28.9 C
Jakarta
spot_img

Membaca Itu Harus, Salah Memilah Bacaan Jangan

Artikel Trending

KhazanahLiterasiMembaca Itu Harus, Salah Memilah Bacaan Jangan
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – “Buku adalah jendela dunia,” kata salah seorang pepatah. Tapi apakah dunia ini masih bisa dilihat melalui jendela itu? Di zaman yang serba cepat, dunia terasa lebih luas dari sebelumnya, namun bukan karena kebijaksanaan yang membentang, melainkan oleh ribuan informasi yang datang dengan kecepatan yang sulit kita tangkis.

Saya merasa buku tak lagi menjadi satu-satunya pintu yang menghubungkan kita dengan pengetahuan. Kini, banyak sekali ‘jendela’ lain yang mengundang kita untuk melihat—tapi, apakah kita benar-benar melihat? Atau justru sekadar terjebak dalam ilusi bahwa kita sedang belajar?

Saat kita berbicara tentang literasi, seharusnya kita tak hanya berbicara soal kemampuan membaca, menulis, atau mengenali huruf dan kata. Literasi adalah soal bagaimana kita mengarahkan pikiran kita.

Dalam dunia yang terus diwarnai dengan kebisingan dan kebohongan, literasi sejati adalah kemampuan untuk memilih dan memilah—untuk tahu apa yang harus dibaca, apa yang harus dicerna, dan apa yang harus diabaikan.

Sekarang ini, membaca sering kali disamakan dengan sekadar mengisi waktu luang. Cukup buka ponsel, scroll, baca beberapa status, dan kita merasa sudah ‘membaca’. Tapi, benarkah itu literasi yang sesungguhnya? Literasi yang mengisi kepala tanpa memberi dampak pada hati dan jiwa kita?

Buku-buku yang menawarkan pengetahuan instan—artikel-artikel klikbait, meme yang tampaknya lucu namun kosong, berita yang hanya sekadar menambah amarah—mungkin memberikan kita hiburan sesaat, tetapi tak pernah benar-benar membentuk pemahaman yang mendalam.

Dan inilah yang sering kali kita lupakan. Literasi sejati adalah tentang pembentukan diri. Bacaan yang kita pilih bukan hanya memberi kita pengetahuan, tetapi membentuk bagaimana kita berpikir, bagaimana kita memandang dunia, dan bagaimana kita berinteraksi dengan orang lain.

Kita hidup di zaman di mana informasi datang dengan cepat, tapi kebijaksanaan justru semakin langka. Tanpa pemahaman yang mendalam, kita hanya akan menjadi pemilik data, bukan pemikir yang bijaksana.

Cobalah tengok ke rak buku. Apakah yang Anda lihat di sana? Buku-buku yang penuh dengan ide-ide mendalam, atau sekadar buku yang menawarkan hiburan ringan? Buku yang mengajarkan kita untuk berpikir kritis, untuk memahami kompleksitas dunia, atau hanya mengajak kita untuk berpikir hitam-putih? Bukankah kita sering kali terjebak pada buku-buku yang hanya memperkuat keyakinan kita sendiri tanpa memberikan ruang untuk berpikir lebih dalam?

Mark Twain, dengan kecerdikannya yang khas, memperingatkan kita tentang bahayanya membaca tanpa pemahaman yang benar. “Orang yang tidak membaca buku-buku bagus tidak memiliki keunggulan apa pun dibandingkan mereka yang tidak bisa membaca,” katanya.

Saya sepakat, dan benar saja, jika kita tidak memilih bacaan dengan bijaksana, kita akan jatuh dalam perangkap kebodohan yang diselubungi dengan informasi yang salah kaprah. Buku-buku yang baik adalah seperti makanan sehat untuk pikiran.

Mereka memberi kita gizi, memperkaya perspektif, dan menantang kita untuk terus berpikir lebih jauh. Mereka mengajak kita untuk melihat dunia ini dengan cara yang lebih penuh makna, bukan sekadar melalui lensa yang kabur.

BACA JUGA  Krisis Literasi di Era Digital: Ketika Buku Kalah dengan Konten Instan

Namun, tidak semua bacaan itu membangun. Ada banyak bacaan yang justru menyesatkan, yang membawa kita pada ideologi radikal yang penuh kebencian, yang mengajarkan kita untuk memusuhi perbedaan dan menutup hati kita terhadap orang lain.

Buku-buku ini adalah racun yang meracuni pemikiran kita. Membaca buku semacam ini berarti membuka pintu untuk kebencian, untuk ketidakpercayaan, dan untuk ketakutan yang tak berdasar.

Buku radikal tidak hanya merusak cara kita berpikir, tetapi juga mempengaruhi cara kita berinteraksi dengan dunia. Mereka membentuk dunia yang sempit, dunia yang melihat segala sesuatu dalam konteks hitam-putih, baik dan buruk, benar dan salah. Buku seperti ini mengajarkan kita untuk melihat orang lain sebagai musuh, bukan sebagai sesama manusia yang memiliki hak untuk dihargai dan dipahami.

Literasi yang baik bukan hanya soal membaca, tetapi juga soal memilah apa yang kita baca, untuk memastikan bahwa buku yang kita pilih adalah yang membangun kedamaian, saling pengertian, dan kebijaksanaan.

Miris sekali, di tengah lautan informasi yang tak terbendung, tantangannya bukan lagi soal apakah kita bisa membaca, tetapi apakah kita tahu cara membaca dengan bijak. Buku bukan sekadar bacaan, melainkan cermin dari diri kita.

Bacaan yang kita pilih akan membentuk siapa kita, akan menentukan cara kita melihat dunia. Jika kita terus-menerus terjebak dalam bacaan yang dangkal, yang tidak mendorong kita untuk berpikir lebih dalam, kita akan kehilangan kemampuan untuk melihat dunia dengan jernih.

Di sinilah letak pentingnya literasi yang sesungguhnya—bukan sekadar mengakses informasi, tetapi memilih informasi yang berharga. Buku-buku yang baik adalah mereka yang mengajak kita berpikir kritis, yang memperkaya empati kita, dan yang mendorong kita untuk tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik.

kita harus menjadi pembaca yang bijak, yang tidak mudah terjebak dalam informasi yang hanya menggugah rasa penasaran sementara, tetapi mencari buku yang membawa kita pada pemahaman yang lebih dalam dan lebih luas.

Pada akhirnya, literasi yang sejati bukan hanya soal kemampuan membaca, tetapi soal bagaimana kita menggunakan kemampuan itu untuk membentuk diri kita menjadi manusia yang lebih baik. Sebab, seperti yang diingatkan oleh Mark Twain, membaca adalah soal melawan kebodohan, dan memilih bacaan yang bijaksana adalah bentuk tanggung jawab kita terhadap diri kita sendiri dan terhadap dunia yang lebih besar.

Maka, pilihlah bacaan yang bukan hanya mengisi kepala kita, tetapi yang membentuk hati kita untuk lebih bijaksana, lebih terbuka, dan lebih peduli terhadap sesama. Karena literasi yang baik adalah jalan pembebasan, bukan penjara pemikiran yang sempit.

Ali Ubaidillah
Ali Ubaidillah
Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Hasanudin, Makasar. Pada tahun 2018 diundang di UBUD Writer Festival, Bali.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru