32.9 C
Jakarta

Membaca Khilafah dari Kacamata Sejarah Sosial, bukan Sejarah Politik

Artikel Trending

Milenial IslamMembaca Khilafah dari Kacamata Sejarah Sosial, bukan Sejarah Politik
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – “Sesungguhnya surga itu berada di bawah bayangan pedang.” Demikian bunyi hadis yang kerap dikutip saudara Muslim kita yang berhasrat menegakkan negara Islam. Bagi mereka, perang tidak pernah jadi masalah. Kegentaran terhadapnya dianggap sebagai lemahnya iman dan jihad penegakan khilafah merupakan konsekuensi wajib sebagai Muslim yang baik. Dalam kacamata mereka, tanpa pedang dan perang, Islam tidak akan pernah mencapai kejayaan.

Kran gerakan dan perjuangan Islam pasca-runtuhnya Turki Utsmani memang heroik. Kekalahan negara-negara Arab dalam Perang Yom Kippur juga menciptakan luka dendam kesumat yang meledak melalui fenomena Arab Spring. Bersamaan dengan kemarahan umat karena merasa tertindas itu, lahir sebuah mindset bahwa politik adalah jalan satu-satunya meraih kembali kejayaan Islam. Sejarah keemasan Islam dibaca dari kacamata politik belaka. Umat digiring ke sana.

Sungguhpun demikian, alih-alih meraih kejayaan, Islam hari ini justru jadi bulan-bulanan dunia. Jelas hal tersebut sangat menyesakkan. Islamofobia semakin mendarah daging tapi hasrat mendirikan khilafah tetap bergeming. Kacamata yang dipakai tetap satu, yaitu kacamata sejarah politik. Semakin melawan, semakin tercitrakan buruk. Semakin memperjuangan, semakin terasingkan. Timbul sejumlah pertanyaan dan yang paling utama adalah, mengapa Islam tidak maju seperti dulu?

Maka, melihat sejarah dengan kacamata berbeda menjadi keharusan. Menurut Azyumardi Azra, Guru Besar Sejarah Islam, sejarah tidak hanya bisa dilihat dari kacamata politik tapi juga sosial. Sejarah sosial punya pandangan yang lebih terang, lebih realisitis, mengenai masa lalu. Bagaimana Islam jadi peradaban maju di masa lalu bisa dilihat dari kacamata sosial. Sebab, hari ini, membaca khilafah dari kacamata sejarah politik tak ubahnya mata rabun yang memakai kacamata buram: fatal.

Kacamata Buram untuk Mata yang Buta

Sejarah sosial, dalam sementara literatur, diidentikkan dengan gerakan protes (protest movement). Penulisan sejarah Islam sebagai gerakan protes sosial tersebut berada di luar mainstream sejarah.  Sejarah gerakan protes boleh jadi berlatar peristiwa alamiah, seperti bagaimana peristiwa sejarah mengubah tatanan sosial di era selanjutnya. Sejarawan yang menulis protes sosial sering kali ideologis—melegitimasi realitas sosial mereka sebagai sebuah revolusi.

Dalam literatur sejarah, jenis ini bisa dijumpai dalam buku yang secara khusus mengulas protes tertentu yang revolusioner. Misalnya, dalam buku sejarah sosial Lapidus, ia menulis subbab “Pembagian Imperium Utsmani”. Ketika Turki Utsmani mulai melemah, dan dijuluki The Sick Man, ia direbut oleh kekuatan Eropa, khususnya Rusia dan Inggris. Krisis bertambah dengan pemberontakan Bosnia, Herzegovina, Serbia, Rumania, dan Bulgaria yang menuntut otonomi.

Buku lain, misalnya antologi Haidar Bagir dkk berjudul “Hikmah Abadi Revolusi Imam Husain”. Tragedi pembantaian Sayyidina Husain, cucu Nabi Saw., beserta para kerabatnya oleh bala tentara Yazid bin Muawiyah, yang sangat memilukan untuk dikenang, berusaha direkonstruksi oleh sejumlah penulis dalam buku tersebut sebagai saksi momen pertarungan cahaya dengan kegelapan, kebenaran menentang kebatilan, kemuliaan melawan kehinaan, dan keadilan versus kezaliman.

BACA JUGA  2024: Momentum Memperkuat Demokrasi

Jadi, sejarah sosial memandang kejadian masa lalu secara lebih kemasyarakatan. Termasuk juga di dalamnya tentang iklim keilmuan dan realitas masyarakat secara umum. Jika sejarah politik memotret Turki Utsmani sebagai kerajaan monarki islami yang ideal karena menguasai tiga benua, sejarah sosial memotret bagaimana penderitaan rakyat di bawah raja-raja monarki yang tiran. Ekspansi wilayah yang masif menciptakan penderitaan berkelanjutan—juga penindasan yang mengerikan.

Berbeda halnya dengan sejarah politik. Masyarakat hanya diperlihatkan tentang kekuasaan dan dibuat terlena olehnya. Tidak hanya itu, melalui kacamata sejarah politik, khilafah yang tidak islami pun jadi tampak sebagai bagian dari syariat Islam. Akibatnya, umat dibuat maniak khilafah. Terutama umat yang pemahamannya akan sejarah masih dangkal, dampaknya sangat fatal: menjadi ekstremis. Mereka yang melihat khilafah dari kacamata sejarah politik dibutakan sejarah. Kacamatanya buram, matanya buta. Mengenaskan.

Wahai Umat! Khilafah Sudah Tegak

Demikianlah faktanya. Jika khilafah dilihat menggunakan kacamata sejarah sosial, maka segala yang tampak seksi secara politik akan jadi mengerikan. Bayangkan, di balik gemerlap kekuasaan Dinasti Abbasiyah yang membentang hingga ke Andalusia, kondisi kesejahteraan di masyarakat akar rumput terpotret dengan penderitaan. Perang sipil, penjarahan, dan kemiskinan yang mengerikan yang itu semua jauh dari predikat berperadaban seperti yang tergaungkan hari ini.

Bersama dengan itu, melihat khilafah dengan kacamata sosial akan mengungkap bagaimana sistem monarki di masa tersebut sebenarnya tidak jauh berbeda dengan sistem demokrasi yang ada di negara ini. Jika yang dimaksud khilafah adalah kekuasaan inklusif, hari ini inklusivisme sudah diberlakukan bahkan sebesar-besarnya. Jika yang dielukan mengenai khilafah adalah integritas negara di kancah nasional, negara ini juga dalam aspek tertentu disegani internasional.

Jika dalam kacamata sejarah sosial, khilafah itu menjadikan masyarakat Islam unggul karena menguasai berbagai bidang keilmuan, juga mendominasi kebijakan nasional, saat ini umat Islam di Indonesia juga memiliki hak yang dominan. Misalnya, tidak ada pelarangan ibadah Muslim dan tidak ada pembatasan izin tempat ibadah Muslim—hal yang tidak dimiliki oleh penganut Kristen dan agama lainnya. Secara sosial, khilafah sudah tegak di sini. Maka, apalagi yang perlu umat kritik?

Semua pembacaan khilafah dari perspektif sejarah sosial mesti diarusutamakan. Jika tidak, maka pembacaan khilafah dari kacamata sejarah politik akan mendominasi dan memengaruhi cara pandang umat tentang khilafah dan gairah mereka untuk menegakkannya. Artinya, selain timpang secara perspektif, membaca khilafah dari kacamata sejarah politik cenderung dimanipulasi untuk menjerumuskan umat Islam pada propaganda khilafah.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru