25.9 C
Jakarta

Membaca Krisis Politik Tunisia

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahUlasan Timur TengahMembaca Krisis Politik Tunisia
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Situasi dan kondisi Tunisia semakin tak terkendali. Presiden Tunisia Kais Saied memecat Perdana Menteri Hichem Mevhici, membubarkan pemerintah, dan membekukan parlemen. Hal ini disinyalir karena Tunisia telah dilanda krisis bertahun-tahun. Tindak korupsi, penurunan layanan negara, dan meningkatnya pengangguran membuat masyarakat Tunisia semakin terpuruk. Apalagi situasi dan kondisi semakin sulit akibat pandemi Covid-19 yang melanda negara tersebut. Dalam pandangan Saied, ia berencana mengambil alih otoritas eksekutif dengan bantuan perdana menteri baru. Aksi protes pun tak mampu dihentikan dan massa menuntut parlemen dibubarkan, serta pemilihan umum Tunisia harus segera digelar.

Pasca pengumuman bahwa Saied membubarkan parlemen, para demonstran membanjiri kota Tunis dan beberapa kota lainnya. Mereka sangat mendukung Saied dan bersukacita atas keputusan tersebut. Sementara itu, Rachid Ghannouchi mengganggap bahwa keputusan pembubaran pemerintahan dan pembekuan yang dilakukan oleh Saied adalah sebuah kudeta melawan konstitusi dan revolusi. Maka, ia menyerukan rakyat untuk menentang keputusan yang telah dilakukan Saied tersebut.

Partai Ennahda sebagai salah satu partai kuat di Tunisia yang telah berkontribusi dalam gerakan revolusi juga ikut serta dalam menentang langkah Saied tersebut. Tidak hanya itu, pemimpin partai lain, Karama, dan mantan presiden Moncef Marzouki juga bergabung bersama dengan partai Ennahda melawan dan menentang keputusan yang telah dikeluarkan oleh Saied tersebut. Sedangkan bentrokan antara pendukung dan penentang keputusan presiden Tunisia Kais Saied juga tak terhindarkan. Ketegangan yang terjadi antar kedua kubu membuat konstelasi politik Tunisia semakin tak menentu. Lalu, bagaimana situasi dan kondisi politik Tunisia pasca keputusan yang bergulir pasca keputusan Saied tersebut? Kita masih menunggu bagaimana arah dan keputusan politik atas kemelut politik Tunisia ini.

Konstelasi Politik Tunisia

Awal mula kericuhan politik Tunisia yakni akibat krisis politik yang terjadi sejak 16 Januari 2021. Perdana Menteri Tunisia, Hichem Mechici, mengumumkan untuk merombak kabinet, namun Saied menolak mengadakan acara pelantikan menteri baru. Tunisia menjadi salah satu negara di Dunia Arab yang telah berhasil melakukan transisi demokrasi dibandingkan dengan negara-negara Arab lainnya. Namun, kini Tunisia dilanda persoalan politik terkait ricuh antara presiden Tunisia Kais Saied dan perdana menterinya, Hichem Mechici, serta parlemen yang bakal dibekukan.

Di lain pihak, ketua parlemen Tunisia, Rached Ghannnouchi menyatakan bahwa parlemen Tunisia masih aktif bertugas. Ia menolak atas keputusan presiden Kais Saied dalam membekukan parlemen. Sementara itu, dalam pernyataan kepresidenan Tunisia, tidak hanya Perdana Menteri Hichem Mechici yang diberhentikan oleh Saied, tetapi juga Menteri Pertahanan Ibrahim Bartagi dan Menteri Kehakiman, sedangkan Hasna Ben Slimane dibebaskan tugas pada 25 Juli 2021.

Partai Republik Tunisia juga menolak dan mengecam atas keputusan yang dikeluarkan oleh Presiden Kais Saied yang telah menangguhkan parlemen dan hal itu dianggap sebagai upaya kudeta atas konstitusi negara. Partai Republik meminta agar presiden Kais Saied untuk mencabut keputusan tersebut dan mematuhi legitimasi, serta mencari solusi yang tepat dalam menghadapi krisis negara.

Krisis politik Tunisia seharusnya mampu diatasi dengan baik yakni melibatkan berbagai elit politik dalam menyelesaikan persoalan konflik internal pemerintahan. Presiden Tunisia Kais Saied dan semua elemen pemerintah harus berdiskusi dan bermusyawarah dalam mencari titik temu, serta solusi di balik permasalahan politik Tunisia yang tak menentu tersebut. Maka, sinergi dan diskusi antar elit pemerintahan harus dirajut dalam membawa stabilitas politik Tunisia yang lebih baik.

Tunisia sebagai negara yang transisi politiknya baik dan menguat menjadi teladan dan inspirasi bagi berbagai negara di Dunia Arab untuk mampu menerapkan demokrasi dalam pemerintahannya. Tunisia seharusnya mampu keluar dari jerat krisis politik pemerintahan ini.  Lebih lanjut, Turki pun juga “angkat bicara” dalam persoalan krisis politik Tunisia. Pemerintah Turki melalui Kementerian Luar Negeri mendorong agar legitimasi politik dan demokrasi di Tunisia segera dikembalikan. Turki juga menentang tindakan yang dilakukan oleh presiden Kais Saied atas keputusannya memberhentikan perdana Menteri, Hichem Mechici, dan membekukan parlemen Tunisia.

Saied, Ghannouchi dan Ennahda

Tampaknya krisis politik Tunisia akan terus bergulir di tengah kemelut antara presiden Tunisia Kais Saied dengan perdana menterinya, Hichem Mechici, yang akhirnya parlemen pun harus dibekukan. Namun, perseteruan sebenarnya tidak berhenti disitu. Konflik antara Saied dan Ghannouchi sebagai ketua parlemen Tunisia sekaligus ketua partai Ennahda juga tidak luput sebagai kemelut konflik diantara mereka. Hal ini dapat ditelusuri antara pernyataan presiden Kais Saied terkait pembekuan parlemen dengan Ghannouchi berseberangan. Dalam pernyataannya, Saied mengatakan bahwa keputusan pemberhentian perdana menteri dan pembekuan parlemen sudah melakukan diskusi dan dialog dengan ketua parlemen, Rached Ghannouchi.

Sedangkan, Ghannouchi menampik hal tersebut dan ia tak tahu menahu atas keputusan presiden Kais Saied yang memberhentikan perdana menteri dan membekukan parlemen. Artinya, keduanya juga memiliki persoalan krusial, terutama terkait bagaimana arah dan perjalanan politik Tunisia kedepan. Partai Ennahda sebagai partai yang berperan dan berkontribusi dalam transisi politik Tunisia menjadi salah satu partai yang berada di garda depan apabila terjadi kemelut politik yang membuat instabilitas di Tunisia.

Terakhir, keputusan presiden Kais Saied ini masih bergulir dan mendapatkan banyak tanggapan dan penolakan dari berbagai pihak. Keputusan tersebut dinilai konteroversial di mata para pejabat pemerintahan dan masyarakat Tunisia pun terfragmentasi ke dalam dua kubu, ada yang berupaya mendukung dan lainnya berupaya menolak keputusan presiden yang dinilai tidak sesuai dengan ketentuan konstitusi. Kita masih menunggu dan menebak apa yang terjadi pasca keputusan presiden Tunisia, apakah kemelut politik ini akan berlanjut dan membuat stabilitas politik Tunisia terus bergulir di tengah ancaman pandemi Covid-19 yang semakin meningkat.   

Firmanda Taufiq, Mahasiswa S3 Kajian Timur Tengah Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Penulis, dan Pengamat Politik Timur Tengah

 

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru