatan ideal yang seyogyanya diterapkan dalam deradikalisasi. Mark R Woodward, dalam  report-nya, secara jelas menekankan agar pihak berwenang semakin memerhatikan pengembangan strategi deradikalisasi yang lebih efektif. Dalam hemat penulis, salah satu terobosan penting terkait upaya peremajaan program deradikalisasi ini, dapat dimulai dari reorientasi visi pendidikan Islam Indonesia ke arah penguatan visi inklusif-multikulturalis.

Artinya, sedari dini, pembelajaran pendidikan Islam hendaknya diarahkan untuk membekali peserta didik kecakapan hidup (soft skill) menghadapi berbagai  tantangan yang akan mereka jumpai di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat yang sangat majemuk (plural), baik dalam hal agama dan keyakinan (multireligi), bahasa (multilingual), ras etnis (multietnis), serta tradisi dan budaya (multikultural).

Oleh : M. Hariansyah, mahasiswa PPKn Fis Unimed, Alumni Climate Blogger, Bogor 2017 dan Alumni Anti-Corruption Youth Camp, Bandung 2017.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru